xxiii. reason for stay___
♪
selaras - kunto aji ft. nadin amizah
___Senyum tak luntur dari wajah wanita bergigi kelinci itu. Sejak 20 menit yang lalu--setelah minta izin pada Diko-- dia bertelepon dengan gadis kecilnya yang ada di salah satu rumah di Ibu Kota itu.
“Ina mau kakak bawain apa?”
“Ina ga mau dibawain apa-apa sama Kakak, mau Kakak pulang aja, terus langsung peluk Ina!”
Luna terkekeh dengan nada yang Kyna keluarkan. Ina adalah panggilan sayangnya untuk gadis bernama lengkap Kyna Kirana itu. Ia sekarang bisa membayangkan wajah gadis itu yang tengah bersemi. Kyna dan aegyo adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan.
“Iya, nanti Kakak abil cuti ya? Eum.. 3 minggu lagi, deh..”
“BENERAN KAK!!?...”
Luna sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya, jeritan Kyna itu selevel teriakan tikus kejepit!
“ ... Janji loh ya?!!”
“Iya, janji deh”
“Gapapa deh 3 minggu, daripada enggak sama sekali. Udah 4 bulan kakak ga ke sini...”
Bibir Luna ikut tertekuk mendengar suara sendu sang adik. Ia menghela nafasnya sebelum kembali berucap.
“Ina tungguin Kakak ya? Nanti Kakak bawain bakpia deh!”
“ASIKK! Ayo cepat pulang Kak. Ina ga sabar nih makan,”
Luna terkekeh. Bagaimanapun adiknya itu sangat jauh berbeda dengannya. Kyna itu social butterfly, bukan seperti dirinya.
“Oke deh Princess. Yaudah kakak pamit dulu, ya? Kakak masih harus kerja nih...”
“Oke kak! Jangan lupa jaga kesehatan ya? Adek selalu nunggu di sini,” ucapnya. “Kak...” panggilnya.
“Pasti, kakak pasti jaga kesehatan. Iya, kenapa Na?”
“Adek sayang kakak.”
Meski pelan Luna dapat mendengarnya dengan jelas. Ia pun tersenyum, hatinya menghangat. Jarang-jarang adiknya mengungkapkan rasa cinta.
“Kakak juga. Yaudah, kakak pamit ya?”
“Oke Kak! Bubye!”
“Bye...”
Luna masih menatap ponselnya. Hatinya benar-benar dalam suasana baik. Ia pun langsung bergegas kembali ke pantri dan menggantikan Diko yang sudah bersedia mengambil alih pekerjaannya.
“Seneng banget Lun,”
Luna tersenyum, mengangguk dan memberi kopi itu pada Meli untuk diantarkan. “Iya, Kak.”
“Kenapa?”
“Abis berkabar sama Kyna. Udah sebulan ga kontakan sama dia,”
Diko terkekeh, “Kenapa atuh ga teleponan?”
Luna mempress tangannya dengan air, berbalik dan menatap Diko yang tengah tersenyum padanya. “Lupa, Kak”
Diko mengacak rambut Luna gemas. “Lun,”
Luna sudah kembali membuat pesanan, tangannya begitu lihai menyajikan espresso, “Apa?”
“Kula bernapas Kowe bernapas, mosok Kene jodoh.”
: lo nafas, gue juga, jangan-jangan kita jodohLuna berbalik, melihat Diko yang sedang menggaruk belakang kepala dengan mata yang masih tertuju padanya, “Berarti jodoh gue 7,7 miliar orang, gitu?”
“Yeuu, ... ehh, udah bisa bahasa Jowo toh?”
Luna kembali menunaikan tugasnya. “Lumayan, sering denger, sih. Jadi ya gitu..”
“Lun, anterin ini makanan ke temen kamu!”
Tiba-tiba Meli menengahi percakapan kedua insan itu. Luna melihat ke ujung ruangan dimana ada Sasya yang sedang memainkan ponselnya.
“Biar gue aja, Mel.”
Diko mengambil nampan yang membawa sebuah spaghetti dan melangkahkan kakinya menuju Sasya.
“Sejak kapan dia di sini?”
“Lima menit yang lalu, mungkin?”
Luna mengangguk. Kemudian kembali mengerjakan tugasnya yang akan selesai 30 menit lagi.
***
“Udah gue bilang, jangan deket-deket sama Diko!”
Luna mencoba melepaskan cengkraman erat Sasya pada lengannya. Pergelangannya sudah mulai memerah.
“Apa hak lo larang-larang gue!?”
“Cih, brengsek. Lo mau jadi mainannya juga?!”
“Brengsek ...?”
Entah kekuatan dari mana, Luna berhasil menghempaskan pegangan Sasya.
“ ... how bitch you are!?”
Sasya tersenyum miring, “Oh ya?”
Posisi berbalik, kini Luna yang mencengkram erat tangan Sasya dan membenturkannya ke tembok.
“Ahh...”
Erangan dari Sasya mulai terdengar ketika Luna menciumnya dengan beringas.
“Aww,” keluh Sasya ketika Luna menggigitnya gemas.
Luna tersenyum melihat Sasya terengah. Ia kemudian mulai mencium Sasya kembali dengan sangat lembut. Mencumbunya seakan itu adalah barang berharga yang akan hancur jika kasar sedikit.
Tangan Sasya sudah melingkar pada pinggang Luna. Mereka saling berputar dan menggiring diri pada kasur.
“Aduh!”
Mereka terjatuh di sofa karena Sasya tak sengaja menabrak benda itu.
Keduanya saling menatap, lalu terkekeh kecil. Luna yang berada di atas Sasya pun dengan mudah kembali melayangkan sebuah ciuman. Bibirnya mulai mengecup seluruh inti wajah Sasya. Mulai dari hidung, mata, pipi, dahi dan kembali lagi ke bibir. Dua insan itu terpejam, Sasya terlihat sangat menikmatinya.
“Khhhh... Lun....”
Desah Sasya semakin terdengar ketika Luna dengan secara perlahan membuka kancing kemejanya. Luna kembali mencium bibir Sasya dan mengisyaratkan wanita dibawahnya agar bangkit kemudian ia melepaskan baju Sasya.
“U look so hot,” ucap Luna yang kini tengah mengamati Sasya yang sudah setengah telanjang.
“Yeah, it's me.”
Luna tersenyum miring, "Kenapa kau sangat sombong, huh?" Kemudian langsung mendorong Sasya kembali agar terbaring ke sofa dan menyerang leher sang empu.
Tidak ada jawaban dari Sasya, mulut wanita itu sibuk mendesah karena sentuhan lembut lawannya. Dia suka kekerasan, namun entah mengapa kelembutan ini sangat membawanya ke awang.
Mulut Luna sibuk menjelajahi setiap inci dari tubuhnya. Jeans yang dipakai sudah lepas dari kaki jenjangnya. Menyisakan celana dalam yang belum ditanggalkan.
Luna bangkit dari kegiatan mencium jempol kakinya. Mata sayunya menatap Sasya dengan lembut. Kembali berucap sebelum menyerang bibirnya kembali. “Sekarang, gue yang pimpin.”
[]
Kalian ngebayangin visual mereka siapa guys?
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] LunaSya
Teen Fiction[ Lunatic Series #1 ] Dua wanita dengan kepribadian sama saling memutuskan untuk menjadi pemuas satu sama lain. Jika Luna membutuhkan Sasya maka Sasya akan segera meluncur ke tempat wanita bergigi kelinci itu, pun sebaliknya. Kegiatan itu berjalan...