xxv. fall

3.5K 231 12
                                    


xxv. fall

___


hug me - jung joon ii
___

Suara riuh rel dan kereta yang bergesekan terdengar. Suasana stasiun ramai karena kini jam pulang kerja. Seorang wanita dengan tas punggungnya berlari dengan cepat menuju salah satu gerbong yang akan tertutup.

Wanita itu masuk kereta dan mencari tempat yang masih tersisa, untungnya masih ada satu. Ia mendudukinya. Riuhnya gerombolan yang mengobrol tak bisa menarik atensinya. Matanya terlihat sembab, bibirnya terpocel sedikit. Matanya terus melirik pada arloji untuk melihat waktu yang tepat ia akan sampai ke tujuan.

Dirinya meringis ketika menyadari akan terjebak di sini selama 9 jam. Luna semakin terus mempoceli buku jarinya sembari mengigit bibirnya dengan abstrak.

Ongkos yang memakan harga tak dia hiraukan. Pekerjaan yang dia tinggalkan. Serta kelas yang tak dia hadiri. Dia mengabaikannya. Jantung yang berpacu sangat cepat membuatnya semakin kelimpungan. Hatinya melocos, padahal baru 13 hari lalu berkomunikasi dengannya, namun kenapa harus begini. Tak kuasa dia pun mengusap matanya yang sudah basah dengan kasar.




















.










Mata itu perlahan terbuka, cahaya mencoba menerobos kelopaknya yang sembab. Suara pengumuman pemberhentian stasiun terdengar; yang ternyata stasiun tempat gadis itu turun.

Kereta berhenti, beberapa orang keluar diikuti tubuh mungil yang mencoba memecah kerumunan. Ia kembali berjalan dengan tergesa. Menulusuri peron dan keluar kawasan stasiun. Menaiki angkot.













.









"Luna..."

Seorang wanita seumuran yang tinggi semampai mendekat dan memeluk tubuh beku Luna yang masih ada di pelataran rumah. Wanita itu mencoba untuk mengalirkan energi pada seseorang yang dia ketahui ada yang retak di dalamnya.

"Serius, La?"

Wanita itu mendekap lebih keras pada tubuh Luna yang mulai lunglai. Bendera kuning terletak di pelataran rumah. Suasana sudah sepi, namun sendu tak jua sudi meninggalkan tempat ini.

"Anterin gue ..." Luna menatap Lala, "Anterin gue ke makam dia, La..."

Lala memeluk Luna. Mencoba menenangkan wanita itu dengan kalimat yang sebetulnya tidak berguna. Setelah sepuluh menit barulah Luna berhenti. Tidak epic sebenernya, soalnya kini mereka ada di depan rumah, tak jarang tetangga yang lewat menatap iba plus heran.

"Mau ke sana?" tanya Lala sambil menghapus sisa air yang ada di pipi Luna.

Luna mengangguk. Mereka pun berjalan menuju sebuah lahan kosong yang diisi oleh para raga yang kehilangan jiwanya.

Luna menatap gudukan tanah yang masih basah. Matanya bergilir menuju batu nisan. Air mata tak bisa ia tahan, suaranya parau seperti tak bisa menerima kenyataan.

"Dek.. padahal rasanya baru kemarin kakak ngobrol sama kamu ..." Luna mengelap sudut matanya. "... coba aja kakak dateng lebih cepet, seenggaknya kakak bisa liat senyum manis kamu.. senyum yang selalu buat kakak bahagia.. tapi kayanya, kakak gagal ya bahagiain kamu?"

Lala melingkarkan tangannya pada bahu Luna. Dia tahu betul ikatan darah antara kakak-beradik itu. Dia pun merasa tak rela kehilangan sosok ceria itu, terlebih hatinya merasa bimbang dan takut.

Luna melepaskan rangkulan Lala. Dia mengambil botol dan menaburkannya isinya. Hening sejenak. "Bisa kita ngobrol, La?"















***






"Kata nyokap lo, dia kena serangan jantung."

Luna nenutup wajahnya dengan kedua tangan. Mengusap frustasi. "Kok bisa? Dia kan selalu jaga kesehatan, bahkan lebih dari gue."

Leher Lala bergerak, menelan cairannya sendiri. "Ekhem... itu doang keterangan yang dikasih nyokap lo..."

Luna menatap mohon pada Lala. "Serius, La? Lo tau kan ..." Menundukan pandangan, menarik nafas panjang, "... Nyokap gue gimana wataknya ...."

"Cuman itu yang gue tau. Sorry ..."

Kafé yang ada di Jalan Pahlawan itu lenggang. Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Semua sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hari ini adalah hari Rabu. Namun rasa hatinya sangat pilu sampai ke ulu. Sesak masih menggengam keras dada Luna. Rasa tak terima dan percaya mencengkramnya erat.

Hingga hari sudah malam, kini Luna terdiam di kamar yang dulu dia tempati bersama adik manisnya. Bayang-bayang Kyna yang berlarian dan memekikkan namanya begitu terasa pekat dan jelas. Rengekan meminta dibelikan soto, mengerjakan tugas, begitu saja melintas di kepalanya seperti sebuah potongan film.

Luna membuka tasnya dan mengambil ponselnya. Ada panggilan dari Diko, Meli, Ilham, Sasya dan beberapa kontak lain. Dia pun mematikan kembali ponselnya, dia sangat tak berminat untuk menanggapi.

Wanita bergigi kelinci itu berjalan menelusuri meja belajar. Melihat begitu banyak notes dan stabilo. Dia tersenyum kecil ketika tangannya menelusuri styrofoam yang ditempel di dinding. Hingga berhenti di foto palaroid dirinya dan Kyna yang berada di Kota Tua. Dia mencabutnya, mengamati dengan lamat, hingga tak terasa butiran air mulai jatuh kembali.

Luna kembali mengamati dinding. Mencabut sebuah notes yang berhasil membuat larva kembali meletus yang menyebabkan pandangannya buram. Sebuah catatan berisikan tentang kepulangannya dan beberapa kata-kata hangat yang gadis kecilnya buat. Terdapat kartun kesukaannya juga di sana. Sasya tersenyum simpul disela tangisnya, Kyna selalu jago menggambar. Selalu.

Matanya menangkap sebuah buku berwarna merah muda yang di simpan di laci yang sedikit terbuka. Dia pun mengambilnya. "Kakak lebih suka kamu langsung rebut balik ini buku, Dek... Kaya biasa," Dia membuka setiap lembarannya.

Katakanlah Luna cengeng, karena kini dia sudah tersedu dan terseguk membaca tulisan bocah itu. Bocah yang beraninya meninggalkannya sendiri di sini.

Suara bantingan pintu terdengar, Luna menoleh ke arah pintu. Menghapus jejak airnya dan meletakan kembali diary pada tempatnya. Kemudian berjalan ke luar.

"Eh, pulang juga loh ..." ucap wanita paruh baya itu, aroma alkohol yang begitu menyengat tercium. "... Bagi duit!"

Luna menggotong Ibunya yang tadi sudah tergeletak di ruang tamu menuju kamarnya. Ais, Luna meringis karena kamar itu sangat berantakan. Dia membaringkan Ibunya di atas kasur. Mengamati lamat wanita yang telah melahirkannya ke dunia yang kejam ini. Tega sekali, dikeluarkan hanya untuk disakiti.

Luna mulai bergerak dan langsung membersihkan seisi kamar Ibunya. Setelah selesai dia lanjutkan dengan membersihkan seluruh wilayah rumah. Agak berantakan karena mungkin bekas tentangga melayat. Kalau saja tidak ada Kyla, pasti tak ada yang akan mengenalnya di kawasan ini. Ibunya yang keluar-pergi dan dirinya yang sibuk akan buku-buku dan bekerja paruh waktu tak mungkin bisa mengait hati para tetangga. Satu-satunya hal yang bisa membuat warga melirik adalah, gadis cilik bernama Kyla yang gemar bermain dan membantu.

Namun se-sosial butterfly-nya Kyla tetap saja tak bisa meruntuhkan tembok yang dibangun oleh Ibunya. Tak ada yang bisa menghancurkannya, sehingga diantara mereka, tak ada yang dekat dengan Ibu. Sosok ibu begitu asing pada kehidupan mereka. Yang dia tahu, bahwa dia menganggung seluruh hutang orang yang telah membuatnya ada di dunia itu.

Kini Luna duduk pada kursi ruang tamu yang sudah terasa tua. Memejamkan matanya kembali. Hatinya memaksa untuk meng-ikhlas-kan adik tercintanya, namun semakin ditekan, rasanya sangat menyakitkan. Bolehkah dirinya ikut menyusul malaikat kecilnya?

"Apapun yang terjadi, kakak harus tetap bertahan ya! Awas loh kalau enggak. Kakak udah janji! Adek sayang Kakak!"

Salah satu tulisan dalam buku diary adiknya terlintas pada kenangan. Luna menutup mulutnya dengan tangan, air mata begitu deras menghujani pipi. Tenggorokannya sudah sakit karena kebanyakan menahan suara dan tertekan. Dalam sayup dia kembali tertidur dengan kehangatan yang memusuhinya.

[]






[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang