Mencintai

341 79 26
                                    

Ayah Zea langsung mengumumkan kedatanganku begitu tiba di rumah. Dengan tergopoh-gopoh, masih mengenakan mukenanya, Ibu Zea menemuiku di ruang tamu. Senyumnya semringah ketika menyapa, "Nak Rofiq belum makan, kan? Ayo, sekalian. Langsung ke meja makan."

Belum sempat aku membalas dengan sedikit basa-basi, Ayah Zea sudah memandu ke ruang makan. Di sana, Zea, yang juga belum melepas mukena, meletakkan piring dan gelas terakhir di bagian kosong meja makan. Senyumnya yang tak terdefinisi membuatku kesulitan menebak apa yang dipikirkannya.

Kehangatan dan keakraban yang disajikan Ayah dan Ibu Zea menjadikanku sedikit canggung. Berkali-kali, aku berusaha minta tolong kepada Zea melalui lirikan-lirikan kecil, tetapi sia-sia. Dia malah terlihat menikmati kecanggunganku dengan senyuman yang diulas sembunyi-sembunyi.

Setelah makan dan pindah ke ruang tamu, Ayah dan Ibu Zea pun masih terus menemaniku dengan obrolan-obrolan ringan yang terasa seperti basa-basi, tetapi jelas sekali memancingku untuk membicarakan tentang rencana pernikahan, padahal aku masih menunggu hasil pembicaraan Zea dan Ibu. Di sisi lain, Zea tidak bergabung bersama kami. Begitu selesai makan malam, dia segera merapikan piring, lalu menghilang dari pandangan.

Pertanyaan-pertanyaan yang menyerempet rencana pernikahan itu sebenarnya mudah saja disambut dengan pernyataan keseriusan dalam bentuk lamaran. Namun, aku perlu tahu dulu bagaimana hasil akhir pembicaraan Zea dengan Ibu. Karenanya, kurogoh ponsel di saku kemeja, dan setelah minta izin untuk menelepon, kuhubungi nomor Zea.

Voice chat yang kukirimkan masih bercentang abu-abu. Waktu online terakhirnya adalah empat jam yang lalu. Tampaknya, dia sibuk sekali hingga tak sempat menengok ponsel sama sekali.

Sialnya, panggilan teleponku hanya berdering tanpa diangkat. Kepalaku benar-benar pening dibuatnya. Akhirnya, hanya bisa pasrah. Apa pun yang terjadi, terjadilah. Zea telah berhadapan dengan ibuku sendirian. Sekarang tiba waktunya aku berhadapan dengan kedua orang tuanya, juga sendirian.

Kumantapkan hati dan kuteguhkan diri. "Benar, Pak. Perusahaan memindahkan saya ke Port Moresby untuk mengepalai cabang yang baru dibuka di sana. Jadi, saya minta izin untuk mengajak Zea ikut pindah ke sana, setelah menikah." Kata-kata meluncur lancar seperti air yang mengalir tenang ke samudra. "Karena waktu kepindahan sudah ditetapkan bulan depan, jadi saya harap pernikahan bisa dilaksanakan sebelum itu agar surat-suratnya bisa segera diselesaikan."

Tanpa kusadari, Zea telah berdiri beberapa langkah dari meja. Matanya beku menatapku, sementara tangannya kaku menating baki berisi minuman dan camilan.

Kami bertatapan, lebih tepatnya, aku berusaha setenang mungkin menatap matanya. Dengan mata berbinar dan senyum super lebar, Ibu Zea menyuruh putrinya meletakkan isi baki di meja lalu duduk bersama kami.

Seluruh cairan di kerongkonganku seperti menguap terkena sinar mata Zea yang terasa membakar. Tiba-tiba, aku merasa seperti pesakitan di muka hakim.

"Semua tergantung Zea," Ayah Zea akhirnya angkat bicara dengan nada yang sangat serius, "kalau Zea sudah siap, semua bisa diatur."

Zea kembali menatapku setelah membalas tatapan ayahnya. "Satu bulan, apa tidak terlalu cepat?"

Ibu Zea mengelus punggung tangan putrinya. "Lebih cepat lebih baik, kan? Kalau ditunda-tunda, malah khawatir jadi dosa."

Zea menatap tangan ibunya lalu menghela napas dan membuang pandang jauh, entah ke mana.

Aku tak berani berkata-kata lagi. Melihat wajah sedih Zea, hatiku terasa patah. "Kalau Zea belum siap, tidak apa-apa. Pernikahan adalah proyek seumur hidup, tidak perlu terburu-buru."

Tangan Ibu Zea beralih menjadi genggaman yang melingkupi tangan putrinya. "Ah, Zea sudah siap, kok. Ya, kan, Zea?"

Zea menarik tangannya perlahan, menghela napas, lalu menatapku kembali. "Ya. Aku siap."

Kutelan ludah yang terasa menggumpal di mulut. "Bener?"

Dia mengangguk. Namun, aku bisa melihat bibirnya sedikit gemetar. "Tapi aku minta waktu buat ngurus konsultan yang baru aku bikin bareng teman-teman. Mereka belum tahu perubahan besar ini. Jadi, kasih aku waktu untuk membereskannya."

Aku mengangguk maklum. "Kamu bisa pakai waktu seberapa pun yang kamu butuh. Urusan pernikahan, kita serahkan saja ke WO, biar mereka yang ngurus."

Zea mengangguk, tetapi matanya tidak menunjukkan cahaya kegembiraan apalagi antusiasme.

"Tapi, sebelumnya, aku ingin bertanya sekali lagi," kataku, lurus-lurus menatap Zea, "apa ini benar-benar yang kamu inginkan?"

Zea mengerutkan kening.

"Maksudku ...." Pertanyaan itu terasa berat, bahkan di lidahku. "Pernikahan ini adalah sesuatu yang benar-benar kamu inginkan?"

Zea mematung. Seluruh ototnya seolah beku. Matanya tak bergerak, tajam menatapku.

"Zea?" ibunya memanggil seperti sedang berusaha menyadarkan.

Zea mengedipkan mata sambil sedikit berdeham. Dia menegakkan tubuh, tetapi suaranya tetap bergetar saat berkata, "Ya."

Kuhela napas dalam dan kutatap lagi kedua matanya. Masih tak ada kegembiraan di sana. "Kata Rasulullah, pernikahan itu menggenapkan agama. Itu berarti pernikahan seharusnya meningkatkan kualitas diri kita karena menggenapkan agama tidak mungkin dilakukan dengan jiwa yang tertekan." Kualihkan pandang ke arah Ayah dan Ibu Zea. "Bukan begitu, Pak? Bu?"

Keduanya mengangguk dalam satu irama tersinkronisasi.

"Karenanya, saya meyakini bahwa tidak boleh ada paksaan dalam pernikahan," kataku lagi, "apa pun bentuknya."

Zea menatapku lurus. Ketegangan yang menyelimutinya perlahan pudar bersama senyuman yang tipis terulas.

"Jadi, Zea, apa kamu yakin?"

Ibunya menatap tajam dengan kening berkerut.

Aku menelan ludah. Saat itu aku makin mengerti, betapa kuat cengkeraman ibunya dan betapa rapuh Zea dalam intimidasi perempuan itu. Kuputuskan untuk blak-blakan di hadapan kedua orang tuanya. "Seandainya ibumu tidak sakit dan tidak memaksamu menikah secepatnya, apa kamu masih mau menikah denganku?"

Keterkejutan jelas terpancar dari wajah Zea dan ibunya. Ibu Zea serta-merta menoleh dan menatapku tajam. "Saya tidak pernah memaksa," katanya tajam.

"Ibu ...." Kurendahkan suara selembut mungkin. "Jika dalam agama saja tidak ada paksaan, kenapa harus ada paksaan dalam pernikahan? Lagipula, pernikahan bukanlah ibadah wajib. Jika Zea belum menemukan seseorang yang ia yakini mampu meningkatkan kualitas diri dan agamanya, kenapa harus memaksanya?"

Bibir Ibu Zea bergetar. "Zea," katanya dengan suara gemetar, "seandainya Ibu tidak sakit dan tidak menginginkanmu menikah secepatnya, apa kamu akan memutuskan untuk menikah?"

Air mengambang di pelupuk mata Zea. Dengan satu kedipan, dua tetes air jatuh dari sepasang mata itu. Perlahan, ia menunduk dan menggeleng.

"Zea!" Ibunya berseru kecewa. Air menggenang di matanya yang memerah seketika. Suaminya cepat-cepat meraih tangannya dan mengusap punggungnya. Dengan menutup mata, ia berlalu meninggalkan ruang tamu.

"Bu!" Ayah Zea ikut berdiri mengikutinya masuk ke dalam.

Tinggal Zea di ruang tamu dengan kepala tertunduk dan air yang jatuh satu-satu dari matanya.

Kutarik selembar tisu dari kotaknya dan kusodorkan kepadanya.

Dia mengambil tisu itu dan menghapus air matanya. Perlahan, dia kembali menegakkan kepala menatapku. Bibir dan matanya tersenyum bersamaan.

Kubalas senyumnya seikhlas mungkin. Mimpiku baru saja hancur sekali lagi. Namun, aku senang melihatnya begitu tenang.

"Ibu mungkin bakal sakit lagi," Zea berujar pelan.

Aku mengangguk. "Cinta bukanlah pengorbanan," jawabku.

"Oya? Lalu menurutmu, apa itu cinta?"

"Penerimaan," jawabku nyaris tanpa berpikir, "menerima orang yang kita cintai secara utuh. Tak peduli, apakah dia sesuai dengan keinginan kita atau tidak."

Zea mengangguk dan kembali tersenyum. "Indah sekali. Apa kamu mau mencintaiku?"

Pertanyaan gila. "Apa selama ini, kamu tidak merasa aku cintai?"

Dia tertawa kecil dan membuang muka.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang