xii. perihal pekerjaan yang minta diselesaikan

4K 236 2
                                    


xii. perihal pekerjaan yang minta diselesaikan

___

Minggu sore yang ramai, banyak para pelajar SMA dan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugasnya atau sekedar mampir ke kafé itu. Ditambah lagi kini kafé menyediakan berbagai menu makanan dan terdapat 2 tambahan pekerja yang bertugas untuk memasak.

Sayup terdengar bertender saling berkomunikasi apa saja yang dipesan. Lalu laki-laki berambut cepak akan mengantarkan pesanan itu ke masing-masing meja.

“Istirahat dulu Lun. Biar gue gantiin.”

Luna menoleh pada Diko yang sudah memakai apronnya. Kemudian mengambil alih tempat kekuasaannya. “Ke ruangan gue. Ada kue di sana.” Kemudian mulai mengatik mesin.

Luna masih berdiam diri. Barulah Luna bergerak setelah digayet oleh Meli setelah Diko kembali berujar. “Lo juga istirahat dulu Mel. Ikut Luna ke atas.”

Makanan di toples mulai terkikis dimakan oleh Meli. Luna hanya menutup matanya dan bersender di sofa empuk itu karena lelah dan pegal memang menguasainya. Ia baru bisa tidur jam 3 dini hari semalam karena harus mengerjakan tugas kampus.

Tugas yang semakin tidak manusiawi dengan dirinya yang mengambil jurusan akuntansi. Maka dari itu juga ia mengambil job di perusahaan startup itu sebagai devisi keuangan, sebenarnya perusahaan itu sudah terbilang besar hingga sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Namun kabarnya CEO-nya tidak diketahui, yang sekarang dikenalkan sebagai CEO adalah seorang COO. Entahlah ia pun bingung sendiri, kenapa seorang CEO bersembunyi? bukankah dengan mendirikan perusahan sendiri ia ingin dikenal sebagai 'orang penting' oleh masyarakat? Setelah bekerja lima bulan di sana ia tak mengetahui itu hanya gosip atau fakta.



.




“Lun..”

Luna membuka matanya setelah beberapa kali suara berat yang sangat dikenalnya memanggil namanya dengan lembut sambil menepuk pundaknya pelan. Objek pertama yang tertangkap mata jernihnya adalah senyum Diko yang sangat menawan. Mata bulatnya terlihat sangat cerah. “Bangun, udah pagi.”

Mata monolid itu melotot. Langsung bangkit dari Sofa dan mengecek jam di ponselnya. “Sorry tadi malem gue ga tega banguninnya.”

“Gue tidur di bawah kok, tenang.” ucap Diko kembali setelah melihat Luna sedikit mengecek bajunya.

Luna mengangguk. “Sorry ya kak, makasih udah mau nampung. Sekarang gue harus ke kampus dulu.”

“Eh, makan dulu!” Diko menahan tangan Luna yang ingin melangkah keluar.

Luna kembali melihat jam di ponsel. “Ga bisa kak, kelas gue bentar lagi ... gue pamit dulu.” Lalu melenggang dari pantauan Diko.




***






Perintah masuk ruangan terdengar dari dalam. Luna melangkah dengan pelan dengan tangan dingin. Ada apa?

“Duduk.”

Kini ruangan sebesar 4 × 3 m² itu hanya diisi oleh Luna dan seorang pria bertubuh atletis dengan kacamata yang setia bertengger di hidungnya. Pria yang diketahui namanya adalah Ciko Ramadhan; kepala divisinya.

“Apa ini?” tanya Ciko sambil menyerakan peper-nya yang ia buat satu minggu lalu. Ciko memijat keningnya. “Ancur.”

Nafas Luna tersendat. “Maaf.. kenapa ya, Pak?”

Ciko menegakkan punggungnya yang tadi menyender. Menatap Luna intens. “Laporannya ancur. Kamu bisa menghitung tidak? perlu saya ajarkan?” cercanya dengan nada sangat intimidasi.

Luna semakin menunduk. Menggigit bibir dalamnya pelan sebelum kembali berkata. “Maaf pak, saya akan mencoba memperbaikinya.”

Suara detik jam terdengar jelas meneriaki ruangan bercat putih itu. Luna yang semakin menunduk dengan Ciko yang semakin tersenyum remeh menjadi pemandangannya. “Kamu itu cuman pekerja paruh waktu di sini. Jangan banyak tingkah, saya bisa dengan gampang pecat kamu!”

“Bawa itu, perbaiki. Kirim kembali ke email saya satu jam ke depan.”

“Baik, Pak.” ucap Luna sambil mengambil laporan itu dan kembali ke tempat duduknya. 40 menit lagi ia harus bisa sudah duduk di bangku paling depan untuk mengikuti kelas Statistika yang masih tersisa 1 SKS. 

Dengan cepat ia menyalakan laptop dan menjelaji word untuk kembali membuat laporan dan menghitungnya dengan sangat teliti dan sesekali akan diulangi karena merasa belum pas.

“Mba Lastri..” panggilnya pada wanita yang berusia kepala empat itu, salah satu seniornya.

“Kenapa Lun?”

“Luna boleh minta tolong gak, Mbak..?”

Lastri menoleh. Membenarkan hijabnya. “Tolong apa toh?”

“Ini Mbak, laporannya sudah betul belum ya..”

Lastri yang pada dasarnya baik itu dengan senang hati berjalan ke meja Luna dan mengeceknya. Sesekali terlihat menghitung. Beberapa menit kemudian ia tersenyum dan mengangguk. “Udah bener kok. Gud!”

Helaan nafas yang tadi ditahannya pun terlepas. Kemudian tersenyum. “Makasih ya mbak!”

Lastri tersenyum. “Sip. Jangan lupa traktir cimory apel ya!” guraunya sambil mengedipkan mata.

Luna terkekeh melihat mood booster kantor itu. Aura positif yang menguar darinya sangat mempengaruhi dirinya—dan mungkin pegawai lainnya. Ibu dari 2 anak itu sangat ramah.

“Siap Mbak, nanti Luna bawain deh!”

Lastri tertawa merdu dan kembali duduk ke bangkunya. Luna pun mengirim file itu pada bos devisinya. Setelah mendapat balasan oke, ia pun membereskan bawaannya, berpamitan pada beberapa orang yang dikenalnya dan berjalan menuju kampus yang jaraknya 2 kilo meter dari kantor.

Lalu ia mengikuti kelas seserius mungkin. Doanya masih sama seperti sebelum-sebelumnya, semoga ia cepat lulus.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang