ix. kehangatan yang berbeda

6.7K 289 1
                                    


ix. kehangatan yang berbeda

___

Luna membantu begitu melihat Sasya yang sedang menunggunya di parkiran dengan mobil Jazz merahnya. Luna berpamitan pada Diko, Ilham dan Meli setelah sadar dari kagetnya. Setelah itu ia berjalan menuju Sasya dengan langkah pelan.

“Naik.”

Luna mangut, langsung masuk dan duduk di kursi depan sebelah kiri. Alunan musik tenang yang berasal dari musik player  mulai terdengar saat Sasya menyalakan mobil. Tak lama Sasya menjalankan mobilnya.

Tak membutukan waktu yang lama kini mobil sudah berhenti lagi. Luna mencoba membuka pintu namun terkunci. “Buka Sya.”

Sasya yang sedang menyender pada kursi empuk itu hanya diam sambil memejamkan mata. Mobil belum di matikan, udara yang keluar dari ac menyejukan. Wangi citrus yang menjadi pewangi menyegarkan.

Tak kunjung mendapat balasan, Luna pun ikut menyenderkan punggungnya pada jok. Sedikit mengatur tombol reclining untuk memundurkan jok karena merasa kurang nyaman.

Masih suara dari music player  yang beraung pelan, sedangkan para penghuninya masih diam dalam hening.

Sasya membuka mata, pandanganya mengarah pada tubuh Luna. Mata Luna terpejam, bulu mata lentiknya turun untuk membantu mata itu terlelap. Dirinya keluar dari mobil lalu membuka pintu Luna untuk menggendong wanita itu setelah tadi dipanggil tidak ada sautan.

Meski tubuh mereka nyaris sama namun tenaganya lebih besar dari si mungil itu. Tak terlihat kesusahan sedikit pun ketika menggendong Luna. Mungkin faktor seringnya melakukan itu saat mereka bergelut.

Tangan kanannya memecet tombol kunci tergembok dan kemudian ia berjalan. Dengan mudah Sasya membuka pintu kos Luna. Di letakkannya Luna pada kasur dengan perlahan.

Sasya berdiri tegak macam pilar. Matanya masih mengamati gadis yang sudah tertidur dengan lelap itu. Kedua sudut bibirnya segaris. Nafasnya berhembus dengan sangat tenang dan berirama. Setelah cukup lama mengamati ia berjalan ke arah kamar mandi dan membersihkan wajah dan gosok gigi yang memang beberapa barangnya yang sengaja disimpan di sini.

Setelah merasa bersih ia kembali ke kamar dan menidurkan diri di samping Luna. Ditutupnya tubuh putihnya dengan selimut yang sama dengan Luna. Tubuhnya mendekati Luna dan menenggelamkan kepalanya pada dada Luna dan entah sadar atau tidak Luna membalasnya dengan mendekap kepala itu seperti layaknya guling. Suara detak jantung tenang milik Luna seakan seperti lantunan music box  “Brahms Lullaby” yang sering di dengarnya; menenangkan dan menyenangkan. Ia pun terlelap dengan hangat yang menyertai hati dingin itu.

***

Sepasang retina hitam mulai terlihat ketika sang pemilik mulai bangkit dari tidurnya. Kini sepasang bola itu menatap Luna yang masih lelap dalam mimpinya. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan masuk kamar mandi.

Dua puluh menit kemudian Sasya sudah keluar dengan baju yang berbeda dan nampak sangat segar. Rambut sepunggungnya menjuntai basah pada bajunya. Ia mulai mengambil hairdryer dan duduk di depan cermin. Kurang dari sepuluh menit rambutnya kini sudah kering. Ia pun mengambil ponselnya dan memesan makanan online pada aplikasi pesan antar.

Matanya melirik pada jam di dinding. Pukul 5 lebih dua puluh. Sebenernya dirinya agak heran kenapa wanita gigi kelinci itu belum juga bangun. Setaunya Luna akan bangun pukul 5. Mungkin pekerjaannya kemarin begitu melelahkan.

Sasya pun menyalakan kembali ponselnya dan menelepon sebuah nomor. Dibawa olehnya ponsel itu ke telinganya. Matanya mengamati tivi yang tidak menyala dengan tajam. Beberapa detik kemudian telefon di angkat dan Sasya pun mulai berbicara.

Telepon tertutup setelah beberapa menit. Sasya berjalan ke arah karpet dan menyalakan tivi. Mengaturnya agar bisa terhubung Netflix dan memilih film dokumenter.

Sudut matanya menangkap Luna yang mengeliat, tangan itu dibawa olehnya memukul angkasa. Punggungnya meliuk. Jarak antara kasur dan ruangan tivi yang tak berjarak membuatnya leluasa melihat pergerakan gadis itu yang kini berjalan ke kamar mandi. Kos Luna hanya ada kasur, ruang tengah, dapur kecil dan kamar mandi. Sebetulnya Sasya pernah menawarkan, bahkan membawanya langsung ke salah satu apartemen yang ia punya, namun gadis itu menolak mentah-mentah idenya. Luna marah selama berhari-hari yang akhirnya menyebabkan dirinya menyerah dan membiarkan itu.

Telepon bergetar, Sasya mengangkatnya dan langsung menuju ke luar saat telepon sudah tertutup. Ia kembali menuju kamar dan mengambil piring dan sendok. Meletakan bubur pada masing-masing piring. Dan membawanya ke karpet.

Tak lama Luna keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Ia sudah mengenakan kaus putih yang dimasukan pada cuffed pants mocha-nya. Duduk di sampingnya.

“Makan.”

Luna lagi-lagi mangut dan langsung mengaduk buburnya, Sasya sedikit meringis ketika kacang, bumbu, bawang, kerupuk dan kaldu itu bercampur. Bagi tim bubur ga diaduk dia merasa mual dengan pemandangan itu.

“Kenapa lo pasang shower?”

Sasya masih menguyah. Tangannya mengelap sisi piring yang terdapat bubur yang keluar dari jalurnya. “Biar gue bisa mandi air anget.”

“Lo gila? ntar pemilik kosnya marah-marah sama gue!”

“Malah seneng lah dia.”

Yang Luna tak tahu bahwa dirinya telah membeli kos yang ditempati Luna ini satu bulan yang lalu. Sehingga dia santai-santai aja selama ini mau apain kos ini. Dia memang membuat perjanjian dengan Ibu Kos tentang harus merahasiakannya dan mengurangi harga pada Luna. Dan uang kos yang Luna bayar ke pemilik kos sepenuhnya akan ditransfer ke rekening Sasya.

“Ish! Pokoknya lo harus bilang ntar!”

“Iya. Sekarang abisin.”

Mereka telah beres makan lima belas menit yang lalu. Kini mereka tengah melakukan cuddle sambil melihat tivi dan berbaring di sofa setelah tadi debat karena tiba-tiba saja ada yang mengantarkan ini ke kos Luna. Siapa lagi dalangnya kalau bukan Sasya. Namun akhirnya Luna pun menyerah dan mengizinkan sofa itu untuk dimasukan. Karpet merah yang dulu setia menemaninya terpaksa harus diangkat dan diganti dengan karpet yang lebih kecil agar muat dengan sofa. Luna sebenernya menyukai sofanya karena adem dan warnanya sesuai dengan kesukaannya—dark grey. Namun tetap saja rasa tak enak muncul di hatinya. Rasa kesal merobek harga dirinya. Dan ketika kedua rasa itu menguasainya Sasya tanpa bicara langsung memasukkannya pada pelukan. Merasakan itu amarahnya berangsur menghilang digantikan oleh rasa hangat di sekujur nadinya. Hingga kini mereka tengah asik berpelukan, mengabaikan bajunya yang akan kusut nanti.

Luna bangkit setelah jam menunjukkan pukul 7. Dirinya mengambil tas gendong yang biasa dibawanya. Sedikit memberikan make-up pada wajah dan menyemprotkan parfum yang menguar wangi vanilla.

“Lo mau di sini? gue mau kerja.” tanyanya sambil memakai plimsoll sneaker putihnya.

“Di sini. Lo pergi aja.”

Luna berdiri dan mengangguk kemudian keluar dari kos. Sebelum menutup pintu ia kembali berkata. “Jangan lupa kunci pintunya!” Kemudian benar-benar hilang dari pandangan Sasya.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang