xxviii. kekesalan

2.9K 222 19
                                    


xxviii. kekesalan

___

"Ga bisa lo di sini aja?"

Luna terlihat sangat kusam, bibirnya yang mulai terdapat pecahan, rambutnya yang tak disisir rapih, serta kemeja yang kusut. Mata pandanya semakin membesar. Hidungnya kerap kali memerah saat Sasya berkunjung ke kosnya. Itu adalah pemandangan beberapa minggu terakhir.

"Gue kerja." Luna menyodorkan nasi goreng yang baru selesai dibuatnya. "Makan."

Sasya pun menerimanya, memakan dengan mata yang tak lepas dari menatap sang pembuat. "Lo ga makan?" tanyanya pada Luna yang sudah mengambil tasnya.

"Gue kenyang." jawab Luna seraya memakai sepatu putihnya yang terlihat agak berdebu. "Gue berangkat." Lalu langsung keluar meninggalkan Sasya.

Sasya mendorong piringnya tak bersemangat. Mengacak rambutnya pelan lalu menumpukan dagunya ke tangan. Rasa kesal kembali muncul ketika dia telah mengetahui penyebab kenapa Luna berubah—yang menjadi semakin dingin—, dia tak suka. Pusat perhatian perempuan itu harus bertumpu padanya. Bukan kesedihan. Hanya dia yang boleh membuat Luna sedih hingga bertekuk lutut, bukan yang lain.

Sasya bangkit dan mencari ponselnya. Mengetikan pesan pada orang kepercayaannya yang langsung dibalas dari sebrang. Sasya pun memasukan gawainya pada kantong celana, meninggalkan kos Luna dengan piring yang masih penuh.

***

Bau hanyir menguar, teriakan kesakitan yang berasal dari wanita paruh baya menggelegar. Teriakan yang meminta untuk dihabisi, berbanding terbalik dengan pertama yang meminta dikasihani. Haha.

Wanita berkulit putih itu hanya menikmati lantunan melodi yang keluar dari seseorang yang diikat. Rasanya sudah cukup lama ia tak menuntaskan hasratnya. Persetan dengan pekerjaan dan perasaan asing yang merebut banyak perhatiannya. Kini ia sangat tak bisa menahan perasaan tertahan ini.

"BUNUH GUE!"

Gadis yang lebih muda mendekati. "Hmm, saya sedang tidak mood untuk membunuh, bagaimana?" tanyanya dengan nada sangat lembut.

Wanita itu berdesis saat merasakan pahanya tertusuk sesuatu yang tumpul dan berkarat. "Kenapa lo ngelakuin ini ke gue!"

Gadis itu tersenyum. "Saya hanya mewakili seseorang saja." ucapnya sambil fokus mengukir pada alas cokelat yang terlihat sebulat merah.

"SIAPA LO!" Wanita itu mencoba untuk menjauhkan pahanya dari jangkauan pisau yang menusuk kulitnya. "Lo suruhan rentenir!? Jangan nagih ke gue, tagih ke anak gue!"

Gadis itu berhenti dari kegiatannya. Ia berdiri dan menatap wanita tua itu, bibirnya sedikit terangkat. "Cih, ga tau diri."

Gadis itu berjalan ke arah lemari yang terpampang banyak sekali peralatan tajam. Tangan mulusnya memilah satu per satu pisau yang akan dipakainya. Hingga hatinya memilih sebuah pisau yang menjadi favoritnya, fixation bowie.

"M-MAU APA L-LO!" teriak wanita itu ketika melihatnya mendekat dengan pisau yang menjuntai digenggamannya.

"Gue bosen. Sampai jumpa di neraka."

Slash

Suara pantulan tulang yang jatuh ke lantai terdengar seusai suara raungan yang begitu nikmat bagi sang gadis. Gadis itu berlutut dan melihat kepala yang sudah berpisah dari tubuhnya. "Teriakan yang fantastis."

Suara pintu terbuka membuatnya menoleh, "Miss Sasya, sudah saatnya bersiap untuk meeting." ucap pria kepercayaan gadis itu sambil membungkuk.

Sasya berdiri. Berjalan ke arahnya. "Bereskan," perintahnya. "Oh, iya, awetkan kepalanya. Bakar saja tubuhnya." lanjutnya sebelum keluar dari ruangan. Pria itu hanya menjawab iya dan melaksanakan perintah bos mudanya. Bos yang sangat tak terduga kepribadiannya. Menyeramkan.

[]















WKWK PENDEK BANGET DI SINI.

Btw, udah ada yang pernah menduga ini belum? Gue udah kasih clue di chapter sebelum2nya 🙈

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang