Jin Tanjung

369 78 28
                                    

"Eh, pohon itu!" seru Zea tiba-tiba, menunjuk satu pohon tanjung yang rimbun tepat di belakang auditorium. Dengan gembira, dia berlari dan memeluk pohon itu. Bibirnya terlihat komat-kamit membisikkan sesuatu.

Dia baru melepaskan pelukannya ketika menyadari aku sudah berdiri di sampingnya. "Aaah, ngga nyangka, pohonnya masih ada. Udah tambah tinggi kayanya," katanya lagi, menepuk-nepuk pohon tanjung itu, "tambah gede juga."

"Pohon ini, bunganya wangi banget. Aku suka ngambilin yang jatuh buat jadi pembatas buku," katanya lagi, dengan mata berbinar.

Aku tak bisa menahan senyum melihatnya begitu bahagia menemukan pohon itu. Dia tidak tahu, tukang kebun sudah menyapu seluruh bunga yang gugur setiap pagi. Biasanya, aku mengambil segenggam kuntum bunganya yang gugur sebelum beliau mulai bekerja. Menjelang jam istirahat, kutebarkan bunga-bunga itu di bawah pohon agar dapat menguarkan aroma harumnya yang khas.

"Aneh, ya. Padahal, kayanya lagi berbunga, tapi ngga ada satu pun yang jatuh ke tanah," katanya, berjalan memutar sembari bergantian melihat tanah dan kerimbunan dedaunan di atas kepala.

"Mungkin masih belum ada yang layu," jawabku enteng.

"Masa, sih? Padahal, dulu tiap aku ke sini, pasti banyak bertebaran di sini," katanya, menunjuk dengan kaki area berumput di sekitar akar pohon.

"Ya, itu, kan, dulu," jawabku, menahan tawa.

"Apaan, sih? Kamu ngetawain aku, ya? Pasti kamu mikirnya aku konyol banget, deh," katanya sedikit merajuk.

"Aku ngga bilang begitu," jawabku, berusaha menyembunyikan tawa sambil mencari tempat duduk di dekat batang tanjung.

"Ini, tuh, tempat favorit aku, tau," katanya, ikut duduk di sisiku

Aku membalas dengan manggut-manggut. Tentu, aku sudah bisa menebaknya.

"Dulu, kalo lagi bete, kesel, marah, pengen nonjok orang, aku pasti ke sini. Soalnya ...." Dia menatapku sembari menggigit bibir bawahnya, lalu tersenyum canggung dan memeluk lutut, seperti yang dulu sering dilakukannya jika berada di bawah pohon tanjung itu.

"Ya, gitu, deh," katanya, akhirnya.

"Kamu ngga punya teman curhat?"

"Hm. Aku ngerasa, ngga ada gunanya ngomongin masalah sama orang lain. Mereka juga ngga akan bisa menyelesaikannya."

"Tapi kamu selalu meneleponku kalau ada masalah."

Dia tertawa kecil. Disurukkannya kepalanya di antara dua lutut.

"Benar, kan?" Sedikit merunduk, aku mencari matanya di celah antara lengan dan lutut.

Dihelanya napas sembari mengangkat kepala, menatapku. "Ngga tahu, ya. Kayanya, kamu selalu punya solusi buat masalah apa pun."

Aku tak membantah. "Padahal, aku ngga melakukan apa-apa."

"Iya, juga, sih, tapi kayanya, kalo ngomong sama kamu, tiba-tiba aja, kaya dapat pencerahan. Aku jadi punya ide buat menyelesaikan masalah."

"O, ya?"

"Kamu ngga bosen, kan, dengerin aku?"

Aku menggeleng. Dari dulu, aku tak pernah bosan.

"Aih, kamu baik banget, deh," katanya, menepuk dua tangan, "tau, ngga, aku ngerasa, pohon ini ada penunggunya, loh."

"O, ya?" Benar-benar sulit dipercaya. Sepanjang memanjat-manjat pohon tanjung itu, aku tak pernah mengalami kejadian supranatural macam apa pun.

"Beneran. Tau, ngga. Waktu itu, kan, aku pertama kali ke sini nangis-nangis gitu. Trus, besoknya, di sini, nih," katanya, menepuk-nepuk punggungku agar bergeser sedikit, "di tempat kamu duduk ini, ada susu cokelat sama surat gitu."

Ta'arufTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang