Spare My Heart, Zea!

337 67 12
                                    

Sama sekali tidak direncanakan, aku tertidur di bawah teriknya matahari. Saat terbangun, Zea sudah duduk di sampingku. Matahari pun mulai condong ke barat sehingga bayangan Zea menutupi wajahku. Di pangkuannya, Gendis tertidur bertudungkan kerudung.

"Udah bangun?" tanyanya berbasa-basi disertai senyum manis yang menenangkan.

Aku bangkit duduk. "Kenapa duduk di sini? Ngga kepanasan?"

Dia tersenyum. "Kamu sendiri? Kenapa malah tidur di sini?" Suaranya entah kenapa terdengar sangat manja.

"Berjemur," kataku seadanya sambil mengalihkan pandang sebelum menjadi mabuk karena senyumnya.

Disodorkannya satu tas belanja besar sambil berkata, "Ganti baju dulu, gih. Bajumu pasti basah sampe ke dalem-dalem, kan?"

Dia benar, tapi saat itu sudah tidak terlalu basah lagi atau mungkin aku yang sudah tak peduli. "Makasih," jawabku sedatar mungkin. Kuambil ransel berisi berbagai keperluan Gendis. "Ayo, ke musala. Di sana Gendis bisa tidur lebih tenang."

Zea tidak membantah dan berdiri bersamaku. "Gendis agak anget, ngga, sih?" katanya setelah kami kembali berada di dalam gedung mal.

Kusentuh kening Gendis, memang terasa agak hangat. "Nanti kita kasih tahu Ghaida."

Wajah Zea berubah agak muram. "Kamu suka Ghaida?"

Aku tak mengerti arah pembicaraannya. "Kenapa?"

"Cuma nanya," jawabnya, membuang muka.

Ingin kubalas kata-katanya, tapi kuurungkan. Aku sudah menetapkan hati untuk tidak lagi memikirkannya.

"Kalo aku?" Tiba-tiba dia berpindah ke hadapanku, berdiri menghalangi langkahku.

"Kenapa kamu?"

"Apa kamu suka sama aku?"

Pertanyaannya menusukku tajam. Kualihkan pandang, tak ingin menentang matanya.

"Rofiq?"

Kuembuskan napas pelan, menahan kesal. "Zea, sejak pertama kali menyukai perempuan, aku hanya menyukai satu orang, kamu."

Matanya sedikit melebar.

"Setiap ada yang terlihat menarik, aku selalu membandingkannya denganmu dan ngga ada yang bisa mengalahkanmu, sampai sekarang."

Bibirnya terlihat gemetar.

"Kamu tanya apa aku suka sama kamu?" Ingin kujambak rambutku sendiri agar bisa kukeluarkan dia dari kepala, tetapi akhirnya kusugar keras helaiannya yang masih agak lembap. "Cuma kamu yang ada di kepala dan hatiku. Bahkan my definition of love is you." Kutundukkan wajah hingga hanya berjarak beberapa mili dari wajahnya. "Please, spare my heart, Zea. Aku ngga akan sanggup kalau kamu selalu memberikan pepesan kosong."

Mukanya menegang. Tubuhnya membeku seperti sedang berada di dalam freezer bersuhu minus puluhan derajat.

Kutinggalkan dia di koridor mal yang ramai. Cukuplah di dalam kepalaku saja dia ramai berlari-lari.

Di toilet, kubuka tas belanja dari Zea. Di dalamnya tersedia baju ganti mulai dari pakaian dalam hingga luar dan semuanya pas di badanku, entah bagaimana dia mengukurnya.

Aku terduduk di dudukan kloset. Apakah ini pesan dari Tuhan bahwa dia adalah seorang yang pas buatku?

***

Gendis sudah kembali ke gendongan Ghaida begitu aku tiba di depan musala. Dia terlihat lebih cerah meski sekilas ada gurat kecemasan di wajahnya. "Aku pulang dulu," pamitnya, "Gendis agak tinggi demamnya."

"Apa ngga perlu ke klinik dulu?" balasku.

"Ngga usah, mungkin kecapekan aja," jawab Ghaida, berusaha tenang.

"Ayo," ajak Zea, "biar Gendis bisa cepat istirahat dengan nyaman." Zea kemudian mengantar Ghaida pulang dengan mobilnya. Aku dan Aghnia pun ikut pulang meski hari masih jauh dari petang.

***

"Ngapain aja kalian tadi?" tanya Aghnia begitu mobil meninggalkan parkiran mall.

"Bukan apa-apa," jawabku malas, "cepat sekali nontonnya, filmnya pendek?"

Aghnia berdecak. "Kak Zea nelepon Kak Ghaida, katanya Gendis demam."

"Ah, Zea ...."

"Tapi emang bener demam, sih."

"Gendis sedang tidur tadi. Kusuruh tidurkan di musala supaya bisa lebih nyaman berbaring. Kenapa dia malah menelepon Ghaida?"

"Menurut Kakak?"

"Terserah!"

Aghnia tertawa kecil. "Keliatan banget, kan? Jeles abis, huh!"

Aku tak mau membantah, tidak juga mengiakan.

"Gimana menurut Kakak?"

"Kenapa tanya aku?"

Aghnia tertawa lagi, lebih lepas dari sebelumnya. "Jujur aja, waktu mutusin buat ikut masuk ke kafe, sebenernya Kakak yang cemburu, kan? Abis itu, Kakak sok-sokan ngasih perhatian sama Kak Ghaida, ngapain? Balas dendam?"

"Apa itu namanya perhatian?"

"Apa lagi kalau bukan?"

"Aku cuma kasihan sama Gendis. Dia masih punya bapak tapi seperti anak yatim. Umurnya belum dua tahun, masih menyusu kepada ibunya. Bapaknya harusnya menjamin kehidupan ibunya selama menyusui dia, tapi ke mana bapaknya? Laki-laki zhalim seperti ini yang membuat perempuan memilih tidak menikah. Memalukan!"

Aghnia tak membalas.

"Kalau semua laki-laki paham tugas dan tanggung jawabnya, tidak akan ada perempuan yang tersiksa di dunia. Tapi laki-laki cuma tahu mengurus haknya, tapi lupa dengan kewajibannya."

"Ehem, Kakak juga laki-laki, loh."

"Ya!" Kulampang setir dengan kesal. "Ingin kuhabisi mereka yang merusak nama baik kaum laki-laki!"

"Mereka-mereka yang bikin Kak Zea milih buat ngga nikah?" Pertanyaan Aghnia langsung menusuk ke inti masalah, membuatku menginjak rem tanpa ampun. Untung, di depan, lampu lalu lintas menyala merah.

"Ngaku aja, Kak. Sebenernya, Kakak masih mau sama Kak Zea, kan?"

Kubuang pandang jauh ke kanan. Mobil-mobil berjalan maju seperti sedang meledekku yang terpaksa berhenti. Yah, terpaksa, aku berhenti. "Zea ngga mau sama aku."

"Masalahnya bukan di Kakak, tapi idealismenya."

"Idealisme?" Aku nyaris tertawa mendengarnya. "Lebih tepatnya, trauma. Semua pacarnya selingkuh."

"O, ya?"

"Yang terakhir malah sudah pacaran bertahun-tahun, tapi akhirnya selingkuh hanya karena LDR-an tak sampai setahun."

"Wow! Pantes," komentar Aghnia lirih, "kalo gitu lebih gampang lagi, dong. Kakak tinggal menyembuhkan lukanya."

"Aku bukan dokter," balasku seadanya.

"Kenapa, ngga? Kakak bisa buktiin kalo Kakak ngga bakal selingkuh. Sebenernya tinggal gitu, kan?"

"Sudahlah. Kita bicara hal lain saja. Mau beliin oleh-oleh apa buat Ibu? Martabak? Kita beli martabak telor yang di pojokan minimarket itu? Ibu suka ...."

"Apa gini cara Kakak menghadapi masalah? Kabur?"

"Zea! Aku harus membuktikan apa lagi?"

"Aku Aghnia."

Aku terdiam. "Sorry."

"Cuma ada Kak Zea di kepala Kakak."

Kuembuskan napas pasrah. "Karenanya, bantu aku mengeluarkan dia dari kepalaku."

Aghnia diam.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang