Reuni

387 77 32
                                    

Kelas F masih seperti dulu, tak punya karya apa pun untuk dipamerkan saat reuni. Aku tidak tahu di angkatan berapa akhirnya anak-anak F punya ide menarik. Alih-alih menjual karya, kami malah membeli jam terbang. Kupikir, mungkin bukan para siswa yang punya ide seperti itu. Lebih masuk akal jika salah seorang guru atau bisa jadi juga wali kelas mereka yang melontarkan ide.

Ingatanku kembali ke masa lalu, ketika menjadi panitia booth F. Seluruh anak F bisa dibilang merupakan panitia. Karena, menurut teman-teman, wajahku adalah yang paling normal di antara semuanya, maka aku mendapat tugas menjadi penerima tamu di pintu masuk booth. Ketika itu, aku bersama Nia, satu-satunya siswi berjilbab di kelasku, harus berdiri di depan pintu, menebar senyum dan mengantarkan kakak-kakak yang datang untuk duduk di tempat yang telah disediakan.

Menjelang siang itu, seorang siswa lelaki dan seorang siswa perempuan juga menyambutku dengan senyum mengembang. Mereka menyapa sembari membuat lingkaran menggunakan telunjuk dan jempol di depan dada. Itu adalah kode kelas F. Berdasarkan kode itu, kami akan menentukan tempat duduk bagi kakak alumni.

Kakak alumni yang membalas dengan kode yang sama akan duduk bersama kapten dan pengurus kelas lainnya. Di sana, dia akan diminta berbagi kisah sukses, yang biasanya sangat menakjubkan.

Aku ingat sekali kisah salah seorang kakak alumni tukang berkelahi yang tidak diterima di perguruan tinggi mana pun. Akhirnya dia mengikuti pelatihan satpam dan bekerja sebagai saua pengamanan pabrik selama lima tahun. Selama menjadi satpam, dia banyak berkenalan dengan polisi juga tentara. Dari situ dia belajar tentang cara-cara pelatihan pertahanan diri dan lingkungan. Berdasarkan pengetahuan itu, ditambah koneksinya dengan polisi serta tentara, dia kemudian mendirikan perusahaan penyalur satpam yang kemudian juga bergerak di bidang pengawalan pribadi.

Kami semua terpana mendengarnya. Siapa sangka, siswa langganan ruang hukuman bisa menjadi seorang yang sukses juga. "Siapa pun yang bilang kalian madesu, jangan percaya!" tegasnya, "masa depan itu, Allah yang tentukan, bukan guru-guru." Itu adalah kalimatnya yang masih kupegang sampai sekarang.

"Selamat datang, Kakak Rofiq," kata si penyambut tamu sambil menyerahkan stiker yang sudah dituliskan namaku beserta angkatan. Siswa yang bertugas menyambut tamu, kemudian mengantarku masuk dan mempersilakanku duduk bersama kapten dan seorang alumni yang sedang berbagi cerita. "Izin merekam, ya, Kakak," kata sang kapten setelah menyambut dan mempersilakanku duduk.

Kulirik kamera yang sedang menyala dan kuanggukkan kepala sembari tersenyum. "Okay. Udah canggih, ya, sekarang." Waktu zamanku dulu, kami hanya menggunakan perekam suara yang di-back up dengan notulensi dari admin kelas.

"Kenalin, ini Kak Hasan, sekarang udah jadi dokter di Pulau Panjang," Kapten memperkenalkan seorang alumni yang dari stiker pengenal di dadanya, aku tahu, dia dua angkatan di bawahku.

"Wow! Ada juga anak F yang jadi dokter," kataku, menyalaminya dengan bangga.

"Yah, terima kasih pada standar pendidikan yang tidak merata di Indonesia," katanya merendah.

Aku tertawa mendengarnya. Meski terdengar seperti candaan, tetapi itulah kenyataan pahit di negeri plus enam dua. "Kan, gua mau jadi dokter, jadi gua cari, tuh, fakultas kedokteran, yang nilainya paling rendah se-Indonesia. Nemu, di Halu Oleo."

"Hah? Halu apa, Kak?" siswi di samping Kapten mengonfirmasi dengan mata membulat.

"Halu Oleo, universitas di Kendari."

Kami semua manggut-manggut. Aku jadi teringat salah satu tips dari alumni yang juga kupraktikkan. "Kalo ngga bisa dapet jurusan yang dipengenin, seenggaknya, pilih universitas yang paling mentereng," kata salah seorang kakak alumni waktu itu.

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang