xix. menyesal? tak tahu...

3.6K 228 7
                                    


xix. menyesal ? tak tahu...

___

“Sini biar sama gue,”

Diko mengambil alih mesin komersial dan menggantikan Luna yang kini mulai merenggut. “Gue baik-baik aja, Kak.”

Diko terkekeh kecil, tangan tebalnya dibawa untuk mengirimkan kopi pada pelanggan dan mulai membuat kopi pesanan yang lain. “Lo dari tadi belom istirahat. Sana, huss,”

Luna akhirnya pasrah dan mendudukan diri di bangku yang sengaja di simpan di wilayah itu. Sambil matanya mengamati lamat Diko yang terlihat cekatan mengerjakan tugasnya.

Ia sebenarnya tak mau kegeeran atau apa, hanya saja ia bertanya, mengapa Diko mau menyukai orang tak berguna ini? membayangkan bahkan Luna tertawa. Jika saja dia menjadi orang lain dan disuruh untuk mencinta, pasti bukan dirinya yang ia pilih untuk target itu. Apa yang bisa diharapkan darinya? Hidupnya terlalu kusut untuk dicoba membantu memperbaiki.

Kibasan di depan wajah membuatnya terkesiap. Alis Luna terangkat pada Diko yang sudah standby di depannya.

“Cobain!”

Luna melihat ke sebuah makanan berbentuk silender memanjang yang dilumeri begitu banyak saus. Dirinya ngeri sendiri memikirkan kepedasan makanan itu.

“Ayo coba!”

Luna mengambil satu dengan menggunakan garpu. Membawa ke mulutnya. Rasa manis, gurih dan pedas menjadi satu. Ini enak namun tak cocok dengan mulutnya, karena terlalu lembek.

“Enak, Kak..”

Diko menyengir sampai memperlihatkan gigi putihnya. Kemudian ikut makan. “Tau nggak ini apa?” tanyanya pada Luna yang belum selesai memakan yang tadi. Luna menggeleng. “Aih, ga pernah nonton drama korea, ya?”  Luna kembali menggeleng. “Nanti deh nonton drakor sama gue, gimana?” tanya Diko, alis tebalnya terangkat satu.

“Ga bisa, mungkin,”

Diko mendesah pelan, ditolak kah dirinya? Suasana kafé lumayan ramai, namun tak ada yang memesan sekarang. Hingga Diko pun ikut duduk.

“Lo jangan kerja mulu, dah,”

“Ga kerja, ga idup.”

Lantunan tawa Diko terdengar, “Elah, santai aja kali. Ga kerja sehari ga bikin lo bener-bener miskin,”

Luna tak menanggapi, ia hanya diam dengan mulut yang tertutup rapat.

“Oh, iya, gimana kuliah lo?”

“Baik.”

Selanjutnya Diko memberondong Luna dengan berbagai pertanyaan, yang tentu saja dijawab singkat dan ogah-ogahan oleh Luna. Sekali-kali dia tak akan menjawab karena merasa sangat terganggu dengan pertanyaannya. Dan Diko yang mengerti langsung mengalihkan ke topik lain. Meski sesekali Diko akan bangkit dan membuat pesanan. Tapi ia kembali duduk di samping gadis itu lagi.

Jam pulang sudah masuk. Kini semua penghuni itu tengah keluar dari kafé. Lalu berpamitan pada Diko yang sedang mengunci pintu.

Luna berjalan santai dengan earphone yang menempel pada telinganya—lagi. Taklama ia dapat merasakan seseorang yang berjalan di sampingnya, yang ia sudah tau itu siapa. Hari ini rasanya terlalu lelah untuk sekadar bertukar sapa. Meski tadi pekerjaan lebih banyak di handle oleh Diko, namun entah mengapa rasa lelah membubuhinya.

Luna langsung melempar tangan yang memegangnya, ia terkejut. “Ah, maaf, kak..”

Diko menetralkan kagetnya juga. “Ah, g-gue yang minta maaf, ini, gue tadi mau ngasih ini.”

Luna melihat sebuah brownies dan minuman yang ia ketahui adalah sebuah alkohol. What the fu—

“Gue liat lo lagi mumet banget. Siapa tau..”

“Ga usah, Kak. Makasih.”

“Terimalah. Gue udah bawain, lho?”

Melihat tatapan puppy itu akhirnya Luna menerima karena merasa tak enak. “Makasih, Kak.”

Diko tersenyum, mengasak rambut Luna pelan. “Yaudah, gue duluan ya.”

Luna hanya mengangguk dan kemudian masuk pada kos-nya.









Luna terdiam dengan nafas memburu dan duduk di pinggiran kasur. Terdapat banyak Luka pada kulit lembutnya. Sedangkan Sasya masih menyender pada tembok. Keduanya dalam posisi tidak mengenakan apapun. Luna menatap pintu kamar mandinya dengan pandangan kosong. Suara dari kipas yang berputar dengan kecepatan maksimal itu tak mampu membuat mereka merasakan kedinginan di hawa yang masih menguar panas.

“Lo ga perlu pake kekerasan kalau mau gue.”

Sasya menoleh, menatap punggung Luna yang tercampur oleh hitamnya brownies. Mata Sasya terlihat kebingungan. Seperti seseorang yang tengah—

“Lo bikin gue ngerasa beneran kotor, Sya.”

Sasya masih mengamati Luna yang kini berjalan ke kamar mandi dan menggunakan selimut untuk menutupi tubuh penuh lembamnya. Sasya memejamkan mata, memijat kening dengan jari lentiknya. Ada perasaan asing yang muncul. Dan ia tak bisa mendefinisikan itu.

Sedangkan air mata Luna kini sudah mengalir, dibekap mulut itu olehnya agar suara sialan itu tak terdengar oleh Sasya. Ia tak mau Sasya menganggapnya lemah.

Luna memperhatikan kondisinya di cermin. Hanya satu kata yang terucap, mengenaskan. Dengan bibir yang ujungnya sedikit sobek dan tubuhnya yang penuh dengan remahan brownies. Belum lagi tubuhnya lengket karena Sasya menaburkan minuman pemberian Diko pada tubuhnya, ketika sedang bercinta—tidak, tidak, kali ini Sasya bener-bener memperkosanya. Dirinya sama sekali tidak menikmati satu jam memgerikan itu.

Luna mencoba memuntahkan isi perutnya yang tadi dipaksa Sasya juga untuk melahap brownies yang dicampur oleh sesuatu yang ia tak tahu jenisnya. Perutnya sangat mual sekarang. Air mata tak luput dari pemandangan dramatika itu. Hingga kini ia terduduk lemas sebab banyak mengeluarkan kembali air dalam mulutnya— dalam hati mendesah kecewa karena tak bisa mengeluarkan kue hitam itu.

Sekarang Luna mulai mengutuk perasaannya sendiri; harusnya.. harusnya ia tak boleh jatuh cinta sebelum bisa membebaskan adiknya.. harusnya.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang