viii. bagi satu insan itu istimewa__
Satu minggu kemudian
Luna tengah membersihkan mesin yang terlihat kotor. Pembeli hanya terlihat beberapa karena sekarang di luar hujan deras. Aroma petrichor yang menguar tercium.
“Buka mulutnya, Lun!”
Luna membuka mulut dan kue yang rasanya sangat enak memenuhi indra perasaanya. “Enak Kak!”
Diko tersenyum, hatinya puas. Tak sia-sia ia belajar membuat kue satu minggu ini.
“Eh, tau ga!” Kalimat pembuka Ilham saat ingin mulai bergosip muncul.
“'Napa?” tanya Diko yang memakan kuenya.
Ilham mendekat, kini ke empatnya terduduk di meja dekat kasir itu. “Ada pembunuhan lagi loh, tadi malem ditemuin!”
Meli mulai terlihat tertarik. “Ah, yang bener, Yank?”
Ilham mengangguk serius. “Nih liat.” ucapnya sambil menyodorkan ponsel yang memperlihatkan berita lokal. Luna mengerutkan keningnya, wajah itu nampak familiar. “Padahal mah ya udah sebulan ini gak ngedenger pembunuhan lagi. Eh, sekarang ada lagi. Mana lokasinya deket dari sini lagi. Ngeri anjir!”
“Hm.. kira-kira siapa ya yang ngelakuin hal bejad kaya gitu?” tanya Meli ngeri
Ilham menyenderkan punggung tegaknya pada kursi. “Ga tau, polisi juga belum nemuin pelakunya. Padahal udah sering banget ya. Tapi asumsi sih geng klitih.”
“Serem banget itu geng. Tujuannya apa coba,”
“Aneh banget manusia. Apa nggak merasa bersalah menganiaya bahkan membunuh orang lain.”
Diko terkekeh. “Emang lo bukan manusia Mel?”
“Ais sembarangan ya lo. Sini gue pitek!” ucap tak rela Ilham karena pacarnya diledek.
Diko dan Luna terkekeh, sedangkan Meli sudah malu malu bagong. “Bucin terus mas-nya ya!”
Ilham bersila dada dan memasang wajah sombongnya. “Makannya cari pacar Bos-Quu!”
“Kan yang dikodenya ga pekaan Yank, kamu lupa?!” timpal meli ikut menggoda bosnya.
“Eh iya bener. Aduh kasian ya. Kodenya ga pernah nyampe!”
“Kurang doa itu, Yank!”
“Kurang keliling kampung tengah malem!”
PLUK
Ilham meringis sedangkan Meli tertawa puas melihat kekasihnya kesakitan.
“Sekali lagi ngomong, gue lemparin ni bangku!”
Ilham mengangkat tangannya, pertanda menyerah.
Banyak yang mereka perbincangkan. Mulai dari kuliah, gosip dan topik lainnya. Namun yang dari tadi cerita hanya Ilham, Diko dan Meli. Sedangkan Luna lima menit terakhir mulai menangkup kepalanya di atas meja. Meli dan Ilham yang melihat itu hanya menatap kasihan pada tubuh mungil itu. Diantara mereka memang Luna yang paling muda namun paling banyak juga kerjaannya.
Diko bangkit, kemudian secara perlahan dan lembut membawa Luna dalam gendongannya. “Biar gue bawa dia ke atas.”
Diko menaiki tangga dengan perlahan tak ingin membangunkan gadis itu. Sesekali ia berhenti ketika Luna mulai terusik. Ia menahan nafas ketika Luna menggosokan kepalanya pada lehernya. Setelah Luna merasa nyaman dan diam, Diko pun kembali berjalan. Membuka ruangannya dan menidurkan Luna di sofa kesayangannya. Mengambil selimut yang suka dipakainya ketika menginap di Café dan melentangkannya pada tubuh Luna.
Dirinya berjongkok. Kini dapat ia saksikan dengan jelas wajah Luna yang damai. Meski dalam keadaan sadar pun Luna selalu terlihat damai. Hanya saja ini terlihat sangat polos hingga mampu menyubit hati kecil Diko.
Kulit Luna cenderung mengikuti ras mongoloid, tak cokelat namun tak putih juga. Namun pencampuran itu sangat terasa pas di tubuh mungilnya. Bulu mata lentiknya yang pertama kali membuat dirinya penasaran. Hidungnya sedang saja tak begitu mancung namun membangkitkan rasa ingin melukis dengan jari panjangnya. Bibirnya.... ah, bahkan Diko tak bisa mendeskripsikan lekukan itu.
Diko mendekatkan wajahnya kepada Luna dengan jantung berdetak sangat keras, mencoba mengikis jarak di antara mereka.
***
“Gue ketiduran ya Kak, sorry yaa.”
Ilham Meli da Diko yang sedang merapihkan seisi Café menengok. Meli tersenyum, “Gapapa kali Lun, sekalian kamu istirahat juga. Liat noh kantong mata dah kaya apaan coba!”
“Kaya kantong kresek yang warna item itu loh yank.”
Luna terkekeh, kemudian mulai membantu Ilham yang sedang mengangkat kursi. Kemudian menyapu.
“Mau bareng, Lun?” tanya Diko yang sedang mengunci pintu.
Ilham dan Meli sudah pulang dua menit yang lalu, kini hanya tinggal mereka berdua saja.
“Engga, Kak.” jawab Luna sambil membenarkan poninya. “Gue duluan ya kak.”
Luna berjalan setelah mendapatkan anggukan kecil dari Diko. Tangannya mulai mengambil earphone-nya dari tas hitamnya yang dipakai sejak masa SMA. Meski sudah terkesan tua namun masih sangat bagus dan warnanya pun tak pudar. Dulu ia membelinya dengan harga yang lumayan mahal juga.
Lantunan musik dari boy grup kegemarannya terdengar memabukan. Lirik jatuh cinta yang dibawakan pada lagu "Darari" seakan menyebar ke rongga hatinya menyebabkan hangat memeluk jantungnya.
Luna terkejut saat ada yang mencabut earphone kanannya. “Kak?!”
Diko hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti beat dari musik yang keluar dari earphone kanannya. “Lagu siapa nih? enak.” ucapnya mensejajarkan langkah dengan Luna yang sudah memulai jalan kembali.
“Treasure, boy grup Korea.” Luna memeluk dirinya, jaket yang ia kenakan tak mampu membuatnya merasa hangat ditengah dinginnya udara malam. “Btw, ngapain kak?”
Diko melepas jaketnya dan menanggalkan pada Luna yang menatap heran padanya. “Pake aja, laki gue mah, kuat.. oh gue mau ke kos temen gue yang ada di persimpangan sana.”
Luna sebenernya agak heran, kenapa gak pake mobil aja? jalan ke persimpangan membutuhkan waktu yang lumayan. Namun ia hanya mengangguk dan merapatkan jaket yang ia kenakan. Diko mulai bercerita tentang kuliahnya. Mengambil jurusan bisnis ternyata tidaklah mudah. Diko mengambil itu karena ia akan meneruskan perusahaan ayahnya kelak.
Diko dan Luna adalah dua kepribadian yang sangat bertolak belakang. Jika Luna adalah orang yang susah meng-ekspresikan sesuatu maka Diko adalah orang yang sangat ekspresif. Bibir tebalnya seakan tak mampu menahan pemiliknya untuk tidak berbicara dengan heboh. Luna hanya mengangguk dan bergumam ketika mendengarkan Diko bercerita dan membutuhkan tanggapan darinya.
Kini Luna melepaskan jaketnya dan memberikannya kembali pada Diko yang diambil oleh pemiliknya dengan senyum manis dan mengenakannya kembali. “Makasih kak.”
Diko mengangguk. “Iya, yaudah sana masuk.”
Luna menurut dan masuk kawasan kos setelah berpamitan dengan Diko. Dirinya tidur dengan nyenyak setelah membersihkan diri. Dalam hati sebelum tidur dirinya berharap, semoga hari esok lebih mudah untuk dilaluinya...
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] LunaSya
Teen Fiction[ Lunatic Series #1 ] Dua wanita dengan kepribadian sama saling memutuskan untuk menjadi pemuas satu sama lain. Jika Luna membutuhkan Sasya maka Sasya akan segera meluncur ke tempat wanita bergigi kelinci itu, pun sebaliknya. Kegiatan itu berjalan...