Ruangan remang itu berisi seorang wanita yang tengah menutup matanya, mengabaikan komputer yang nyala tak tersentuh. Pikiran wanita itu masih berkelana dan bertanya-tanya. Ada apa dengannya?
Sasya mendesah berat dan menumpukan dagu pada lengannya. Menatap email yang sudah berisi banyak pesan yang meminta dibalas.
Hahh, bagaimana dia ingin membahas pekerjaan disaat pikirannya tak mau fokus. Uh, dia sangat benci situasa dimana ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Teleponnya bergetar. Ia mengambil ponsel itu dan tersenyum kecil ketika melihat idnya. Tanpa berfikir ia langsung menggeser icon berwarna hijau.
“Ya ... di pantai? ... satu orang awasi dia, jangan sampai lecet ... suruh satu orang lagi cari tau apa yang dia lakukan kemarin ... ah, enggak, cek seluruh cctv fakultasnya dan kantor itu ... ok ... kabarkan secepatnya!”
Sasya menyimpan ponselnya di atas meja. Luna bolos bekerja? what's wrong? pasti ada yang tidak beres di sini.
Ponsel Sasya kembali bergetar. Ia pun kembali mengangkat telepon dari sekertarisnya itu. Hampir saja ia lupa ada meeting dengan MKJGroup yang merupakan perusahaan minyak yang besar. Lagi-lagi dirinya memarahi diri sendiri karena tak fokus. Hahh, kini ia bertanya, ada apa dengannya!?
Sasya keluar dari ruangan kerjanya dan melangkah menuju kantor peninggalan ayah tercintanya.
***
Sasya tengah menatap keluar dari gedung tingkat ke delapan itu. Ia melihat langit yang perlahan tercampur warna jingga yang menyejukan. Namun hal yang sejuk selalu datang hanya sebentar, bukan?
Dirinya berdeham ketika suara ketukan diikuti pintu terbuka dan kembali tertutup. “Miss, saya sudah dapat rekaman cctv yang mungkin Anda cari.”
Suara barington itu membuat Sasya membalikan badan. Dirinya berjalan secara perlahan sehingga suara hak yang beradu dengan lantai terdengar sangat misterius. Membuat bulu pria itu bergidik.
“Duduk.”
Pria itu langsung duduk. Sedangkan Sasya langsung menancapkan flashdisk itu ke laptopnya. Kepalan tanganya semakin kencang seiring bergesernya waktu. Dia menutup vidio yang belum habis itu. “Cari dia. Bawa ke tempat biasa.”
Pria itu mencium suasana tanah semakin dekat. Meski tubuhnya besar namun nyalinya seketika ciut oleh aura yang dikeluarkan bos muda itu. Dirinya masih ngeri oleh sosok yang ada di hadapannya, yang kini sedang menyenderkan diri dengan nyaman di kursi kekuasaannya.
“Baik, Miss.”
“Pastikan satu jam lagi sudah standby.”
Pria itu kembali berbalik dan mengangguk. Membungkukan badan sebelum kemudian berpamitan untuk memanaskan otot-otot kekar yang sudah lama tak dilatih.
***
“Akhirnya princess gue balik!!”
Sasya memutar bola malas ketika suara cempreng Indra menggelegar ruangan besar itu. Dirinya terus berjalan, hingga Indra meloncat ke depannya menyebabkan ia berhenti. Menatap wajah pria itu datar.
“Gue nungguin lo, tapi ga dateng-dateng!” ungkapnya sambil merenggut.
Alis Sasya terangkat.
“Lo harus nyobain mie buatan gue!”
Akhirnya Sasya kembali memutar obsidian hitamnya, menatap jengah pada pria di hadapannya. “Minggir.”
“Setidaknya sebelum lo seneng-seneng makan dulu. Perut kenyang, hati senang!”
Melihat tanda penolakan dari wanita itu Indra kembali berbicara. “Please lah.. hargai gue yang udah bikin mie dengan memakai jiwa dan raga...”
Indra tersenyum puas saat Sasya mengubah haluannya. Kini Sasya tengah memakan mie-nya. Hatinya yang sudah luber karena selalu dicueki oleh Sasya kini jadi tak tertampung.
Meski ia harusnya terbiasa dengan sikap Sasya karena mereka sudah berteman sejak kecil, namun ia masih belum, belum semenjak perasannya berubah menjadi butiran yang mampu membuat hatinya berdegup, perutnya mulas.
Menjadi CEO, lulus dengan predikat cumlaude, berwibawa di mata semua orang, menjadi humoris di depan teman dan keluarga, digilai banyak wanita, semua keinginannya selalu tercapai. Kecuali satu yang belum bisa ia gapai: meluluhkan hati wanita di depannya.
Dirinya selalu menyempatkan diri ke rumah Sasya yang memang ada di sebelah rumah keluarganya. Ini memang rumah peninggalan ayah Sasya yang telah meninggal 8 tahun lalu. Bisa dibilang ia dan Sasya berteman melalui jalur orang tuanya. Dan sikap Sasya memang sangat dingin sejak kecil, terlebih sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat membuat seluruh keluarganya melebarkan mulut saking tidak percayanya. Namun itu hanya kenangan lama, tak penting, yang terpenting ialah, Sasya harus bertanggungjawab atas hatinya.
“Gue selesai. Lo balik.”
Indra segera menyusul Sasya. “Gue ikut!”
Luna berhenti, menatap dirinya dengan tatapan yang sangat tak ingin ia lihat.
“Boleh aja kalau—”
“—Ya ya gue ga ikut. Dah, bye!” potongnya kemudian pergi. Luna menggeleng melihat pria yang usianya lima tahun di atasnya itu. Kemudian melanjutkan langkahnya. Hatinya gembira. Harus ada kembang api yang pecah di langit sebagai penanda dirinya tengah bahagia. Harus.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] LunaSya
Teen Fiction[ Lunatic Series #1 ] Dua wanita dengan kepribadian sama saling memutuskan untuk menjadi pemuas satu sama lain. Jika Luna membutuhkan Sasya maka Sasya akan segera meluncur ke tempat wanita bergigi kelinci itu, pun sebaliknya. Kegiatan itu berjalan...