Namamu di Bilah Notifikasi

454 80 25
                                    

Hubungan kami bukannya putus, malah jadi semakin dekat seperti dua sahabat karib. Bisa dibilang, setiap hari, kami selalu saling menelepon. Kalau bukan dia yang lebih dulu menghubungi, pasti aku yang mengiriminya pesan duluan.

Yang dibicarakan pun bukan hal penting. Kadang aku mengirimkan pesan berisi satu huruf asal tekan hanya karena ingin melihat namanya di bilah notifikasi. Alasan yang bahkan aku sendiri sulit percaya.

Pernah, dia mengirimkan pesan menjelang tengah malam, "Temani aku menghadang deadline."

Saat itu, aku sudah berbaring di tempat tidur dengan mata yang super mengantuk. Namun, melihat namanya di bilah notifikasi, kantukku pudar seketika. Aku mengiriminya panggilan video dan menyimak berbagai keluhannya tentang keinginan klien yang harus disesuaikan dengan anggaran minimalis, juga idealismenya yang harus dibuat sedikit fleksibel.

Aku sudah lupa apa saja yang dibicarakan saat itu. Yang kuingat, paginya, terbangun dengan telinga sakit akibat semalaman tersumpal earset. Namun, tiga huruf namanya di bilah notifikasi seperti obat bius yang memusnahkan semua rasa sakit. "Makasih, buat semalam," katanya melalui pesan chat, "mau nasi uduk atau bubur ayam?"

Tentu saja aku tidak sarapan di rumah. Setiap pagi, untuk menghindari kemacetan, aku harus berangkat setelah subuh dan melanjutkan tidur di mobil. Supirku baru membangunkan sekitar lima belas menit menjelang tiba di kantor agar aku bisa sedikit menyegarkan muka dengan tisu basah.

Biasanya, OB akan menyiapkan roti bakar dan kopi hitam dari pantry. Namun, pagi itu, pekerjaan si OB berkurang dan sekretarisku mendapat pekerjaan tambahan, menyalin bubur ayam yang diantar kurir dari kemasan styrofoam ke dalam piring.

Pernah juga, dia tidak bisa tidur dan mengirimiku pesan setelah lewat tengah malam, "M."

Sayangnya, aku sudah tertidur hingga baru bisa membalas pesannya saat bangun, menjelang subuh. "Insomnia?"

Dia membalas dengan beberapa pesan beruntun. Pesan pertama hanya, "Hm."

Pesan kedua, "Ngantuk banget."

Dilanjutkan dengan, "Padahal masih harus nyetir ke kantor."

Kubalas dengan, "Kujemput sekarang."

Kutelepon supirku agar datang lebih cepat. Dia datang lima belas menit sebelum azan subuh berkumandang lalu segera mengebut menuju rumah Zea. Di masjid dekat rumahnya, kami berhenti untuk menunaikan salat subuh. Tak lupa aku meminta izin Ayah Zea, yang juga kebetulan salat berjama'ah di masjid yang sama, untuk mengantar putrinya ke kantor.

Ayah Zea memandangku bingung, tetapi setelah sedikit menginterogasi, memberikan izinnya. Zea benar-benar mengantuk saat kujemput. Dia bahkan sama sekali tidak mengenakan make up ataupun merapikan rambutnya. "Oh, aku belum mandi. Kamu ngga keberatan, kan?" tanyanya setelah aku duduk di sampingnya.

Aku belum sempat menjawab sedangkan dia sudah menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Hanya beberapa detik setelah mobil meninggalkan rumahnya, dia tertidur.

Dia tidak tahu. Mandi atau tidak, bagiku, melihatnya tidur dengan pulas di sisiku saja sudah seperti mimpi lama yang menjadi nyata.

***

Sorenya, aku menawarkan untuk menjemputnya dari kantor, tetapi dia menolak. "Ayah mau jemput, sekalian bawain mobilku," katanya.

Menjelang tidur, dia curhat melalui telepon. "Masa baru dijemput sekali aja langsung disuruh kawin," katanya kesal.

Aku terpaksa menahan tawa dan berpura-pura prihatin, tetapi dia terlalu pintar untuk tidak menyadarinya. "Kok, kamu malah ketawa, sih? Senang, ya, tahu aku dipaksa kawin?"

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang