xxix. idk

2.9K 237 13
                                    


xxix. idk
___

Raga itu terus saja menyibukan diri dengan mengerjakan berbagai hal, yang bahkan bukan tugasnya. Tangannya kini tengah mengelap meja yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung. Lalu ia kembali berjalan ke pantri. Karena tidak ada pesanan dan sudah ada Meli yang mengerjakan, ia pun memutuskan ke belakang. Bertanya pada Mahir dan Laras, “Apakah ada yang bisa gue bantu?”

Dengan sedikit memaksa, Luna akhirnya mencuci peralatan yang kotor. Tangannya tak henti menggosok dan membilas secara berulang, mencoba menenangkan hati yang membisikan kata bahwa itu belum bersih. Mahir dan Laras yang melihat tentu saja senang karena merasa bebannya terkurangi.

“Udah, Lun. Biar nanti aja sama kami.” Hingga akhirnya Mahir melihat ada yang tak beres. Dia pun berusaha mengentikan Luna yang masih saja bergelut dengan sabun dan air.

“Gapapa, Kak. Biar gue bantu.” balas Luna yang sedang membilas piring.

Mahir nampak tersenyum lembut. Pria berkepala tiga itu mengusap bahunya lembut. “Udah sana ke depan aja. Bantuin Meli.”

Luna menutup keran, berbalik menatap Mahir. “Tapi di depan sepi, Kak.”

“Istirahat dong. Bukannya tadi pulang ngampus?” Saat Luna akan kembali membalas, Mahir kembali berbicara. “Istirahat, gih. Kasian badannya.”

Luna pun mengalah dan tersenyum kecut lalu kembali ke depan. Mengamati kafé yang saat ini tak begitu ramai. Hanya ada beberapa saja. Dia menangkup wajahnya. Wajahnya sangat kusut.

“Lun.”

Luna mengangkat wajahnya. Menatap Diko yang tersenyum. “Kenapa?”

“Nih, cobain. Gue baru belajar bikin bakso!”

Luna menatap semangkuk bakso yang terlihat sangat merah. Dia menatap ngeri pada mangkuk itu. Namun dia tetap mengambil dan mencobanya.

BOOM

Dia pun bangkit dan langsung mengambil air putih. Meminumnya rakus. Wajahnya memerah, tenggorokannya panas. “Gila, Kak!”

Diko tertawa. “Tapi enak, 'kan?” tanyanya sambil mengangkat alis kananya. Bibirnya tersenyum simpul.

“Pake cabe oren ya?”

Diko mengangguk. “Wiss bener-bener calon idaman lo. Btw, kok tau?”

Luna memutar matanya malas. “Panas di tenggorokan.”

Diko mengangguk. Kemudian ikut memakan bakso yang tadi bekas Luna. “Mau lagi kaga?”

Luna menatap malas pada Diko yang menawarkan sambil terkekeh. Bisa-bisanya ga keselek. “Ga,”

Luna pun berjalan ke kamar mandi. Masuk pada salah satu bilik dan berdiam diri. Entahlah rasanya ia sangat malas mendengar suara riuh yang ada di luar. Luna mendongkakan kepalanya, menatap pada atap yang putih. Sekelibat bayangan kembali muncul layaknya sebuah film bioskop. Luna menunduk, menutup matanya.

TRINGG

Suara nada telepon membuatnya terkejut. Dia pun langsung mengangkat panggilan itu dan membuka bilik toilet.

“Hmm” ucapnya menyambut sapaan dari sebrang. Luna mengapit ponselnya dengan bahu. Lalu mencuci tangannya di wastafel.

“...”

“Hah?” keningnya mengernyit. Sesaat kemudian keluar dari toilet dan berjalan menuju parkiran. “Biar apa?” tanyanya dengan senyum samar begitu melihat Sasya yang tiba-tiba ada di sana dengan boneka yang sangat besar.

Dia berjalan ke mobil Sasya selepas mematikan telepon. “Apa?”

Sasya memutar matanya malas. “Gue mau nitip,” ucapnya tak mau menatap Luna.

Luna melipat tangannya sambil menatap Sasya yang terlihat tak nyaman. “Oh. Sampe kapan?”

“Sampe gue mau ngambil balik.”

“Kenapa gak langsung bawa ke kos aja?”

Sasya kini menatap Luna. Mulutnya tertutup rapat dengan sedikit kerutan di dahi, tanda jika Sasya sedang berfikir. “Terserah gue dong.”

Luna mengangguk. “Yaudah langsung taro aja ke kos.”

“Ok.” Sasya memasukan kembali bonekanya ke dalam mobil. “Pastiin pas gue mau ambil balik itu boneka udah kumal dan rusak.” Lalu menutup pintu sepenuhnya. Mobil kuning itu menjauh dari tempat Luna berdiri.

Luna hanya menggeleng tak percaya. Tinggal bilang itu untuknya aja susah banget. Bingung juga, mau baper bukan pacar, tapi nggak bisa buat ga baper. Terlalu manis untuk hidupnya yang pahit. Secara tak sadar dia masih memperhatikan jalan dengan senyum di wajahnya. Sementara pria yang ada di dalam kafé mengepalkan tangannya sambil menatap tak suka pada pemandangan itu. Lalu berbalik ke ruangannya. Senyum miring tercipta di bibir tebalnya.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang