xxx. “ ... ”
___Luna naik mobil hitam itu dengan wajah merenggut. “Kenapa!”
Sang supir hanya melirik melalui kaca. Tubuh Luna diapit oleh 2 lelaki yang tadi membuat keributan karena dia tak mau naik. “Kami hanya mengikuti perintah Miss Sasya, Nona.”
Luna mendesah kecewa. Lagi. Dan lagi. Dia hanya tak mengerti kenapa Sasya sangat posesif padanya akhir-akhir ini. Kecewanya pada Sasya tak hilang. Bahkan semakin bertambah. Tentang kejadian dia meng-gap pun Sasya tak pernah membahasnya, boro-boro minta maaf. Pula dia tak bisa melepaskan diri dari genggaman makhluk itu. Sasya selalu tau bagaimana cara membuat hatinya kembali lemah.
Bahkan sepertinya bumi tau penderitaan salah satu anaknya yang kini sedang bersedih, setiap tetesan air seperti mewakili dirinya yang sudah capek untuk melakukan sesuatu.
Mobil berhenti. Wanita itu keluar dan sedikit tertegun melihat bagunan mewah di depannya. Meski begitu dia tetap mengikuti para pria bertubuh atletis itu untuk ke dalam. “Anda tunggu saja di sini, Nona. Miss Sasya sudah di jalan.” ucap salah satu dari mereka. Luna tak menganggapi. Para pria itu pun meninggalkannya sendiri.
Matanya menelisik ke seluruh penjuru ruangan. Tangganya ada dua, di desain memutar. Di sebelah tempatnya duduk ada sebuah rak buku yang berisi sangat banyak buku dan tersusun rapi. Di tembok sebelah kanan ada berbagai lukisan yang Luna sendiri tak mengerti, karena bentuknya abstrak, warnanya berantakan.
Lalu di lantai atas tak ada apa-apa selain beberapa pintu yang tertutup. Aquarium terlihat di luar yang berdinding kaca di sekitarnya, tepatnya di belakang tempat duduknya. Tiba-tiba matanya terhenti pada sebuah pintu cokelat—yang menyesuaikan dengan warna dominan dinding—yang sedikit terbuka. Luna meneguk ludahnya, entah mengapa dia sangat penasaran pada ruangan itu.
Luna mengedarkan pandangan, mengamati arloji sebentar. Setelah beberapa saat diterpa kebingungan, dia pun memberanikan diri untuk bangkit dan mendekati ruangan itu. Kesan pertama yang dia dapat ketika membuka pintunya adalah, dingin yang mencekam. Terdapat lorong, Luna berjalan dengan pelan dan sembari mengamati dinding ber-cat hitam yang hiasannya sangat aneh, menurutnya. Bagaimana tidak, di sana terdapat pigura yang memamerkan banyak organ tubuh. Patung yang aneh. “Selera yang punya ruangan ini sangat rendah.” gumamnya.
Hingga dia menemukan sebuah kursi yang bentuknya sama anehnya. Kursi itu terlihat berkarat, dan terdapat noda merah acak di setiap sudutnya. “Catnya luntur?” tanyanya heran.
Melihat ke kanan, dia melihat sebuah lemari hitam yang sangat memukau. Ukiran khas Spanyol sangat terasa ketika menangkap gambar itu. Dia pun tak bisa menahan rasa penasarannya. Dia perlahan mendekat dan membuka lemari tersebut.
BETAPA TERKEJUTNYA
Bagaimana jika kau melihat begitu banyak senjata tajam pada satu lemari?
Luna memperhatikan semuanya. Ada banyak yang tak dia ketahui jenisnya. Padahal dia tidak terlalu gaptek tentang dunia per-pisau-an.
Wanita bergigi kelinci itu pun menutup kembali lemari itu. Berlanjut jalan lebih dalam menelusuri lorong.
DEG
JANTUNGNYA TERASA BERHENTI SEDETIK
“I-itu?”
Matanya tak lepas dari lemari yang menampilkan berbagai rupa wajah, namun yang paling menarik perhatiannya adalah: Wajah ibunya ada di situ!
“I-ini semua p-patung, kan?” tanyanya pada diri sendiri. Dia kembali berlari ke tempat duduk tadi. Tak pikir panjang, dia pun langsung menyalakan kamera yang diletakan sejauh 15 meter dari depan kursi itu.
Tubuhnya bergetar saat melihat rekaman terakhir. Seorang pria yang sangat dia benci tewas di tangan wanita itu. Diko tewas di tangan Sasya.
“What the fu—”
Bahkan Luna tak sanggup menahan cairan yang kini mengalir dari matanya. Matanya kembali menatap lorong yang tadi sempat membuatnya membeku. Berarti semua hal yang tadi dianggapnya patung, itu betulan?
Luna menutup mulutnya agar tak menyebabkan gema muncul. Dengan cepat dia mematikan kamera dan berjalan ke luar ruangan. Langsung duduk kembali dan menangkup wajahnya yang telah basah.
“Lun?”
Sasya mendekati Luna yang terlihat menjaga jarak. Dengan cepat dia menarik tubuh Luna dan mendekapnya. “Kenapa?”
Luna memukul dada Sasya tak bertenaga. Lagi-lagi hanya kekecewaan yang dia dapati dari orang yang berhasil mencuri seluruh jiwa dan raganya. “Kenapa Syaa?!”
Sasya mengerutkan dahinya. Merasa tak paham dengan Luna. Dia mendekap Luna lebih kencang. Luna terus saja menanyakan hal yang sama, “Kenapa Sya?!”
Hingga beberapa saat kemudian suara tangisan Luna tak terdengar lagi. Dia masih mengusap rambut Luna dengan teratur. Setelah itu mengangkat Luna menuju kamarnya yang ada di atas.
Sasya merebahkan Luna ke kasur ukuran jumbonya. Menarik selimut hingga menutup dada Luna. Jarinya menghapus jejak air yang mengering di pipi tirus itu. Matanya dengan lamat mengamati Luna. “Lo kenapa lagi, hum?”
[]
N/b: bisa merasakan perasaan Luna?
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] LunaSya
Teen Fiction[ Lunatic Series #1 ] Dua wanita dengan kepribadian sama saling memutuskan untuk menjadi pemuas satu sama lain. Jika Luna membutuhkan Sasya maka Sasya akan segera meluncur ke tempat wanita bergigi kelinci itu, pun sebaliknya. Kegiatan itu berjalan...