vii. manusia berhak untuk menolak, 'kan?

5.8K 269 2
                                    


vii. Manusia berhak untuk menolak, 'kan?

__

“Lun.”

Luna tersadar dari diamnya. Kembali memerintah tangannya untuk membuat kopi.

“Ga bisa, gue harus kerja.”

Sasya tak menunjukkan ekspresi apa pun. Dirinya hanya diam dengan mulut tertutup rapat.

Dirinya sudah berada di kos Luna sedari dua jam yang lalu. Melihat gadis itu pulang dari kampus lantas membuat Sasya mengajaknya untuk 'bermain'.

Sekarang Luna tengah memeriksa laptopnya. Ia akan pergi bekerja di tempat kedua, di sebuah start-up menjadi pekerja paruh waktu. Jika di Café Diko Jumat sampai Minggu dan di kantor ini Senin sampai Kamis.

“Sebentar!”

Luna menggeleng. Sasya selalu mengakhirinya mepet sehingga sering membuatnya nyaris terlambat. Pun ada sedikit rasa kesal pada kejadian kemarin.

Sasya bangkit dari duduknya dan membalikan tubuh Luna paksa. Tangannya langsung mencengkram erat dagu Luna hingga sang pemilik merasa kesakitan. Luna menutup akses mulutnya, tak ingin membiarkan Sasya menang, kali ini.

Sasya mundur beberapa langkah setelah usaha Luna untuk mendorongnya berhasil. Dengan nafas berat ia mengambil jaketnya dan membanting pintu saat keluar dari kamarnya.

Nafas Luna masih terengah, matanya masih menatap pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Terdapat cairan merah saat ia mengusap dagunya. Ia pun menarik nafas dengan sangat pelan sembari menekan matanya agar tertutup.

Luna menyeka matanya dan langsung berjalan untuk mengambil tas-nya. Kemudian berjalan menuju kantor.

***

Sudah lima hari ini Sasya tidak ada kabar. Meski sama seperti sebelum-sebelumnya. Sasya akan datang dan pergi sesuka hati, tanpa mengabari, dan tanpa pamit tak punya hati. 

Luna masih duduk di kasurnya. Badannya terasa remuk. Kepalanya sangat pusing, maka dari itu ia menutup matanya barang sejenak sebelum kembali beraktifitas. Bukannya ketenangan malah bayangan Sasya yang muncul. Membuatnya merasakan kesal sekaligus khawatir. 

Dirinya bangkit dan mulai membersihkan diri. Setelah selesai ia pun membawa langkahnya ke luar untuk sampai Café.

Luna jadi ingat saat dirinya pertama kali menginjakkan diri ke kawasan ini. Itu adalah dua tahun yang lalu. Saat usianya 18 tahun. Setelah lulus SMA dengan nilai yang cukup memuaskan ia pun masuk kuliah dengan jalur SNMPTN. Dengan nekat ia merantau ke tempat ini, sisa biaya kuliahnya ia lah yang mencarinya sendiri. Rasanya ia sangat ingin cepat cepat lulus. Pasalnya bukan hal yang mudah untuk kuliah dan bekerja paruh waktu di dua tempat sekaligus.

Haruslah ia berterimakasih pada Diko yang mau memberikannya waktu Senin hingga Kamis kerja di tempat lain, karena gaji di sana tentu lebih besar dari di Café. Pernah Diko ingin menyamaratakan gajinya seperti di startup namun Luna tidak setuju karena tak enak dengan yang lain. Sedangkan dia adalah pegawai terakhir yang kerja di tempat itu.

Tidur dini hari adalah teman setianya dari kecil. Ia dengan segala kesibukannya terkadang menyita begitu banyak waktu dan tenaga. Luna sering melupakan hal-hal kecil karena banyaknya ingatan yang harus dikerjakan. Seperti hari ulang tahunnya bulan lalu. Jika saja Diko dkk tidak memberinya kejutan dapat dipastikan dirinya lupa akan hal itu.

Kini luna sudah memakai apron khas Cafénya dan berjalan ke arah mesin kopi setelah menyapa Meli yang berada di kasir. Tangannya dengan cekatan langsung menggiling kopi dengan grinder dan menambahkan susu putih ke dalamnya. Mengaturnya sedemikan rupa dengan takaran yang sudah ia hapal.

Pelanggan makin siang semakin ramai. Rasanya kedua hawa itu tidak diizinkan untuk bernafas tenang barang sejenak. Ditambah ada menu yang baru saja di tambahkan oleh Diko yang terasa sangat enak. Hingga banyak yang memesan itu dari tadi, minuman yang sudah diracik sendiri oleh Diko, Luna pun tak tau isinya. Terlalu samar dan asing untuk dijabarkan. Namun lidahnya dapat bersumpah bahwa itu sangat enak.

Hari sudah malam. Pukul 9 malam. Kini Luna sedang mendudukkan diri di lantai. Dirinya sudah tidak sanggup lagi menggerakan tangannya untuk meracik kopi atau minuman lainnya. Tulangnya terasa kaku. “Lun, kenapa?” tanya Diko yang baru menyelesaikan pesanan terakhir yang tercatat menggantikan Luna begitu melihat wanita itu berjongkok.

Ingin sekali Luna menjawab dirinya baik-baik saja. Namun mulutnya kelu. Perutnya sakit. Diko nampak sangat khawatir. Ilham mendekati mereka. “Kenapa Ko?”

Diko menggeleng. Meli membawa telapak tangannya untuk memegang Luna. “Yaampun dingin banget!”

Diko mengikuti hal yang dilakukan Meli. Matanya melotot. Panggilan pelanggan membuat Meli dan Ilham kembali ke depan untuk melayani. Kini Diko mencoba memopoh tubuh Luna yang bergetar. Dibawanya Luna ke ruang kerjanya yang berada di lantai dua.

Direbahkan tubuh mungil Luna pada sofa empuk miliknya. Dirinya bingung, apa yang harus ia lakukan. Dengan cepat ia meraih ponselnya dan menelepon salah satu kenalannya.

“Hallo ... bro gue punya temen nih, dia dingin banget, terus pucet, gue harus ngapain ... oh, kasih makan ... oke obatnya lo whatsapp aja ya ... sip.”

Telepon tertutup. Diko langsung keluar ruangan. Sesaat dia kembali dengan nasi goreng yang ada di tangannya. Dirinya duduk di samping Luna. Menepuk pipi itu sangat pelan sambil memanggilnya. “Lun.. makan dulu..”

Luna membuka matanya. Sekuat tenaga dia mencoba duduk, baru bisa duduk dengan sempurna ketika Diko turun tangan untuk membantunya.

“Biar gue suapin” ucap Diko ketika Luna menggerakkan tanganya gemetar.

Mau tak mau Luna pun membiarkannya. Dengan pelan Diko menunggu Luna menguyah makanannya. Suara ketokan membuat Diko terlojat pelan. “Masuk.” Terlihat seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian supir.

“Ini Mas obatnya.” ucapnya sambil menyerahkan obat sopan.

Diko mengangguk dan mengambil obatnya. “Oke PakLe, makasih banyak ya.” Orang yang disebut PakLe itu mengangguk dan kemudian kembali pulang ke rumah mewah keluarga Diko.

“Minum dulu obatnya.” Diko menyerahkan obat dan gelas berisi air putih. Luna mengambilnya, tangannya tak segemetar tadi. Didiamkannya obat itu sambil ditatap. “Kenapa?”

Luna menggigit lidahnya. “Gue biasanya minum obat sama pisang, Kak.” ucapnya sambil menunduk.

Diko tertawa. “Ha ha yaudah bentar ya!”

Diko kembali setelah satu menit kemudian. Menyerahkan satu sisir pisang. “Kebanyakan ini mah, Kak.” Kemudian mengambilnya satu dan mulai memasukan obat pada buah bervitamin C tinggi itu. Lalu memakannya.

“Gapapa buah sekalian lo bawa ke rumah aja. Lo sakit harus banyak makan buah.”  Diko menyerahkan minum kepada Luna. “Sekalian lo bawa pulang aja ini obatnya.”

Luna menatap tak enak pada Diko. “Maaf ya kak gue ngerepotin...”

Diko tertawa, “Kalau direpotinnya sama elo mah gapapa, sering juga it's oke.”

Luna tak tau harus membalas apa. Bukan ia tak tau maksud ucapan bos-nya itu. Hanya saja...

“Ekhem.. yaudah gue balik ke bawah dulu ya. Kasian si Meli sama Ilham. Aduh jangan-jangan mereka malah ngebucin, ngetelantarin pembeli gue.”

Luna terkekeh, memanggil Diko yang sudah di depan pintu. Diko berbalik, “Makasih Kak..” 

Diko tersenyum, “My pleasure girl!”

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang