xxi. ga boleh baper!

3.6K 236 9
                                    

xxi. ga boleh baper!

___

Luna mendesah berat ketika mendapati Sasya di depan kantornya. Padahal 2 minggu belakangan ini dirinya senang tidak harus bertemu Sasya. Namun wanita itu sepertinya selalu tau dia dimana dan sedang apa.

Suara deheman membuat Luna berhenti dari langkahnya yang baru saja mencoba melawati Sasya dengan segala tenaga.

Luna berbalik. Mengangkat sebelah alisnya. Melihat Sasya yang tak kunjung membuka suara akhirnya Luna kembali melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Persetan dengan Sasya.

Dari ujung matanya dapat ia lihat bahwa Sasya kini sudah berjalan tepat di sampingnya. Luna sekuat mungkin merapalkan hal-hal yang sudah ia orgarisir belakangan ini.

Dirinya tidak boleh kembali mengizinkan Sasya masuk hatinya terlalu dalam. 14 hari ini dia sangat berusaha untuk mengusir Sasya dari dalam pikiran dan jantungnya. Mencoba membujuk nadinya agar tidak bereaksi untuk memompa darah lebih cepat dengan hanya memikirkannya. Dan malam ini adalah bukti kegigihan yang ia kerjakan, sama sekali tidak membantu. Sekarang jantungnya berdetak kencang. Ada sensasi aneh di dalam perutnya yang ia sendiri tidak bisa jabarkan bagaimana rasanya. Entah mengapa hatinya menghangat di antara dinginnya malam yang memeluk.

Ck. Pake mata lo!”

Jantung Luna berdegup kencang karena kini ia hampir saja terserempet oleh motor yang ugal-ugalan. Ditambah sekarang ia berada dalam pelukan Sasya. Sekarang ia dapat melihat rahang tegas itu. Mata yang tengah menatapnya tajam yang membuat dirinya merasa dibawa ke dimensi lain dalam legam. Hidung mancung yang mungkin debu pun tak berani singgah sebab takut tergelincir. Dan bibir tipis yang selalu menjadi candu untuk selalu dicicipi. 

Mereka hanya saling menatap. Sasya pun sama, seperti dibawa ke alam lain yang ia tak ketahui dimana. Yang jelas netra cokelat itu terlihat sangat indah dibawah cahaya biru rembulan. Ia tak mengerti perasaan ini. Perasaan asing kembali menyapanya. Dan membuat dirinya bingung.

Lantas Sasya pun mendorong Luna dari pelukannya. “Liat, baju gue jadi kusut!” desisnya sambil menampar kecil bagian yang terlihat berantakan.

Luna berdecak, seharusnya ia tidak terbawa perasaan lagi! “Kalau gitu Lo harusnya ga usah tolongin gue tadi!”

Mata Sasya menyipit. “Mau mati lo?”

Luna tak menjawab. Ia kembali melanjutkan langkah, tinggal beberapa meter lagi sudah sampai kos. Mengunci pintu meninggalkan Sasya dan langsung nugas. Skenario yang benar untuk mempertahankan bentengnya.

Hingga sekarang ia ingin menjalankan aksinya namun kaki Sasya menghalangi pintu yang ingin ditutup. Dirinya menggeram. “Singkirin sepatu lo.”

“Lepas dorongan lo.”

Aksi tatap mata pun tak bisa dihindari. Luna sebisa mungkin untuk menang dan membuat Sasya menyerah lalu pulang ke kandangnya. Tapi apalah daya, dirinya tak sanggup menatap mata yang selalu melemahkannya itu. Ia pun langsung berjalan meninggalkan Sasya yang kemudian langsung masuk dan menutup pintu.

Luna langsung masuk kamar mandi. Tak ingin melakukan interaksi terlalu banyak dengan wanita berlesung pipi itu. Sengaja selama mungkin berada di kamar mandi kendati hanya bertahan 20 menit.

Sekarang ia kesal setengah mati karena lupa untuk mengambil salin terlebih dahulu. Setelah berfikir beberapa saat ia pun keluar dengan handuk yang menempel. Berjalan secuek mungkin mengabaikan Sasya yang menatapnya lapar. Mengambil beberapa pakaian dan langsung masuk kamar mandi lagi.

Celana hotpants dan kaus oversize menjadi pilihan Luna malam ini. Dengan santai ia langsung memakai jaket dan meyisir rambutnya.

Saat membuka pintu pertanyaan Sasya menghentikannya. “Kemana?”

Luna tetap membuka pintu. Kembali mengangkat suara ketika badannya sudah di luar. “Nyari makan.”

Sasya tak menunjukkan ekspresi apapun. “Masuk.” katanya dingin.

“Gue laper.” jawab Luna sambil menutup pintu, dirinya merasa senang karena bisa mengabaikan perintah Sasya. Baru saja beberapa langkah, sebuah tangan sudah mencekalnya. Tubuhnya diseret ke dalam dan didorong ke sofa. “LO!”

“Diem.”

Sasya mengeluarkan hp-nya. Menelepon seseorang dan langsung memperhatikannya ketika telepon sudah tertutup.

Luna memundurkan tubuhnya ke sisi sofa lain ketika Sasya semakin mendekat. Kini dirinya sudah mentok. Sasya tersenyum simpul. “Gue juga laper ...” bisik Sasya di samping telinganya. “... pengen makan lo.”

Luna mencoba mendorong tubuh Sasya. Tapi sepertinya tubuh itu sudah dipaku hingga tak berubah sedikit pun. Dirinya merapatkan kedua bibir sekencang mungkin, agar tak keluar suara yang bisa membuat wanita itu kesenangan karena kini dia sedang menjilati telinganya.

Pertahankan Luna mulai meredup, akal sehatnya mungkin diculik oleh lawan sehingga tak bisa memerintah untuk memberontak. Ciuman Sasya sudah sampai pada belakang lehernya, menyesapnya dengan dalam dan pelan. Dirinya semakin tidak waras. Sebisa mungkin ia memerintah tubuhnya untuk bergerak. Hingga akhirnya suara ketokan membuat Luna refleks mendorong kuat Sasya hingga sedikit terjengkang.

Sasya tersenyum miring di atasnya. Kemudian berjalan ke pintu dan mengambil sesuatu dari seorang yang memakai baju hitam. Mengambil piring dan menaburkan dua nasi goreng di sana.

“Makan.” ucapnya menyerahkan piring itu pada Luna yang masih menetralkan nafas dan mengutuk diri.

Karena lapar Luna pun langsung mengambil dan memakan dengan khidmat. Mereka makan dalam hening. Sama sekali tak ada suara apapun selain dari sendok yang berdenting dengan piring.

Makanan sudah habis dalam sepuluh menit. Luna pun berjalan ke kamar mandi dan langsung mencuci piring bekasnya dan Sasya. Mengembalikan ke tempat asal lalu membuka laptop dan tas.

Luna mulai sibuk dengan selembaran kertas dan juga jarinya tak berhenti mengetikkan sesuatu di laptop hitam itu. Menganggap Sasya hanya sebuah nyamuk hingga tak perlu dianggap keberadaan manusia satu itu.

Sasya mulai mendekat, Luna mulai mengetik dengan tergesa. Sasya hanya melihat sekilas pada laptopnya dan langsung merebahkan diri ke kasur hingga membuat Luna menghentikan ketikan dan bernafas lega. Luna mulai mengerjakan kembali tugas yang sudah ditunggu keselesaiannya itu.

Luna merenggangkan badan. Telapaknya menutup mulut yang menguap. Matanya sudah keluar air karena menahan kantuk. Dirinya melihat jam, pukul 2 pagi. Luna mulai membereskan semua barangnya. Mempersiapkan untuk apa saja yang dibawa besok. Setelah itu ke kamar mandi dan gosok gigi dan membersihkan wajah.

Berjalan ke kasur dan berhenti ketika melihat Sasya yang tertidur dengan begitu indahnya. Wajah yang terbiasa dingin begitu polos sekarang. Rasanya Sasya adalah seorang bocah berumur 8 tahun jika sedang tidak sadar.

Luna menggelengkan kepala, merapalkan dalam hati, 'Ga boleh baper!'. Lalu tidur di sebelah Sasya dan memunggunginya. Tak perlu memerlukan waktu lama hingga ia dijemput kegelapan.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang