xxvii. please
___“Udah nunggu lama? Maaf ya La. Gue baru bisa balik.”
Lala yang ditepuk pundaknya hanya tersenyum masam. Dirinya cukup beruntung Luna telat datang, karena dia bisa menyiapkan kembali mentalnya. Peluh hinggap di dahinya, selama apapun Luna telat, tak mengubah hati dan jantungnya agar tenang.
“Gapapa.”
Luna tersenyum. Kini mereka tengah ada di kafé dekat Stasiun Tugu. “Ada apa?” tanyanya penasaran. “Oh, iya, pesen dulu,” ucapnya sambil mengangkat tangan, lalu memesan pada waiter sesuai dengan pesanannya dan Lala.
“Lun gue ma—”
“—makan dulu ya, La? Lo pasti lapar, 'kan?”
Lala menghela nafas berat ketika mendapati Luna yang mulai gusar di duduknya. Dia sudah menduga bahwa sebenernya Luna sudah tau apa yang akan disampaikannya. Namun wanita itu belum siap, mungkin? Karena sedari tadi dia selalu menahan Lala untuk berujar ke arah sana. Ternyata melihat di depan mata seseorang yang tak ingin terima kenyataan lebih sakit, ya?
Beberapa menit kemudian makanan telah datang, mereka berdua pun makan dalam hening. Keduanya memiliki kesamaan, terlihat gusar dan tak nyaman.
Dan ternyata mencoba selama apapun makanan akan tetap habis juga. Sekarang mereka hanya saling tatap tanpa ada yang kembali mengangkat suara. Riuhnya orang yang berlalu lalang tak membuat suasana hati keduanya membaik.
“Sebelumnya gue minta maaf,” Lala membuka suara, mengela nafas dulu beberapa saat agar lebih tenang. “Ternyata gue ga bisa simpen ini sendirian, rasa bersalah menghantui gue. Waktu itu gue di depan rumah lo, dan gue ngedenger suara tangisan dari Kirana. Gue mau negur, cuman takut membuat gue mundur. Sampai keesokan harinya nyokap lo bilang kalau Kirana meninggal kena serangan jantung.
“Disitu hati gue sakit banget. Cuman gue juga ga berani speak up karena gue ngerasa berdosa banget. Gue ga tau Kirana tewas emang karena itu atau serangan jantung—” Lala melihat Luna yang bergeming. “—Gue beneran nyesel, maafin gue. Andai aja ... andai aja gue ngetok rumah lo ... Maaf,”
Air mata Lala tumpah, dia lebih suka Luna memakinya daripada duduk seperti patung yang tak bergerak dan tak mengeluarkan ekspresi apapun. Hatinya lebih sakit ketika melihat Luna yang sekarang. Dia menunduk, melihat wajah Luna membuat penyesalan dan sakit semakin terasa.
“Gapapa, bukan salah lo.”
Lala mengangkat kepalanya. Menatap Luna yang menatap ke arahnya—dengan pandangan yang kosong.
“Luna gue bene—”
“—Cukup jalani hidup lo dengan baik, jangan bikin gue ngerasa bersalah juga karena lo stuck di sana. Itu bukan salah lo. Itu murni salah keluarga gue yang emang ga pernah bener.” potong Luna tanpa tersedat sedikit pun, wajahnya sangat tenang.
.
.
Deburan ombak terdengar menenangkan. Cahaya biru yang dipantulkan oleh bulan membuat segalanya nampak indah. Luna memutuskan untuk ke pantai ini, karena dia sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa. Tidak ingin melihat Sasya yang mampir ke kosnya. Atau ditelepon oleh teman-temannya. Dia memastikan semuanya tak dapat menghubunginya.
Tatapannya kosong, hanya melihat ke laut yang tenang. Dirinya tak menangis, mungkin sudah terlalu lelah untuk melakukan hal yang sudah menjadi rutinitasnya belakangan itu.
Lala jahat. Mengapa harus memberitahunya. Membenarkan prasangkanya. Dia bener-bener tak habis pikir dengan jahatnya dunia. Terus saja mengujinya dengan bejad. Jika sudah seperti ini apakah para masyarakat akan menganggap dirinya durhaka jika memberontak pada ibu?
Beberapa orang yang memandikan Kyna memang berkata padanya bahwa ada lêbam pada tubuh gadis itu. Luna mencoba menghilangkan skenario pikirannya. Menyangkal segala bentuk kemungkinan buruk. Mencoba meyakinkan bahwa itu sudah takdir adiknya. Namun ternyata ketakutan terbesarnya terungkap. Ibu membunuh anaknya. Ibu membunuh anak kandungnya sendiri. Ya. Seorang Ibu.
Dia tak paham dengan cara main ini. Semuanya terlalu rumit dan berbelit. Hatinya tak cukup kuat menahan beban yang selama ini diamit.
Ini begitu berat. Kakinya terasa terpaku disatu titik. Satu titik yang mungkin akan membawanya pada kelarutan yang tak berpintu. Ada yang pedih di dalam sana, namun dia tak tahu lebih yang sakit yang mana.
Bahkan untuk bernafas pun dia harus berusaha lebih keras. Setiap hembusan terasa seperti belati yang akan terus membawanya pada penyesalan tak berujung.
“Gendis,”
Luna terkesiap. Menatap ke samping. “Piye pak?” tanyanya pada pria yang terlihat sudah berumur.
“Sampun ndalu-ngadu. bebaya gendis sendirian di sini. Embah badhe wangsul. mboten jagain panjenengan. kundor nggih...”
Luna menekuk dahinya. Sang kakek tersenyum. Cukup paham gadis di depannya pasti anak rantau. “Pulang, nduk. Sudah malam. Ga baik anak gadis masih di sini.”
“A-iya Kek. Bentar lagi, kok...”
Kakek itu tersenyum lagi. “Nggih, Embah pulang dulu, yo. Hati-hati.”
Luna mengamati punggung yang sudah tak tegap itu. Tapi tiba-tiba dirinya kepikiran, apakah kakek itu mengawasinya dari tadi? Entahlah Luna bingung harus menghangat atau bergidik.
Dia melirik arloji, hampir dini hari. Lantas dia pun melangkahkan kaki menuju parkiran. Kini takut menyapanya ketika melewati jalanan gelap nan sepi. Namun tak bisa dipungkiri, dia berharap ada kendala di jalan.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] LunaSya
Teen Fiction[ Lunatic Series #1 ] Dua wanita dengan kepribadian sama saling memutuskan untuk menjadi pemuas satu sama lain. Jika Luna membutuhkan Sasya maka Sasya akan segera meluncur ke tempat wanita bergigi kelinci itu, pun sebaliknya. Kegiatan itu berjalan...