Pagi yang Mendebarkan

351 91 24
                                    

Biasanya aku selalu tertidur begitu mobil mulai keluar perumahan, tetapi pagi itu, pikiranku tak mau beristirahat meski mataku sudah terpejam. Kukirim pesan kepada Aghnia, "Kabarin update soal Ibu, okay?"

Aghnia hanya membalas dengan stiker tokoh kartun bertuliskan OK di samping kepalanya. Harusnya itu cukup menenangkanku, nyatanya, tidak juga. Aku tahu, perasaan Ibu berada di luar lingkar kendaliku, tetapi aku benar-benar berharap beliau mau mendengarkanku. Dan aku berdoa, semoga perhitunganku tidak salah. Yah, di saat tak ada lagi yang bisa dilakukan, akhirnya hanya doa yang bisa jadi senjata.

Selagi berusaha menenggelamkan diri dalam tidur, ponsel di kantung kemeja bergetar. Sebuah pesan dari Zea, berisi gambar rantang plastik dua tingkat berwarna merah seperti matahari terbit. Di bawahnya, dia menulis, "Bon appétit."

Betapa recehnya diriku. Gambar sesederhana itu saja mampu membuatku tersenyum selebar muka. "Makasih," balasku, "masih di jalan. Inserting to do list, first thing in the morning: sarapan dari Zea."

Setelah itu, aku tertidur hingga tiba di kantor.

***

Setibanya di kantor, baru kutahu, ternyata Zea membalas pesanku dengan beberapa pesan chat beruntun. Yang pertama hanya berupa emoji tertawa. Pesan berikutnya menanyakan apa saja to do list-ku hari itu. "Nanti siang, aku mau ketemu sama teman-teman, ngomongin plan B kalau aku harus pindah ke Papua Nugini," tulisnya disertai emoji mengedipkan mata.

Aku terdiam membacanya. Dia menyiapkan plan B untuk rencananya, sementara aku baru saja bertindak impulsif dengan meletakkan keseluruhan rencana kami di tangan Ibu.

Namun, buru-buru kutepis pemikiran itu. Aku tidak bertindak impulsif. Aku yakin pada kualitas Zea, Ibu tidak akan mungkin menampiknya. Berkali-kali kuyakinkan diri bahwa perhitunganku tidak mungkin salah, tetapi jariku tetap bergetar saat menekan tombol untuk menelepon.

"Assalamu'alaikum, aku lagi nyetir," jawabnya begitu panggilanku diterima.

"Wa'alaikumsalam, pakai headset, kan?"

Dia menggumam sebagai jawaban, lalu bercerita panjang lebar tentang kemacetan Jakarta yang sedang dihadapinya. "Nanti kalo udah kerja di perusahaan sendiri, aku ke kantor kalau macetnya udah beres aja, ha ha ha."

"Enaknya jadi bos," balasku, masih ragu untuk masuk ke topik yang sesungguhnya.

"Eh, udah sarapan?"

Tepat saat aku hendak menjawab, sekretarisku masuk ke ruangan membawa nampan berisi semangkuk sup ayam yang masih mengepulkan uap tipis. Setelah mengucapkan terima kasih, aku kembali lagi ke panggilan telepon. "Ini baru mau makan. Mau pindah ke video call?"

Dia tertawa. "Aku ngga bisa liat kamu, masih nyetir, kan. Tapi ngga apa-apa, deh. Kamu yang kangen ngeliat aku, kan? Ha ha ha."

Biarpun dia tidak salah, tetapi mendengarnya berkata begitu membuatku merasa sangat konyol. "Ya, udah, ngga usah."

Dia tertawa lagi, kemudian permintaan beralih ke video call masuk darinya. Kuterima permintaan itu dan terlihatlah wajahnya yang dibalut kerudung merah. "Hai, lagi macet, jadi masih bisalah liat-liat layar dikit. Gimana supnya? Enak?"

Aku hanya membalas dengan mengacungkan jempol sambil manggut-manggut. "Udah yakin, mau pindah ke Papua Nugini?" tanyaku akhirnya setelah sesuap sup ayam menghangatkan perut.

"Aku udah ngobrol sama Ibu tadi. Katanya, kalau udah nikah, ya, ke mana suami pergi, ngikut aja."

Aku manggut-manggut. "Okay, ngga masalah kalo gitu."

Perhatiannya teralih ke jalanan dan aku kembali menyuap sup ayam. "Udah siap ketemu Ibu?" tanyaku setelah beberapa saat.

"Wow! Kamu bikin aku gemetar," balasnya dengan antusias, "kapan?"

Aku menelan sup ayam, kuah hangatnya meluncur pelan-pelan ke kerongkongan. "Secepatnya, aku lagi merayu Ibu buat ketemu sama kamu."

"Okay, anytime will do," katanya.

"Yakin udah siap?"

"Kenapa? Kok, sekarang malah kamu yang kedengeran ragu?"

"Hm, ngga, cuma ...."

"Apa?"

"Kamu serius?"

"Kamu apaan, sih? Apa selama ini kita ngga serius? Selama ini kamu main-main sama aku?"

"Ngga, bukan gitu." Kutarik napas panjang. "Kerasanya kaya mimpi. Apa bidadari benar-benar mau turun ke bumi?"

Dia tergelak. "Rofiq, kamu lebay, deh. Aku cuma Zea, bukan bidadari."

"Tapi kamu bidadariku."

"Rofiq! Aku masih nyetir! Kamu mengacaukan konsentrasiku!" Dia berlagak memarahiku dengan muka yang hampir semerah kerudungnya.

***

Jam kantor dimulai tak lama setelah OB membersihkan pernak-pernik sarapanku. Telepon dari Aghnia masuk tak lama sesudah itu. "Kirimin nomor Kak Zea," katanya, "Ibu mau ketemuan."

Jantungku berdegup kencang. Rencanaku berhasil, Ibu mau mendengarkanku. Selanjutnya tinggal mempersiapkan Zea.

Kuceritakan tentang sakit hati Ibu akibat penolakannya tempo hari. "Wow, pantes kamu nanya aku, udah siap apa belum," responsnya.

"Ya, begitulah, tapi aku yakin, Ibu ngga akan menolakmu kalau kalian benar-benar ngobrol dengan hati yang tulus."

Dia tak menjawab.

"Zea?"

"Okay. Aku harus gimana?"

"Jadi dirimu sendiri aja," kataku, "kabarin mau ketemuan di mana, nanti aku ke sana."

"Kalau Ibu ngga ngajak kamu, apa itu berarti kamu ngga boleh ikut?"

"Terserah. Kamu ketemu Ibu demi aku, ngga akan kubiarkan kamu sendirian menghadapi ini."

"Kamu ngga percaya aku bisa handle ini?"

"Aku percaya."

"Then leave it to me."

Kuembuskan napas pelan. "Okay." Lalu kuceritakan segala hal tentang Ibu yang perlu diketahuinya, karakter Ibu, hal-hal yang disukainya, yang tidak disukainya, dan seterusnya, dan seterusnya. Entah berapa lama aku bicara di telepon sementara dia mendengarkan tanpa menginterupsi.

"Udah?" tanyanya setelah aku terdiam beberapa saat.

"Hm, ya."

Kemudian dia tertawa. "Ternyata kamu bisa ngomong panjang lebar juga, ya."

Dia tak tahu betapa cemasnya aku. Bagaimana jika ternyata Ibu tidak setuju? Meski aku yakin Ibu akan setuju, tetapi kemungkinan penolakan itu tetap ada. "Good luck," kataku akhirnya, "kabari aku hasilnya, okay?"

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang