x. seperti bunglon

5K 271 2
                                    


x. seperti bunglon

___

Luna membuat kopi dengan mata yang sekali-kali mencuri pandang pada Sasya yang sedang duduk sambil memainkan ponselnya diujung ruangan yang tidak terlalu tersorot.

“Kamu anterin deh Lun. Ngeri aku ke temenmu itu.” pinta Meli yang selalu bergidik ketika melihat Sasya menjemputnya.

Dengan terpaksa Luna pun mengantarkan pesanan Caffe Americano  kesana.

Sasya mengangkat pandangannya. Menatap manik cokelat luna. Mereka saling adu pandang untuk beberapa saat sampai ia memutus pandangan dan menyerahkan kopi, lalu kembali dengan hati berdebar kencang.

Sudah beberapa jam hingga kini langit sudah gelap namun Sasya belum juga beranjak dari duduknya. Dari tadi Sasya mengeluarkan sebuah laptop dan berkas. Sesekali Sasya akan mengangkat telepon dan berbicara dengan yang didominasi dari seberang.

“Lun, buka mulutnya!”

Diko berdiri di hadapan Luna tepat di hadapannya. Dengan senyum menawan yang akan memporak-porandakan hati para gadis, kecuali untuknya.

Luna membuka mulutnya. Mulutnya mengunyah pelan mencoba meneliti bahan dan tekstur. “Enak, kak. Cuman kayanya harus tambahin gula deh."

Diko terkekeh, “Sengaja, kan nanti gue makannya sambil liat elo.” ucapnya sambil mengacak gemas pucuk rambut Luna.

“Ya Allah bos. Dedek ga kuatt!” teriak Ilham lebay sambil mengepalkan tangan di dada dan dengan kaki kanan yang diangkat ke belakang, menirukan balerina.

Meli yang sedang berhadapan dengan pelanggan hanya menggeleng pelan sambil meminta maaf pada wanita berseragam putih abu karena malu melihat kelakuan pacarnya—yang sejatinya perempuan itu tak mempedulikannya.

Luna hanya tersenyum dan kembali membuat kopi pesanan selanjutnya. Kafé hari ini lumayan ramai.

Diko mensejajarkan diri pada Luna yang membuat mulai mencampurkan susu, Diko pun membantu membuat pesanan lain. Sambil sesekali modus dengan pura-pura tak sengaja.

Setelah selesai dengan semua pesanan Luna pun izin untuk ke toilet. Ke empat bilik toilet terbuka, ia pun masuk. Saat ingin keluar area toilet dirinya di tarik kembali oleh Sasya untuk masuk. Luna dapat melihat pantulan dirinya di cermin, mencoba melepaskan lingkaran kuat pada pingganya, namun Sasya merangkupnya dengan sangat erat.

“Lepas, nanti ada yang masuk!” titah Luna khawatir sambil terus mendorong diri dari dekapan Sasya.

Sasya tak menjawab, bibirnya langsung melesat pada bibir merah Luna. Luna otomatis semakin menjauhkan diri, namun lengan biadab Sasya menahan kepalanya dan menariknya agar lebih dalam. Luna terbuai, matanya mulai tertutup dengan rileks, membalas pangutan Sasya tak kalah bringas. Tangan yang tadi memberontak kini berada di kedua bahu Sasya dengan gemas.
Kedua tangan Sasya menyusup pada perut Luna yang kebetulan tak memakai bib apron kafé. Luna menarik diri ketika mendengar erangan Sasya. Akal sehat kembali membasuh pikiran kotor yang tadi mampir. Luna menyenderkan kepalanya pada bahu Sasya karena nafasnya masih tidak karuan. Luna tak mengerti tapi sensasi berciuman ini sangat memabukan.

Sasya mengangkat kedua tangannya dan mengusap rambut Luna dengan lembut. Membiarkan wanitanya mengendalikan nafas. Matanya menatap lurus ke depan dan tersenyum miring.

***

“Lun, kenalin!” desak Ilham memalukan pada Luna. Pacarnya hanya geleng-geleng kepala terbiasa dengan sikap menjengkelkan sang kekasih.

Luna jadi teringat bahwa dirinya belum pernah mengenalkan Sasya secara resmi, karena Sasya pasti akan menunggu di luar, tidak pernah masuk kafé. Makanya tadi ia cukup speechless saat melihat Sasya memesan minuman.

“Ah.. ini Sasya, teman gue, Kak.”

Ilham secara otomatis langsung mengulurkan tangannya. Meli tersenyum pada Sasya. Dan Diko hanya menatap Sasya dari bawah hingga atas dengan teliti. Tak seperti biasanya, Diko hanya diam saja.

Sasya hanya membalas mereka semua dengan senyuman tipis yang berhasil mengundang teriak gemas Ilham sambil memegang jantungnya, yang sedetik kemudian langsung dijewer oleh Meli dengan penuh dendam.

“Ahh.. ampun Yank! ampun!” teriak Ilham sambil berjinjit.

“Makanya jaga 'tu mata!”

“Aa.. iya ampun, ampun..”

Meli pun melepaskan jewerannya. Kemudian mengusap dan meniup telinga Ilham yang memerah. Bucin.

Meli dan Ilham sudah bermitan. Kini Sasya dan Luna pun sudah berjalan menuju kosnya setelah tadi berpamitan dengan Diko.

Mereka tampak berjalan dengan pelan seakan keduanya menolak untuk cepat sampai tujuan. Dengan earphone yang terpasang di masing-masing satu telinga mereka, alunan detik jam dan melodi indah dari musik Sam Ock yang berjudul Can I Have the Day With You terdengar begitu sempurna ditemani oleh semilir menyejukan angin malam dengan langit yang nampak bahagia sehingga mengeluarkan sinar yang sangat cantik.

Ada benteng pertahanan yang kembali luruh ketika sang penyerang terus membantainya dengan serangan yang tak disadari sendiri oleh penyerang.

Terkadang Luna harus menelan ludah kembali ketika ingat bahwa Sasya melakukan ini tak menggunakan hati. Wanita di sampingnya itu hanya membutuhkan tubuhnya bukan dirinya. Setiap kali Luna dibawa ke angkasa pasti di keesokannya Sasya kembali dengan ke-brengsek-annya. Atau memang hanya ia yang menganggap semuanya istimewa sendiri?

“Mau nginep?”

Kini mereka sudah ada di halaman kos. Sasya terlihat mengecek ponselnya yang bergetar. Sasya tersenyum, meski sangat tipis, namun Luna melihat itu dengan jelas.

“Engga. Gue ada urusan.”

Urusan apa? ranjang?

“Oh.. yaudah, gue masuk dulu.”

Sasya mengangguk. Luna berjalan masuk kos dengan bahu yang sedikit melorot. Membersihkan diri dan kembali tidur karena besok adalah hari Senin, yang artinya ia harus kembali ke kantor startup.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang