xiv. kisah sang sulung yang sendirian betarung.__
Sambil denger lagu “Day & Night” dari ost Start Up deh guys. itu lagu yang aku taro buat perspektif dari Luna. Tapi emang seneng sih sama lagunya, nyayat banget :)
__
“LO KENAPA SIH SEMALEM!”
Luna kesal pada Sasya. Semalam Sasya menggagahi— tidak, lebih tepatnya, memperkosanya hingga pagi. Kini ia tak bisa berjalan karena dibawah sana terasa sangat perih dan pegal.
“Gue? lo yang kenapa.” balasnya santai sambil menonton serial televisi.
“Lo perkosa gue, bajingan!”
Tawa sarkas terdengar dari mulut Sasya. “Lo nikmatin.”
Luna menutup mulutnya. Ia tak tahu, apakah ia menikmatinya? ah, tentu saja. Namun setelah ia bener-bener terangsang setelah dipaksa oleh Sasya. Bukan karena awalnya ia menikmati. Malah pertama ia sangat ingin kabur melihat wajah Sasya yang dinginnya menakutkan. Belum lagi sekujur tubuhnya sakit, terdapat banyak luka di sana.
Masih menutup dirinya dengan selimut sambil memejamkan mata tiba-tiba ada yang menarik penutup diri itu. Tangannya kembali ingin menarik selimut, namun di tahan oleh Sasya.
“Diem.”
Sasya mulai menekan kapas pada setiap luka Luna. Membasuhnya dengan antiseptik. Dalam diam dia menyeringai melihat mahakaryanya. Rasa bangga muncul dari dalam hatinya.
Setelah semua luka diobati, kini manik hitam Sasya melihat intens Luna. Sedangkan yang ditatap hanya merapatkan selimut dan gugup meski tetap mempertahankan wajah terlihat datarnya.
Tak kuat ditatap Luna pun berjalan ke kamar mandi dengan sedikit terpincang.
“Sya tolong ambilkan baju.” kata Luna yang membuka sedikit pintu kamar mandi.
“Syaaa!” Akhirnya dirinya meninggikan sedikit volumenya.
Sasya pun berjalan dengan mangut-mangut ke lemari. Mengambil asal baju dan keperluan lainnya. Lalu memberikannya pada Luna. Padahal mah dirinya sudah hapal seluruh bentuk tubuh Luna, bahkan ia tahu ada berapa tahi lalat di sana. Dasar wanita.
Kini Luna sudah keluar dari kamar mandi. Lalu berjalan ke kasur dan membereskan tasnya. “Mau kemana?” tanya Sasya yang sedang memasak.
Luna menoleh, “Kerjalah.” Melanjutkan aktifitasnya kembali.
“Ck. Ga usah.”
“Lo pikir, lo siapa?”
Gigi Sasya otomatis langsung bergetak meski wajahnya tak berubah ekspresi.
SRETT. BRUK.
Luna mengerjap ketika pisau menyapa kecil pipinya sebelum terbentur pada tembok di belakangnya.
“S-sya...?”
Sasya mendekat. Kini ia sudah di depan tubuh Luna yang masih menjadi batu. Menepuk dan merapihkan kerah kemeja Luna yang terlihat berantakan—di matanya—yang menyebabkan atensi Luna kini menatap padanya.
“Cukup turutin gue.” Kemudian mengecup tulang hidung Luna sekejap. Dan membersihkan darah di pipi Luna yang keluar akibat goresan pisau tadi.
Luna masih membatu ketika Sasya kembali ke dapur dan melanjutkan masakannya. Hingga akhirnya ia sadar dan menelan ludah.
“G-gue harus kerja, Sya...”
“Ck. Udah lo diem. Sana telepon, izin.” Luna menggigit bibirnya. Bagaimana mungkin ia izin? “Cepet. Lemot banget jadi cewek.”
Dengan ragu Luna pun men-diall nomor kantornya. Setelah beberapa saat dirinya bener-bener terkejut. Bagaimana mungkin ia diberi izin dengan mudah tanpa bukti surat keterangan dokter—karena tadi alasannya sakit.
“Duduk. Makan.”
Luna menurut dan mulai memakan salad sayur buatan Sasya. Meski ia tak begitu menyukai makanan sehat itu.
Luna baru saja selesai mencuci piring kotor dan sejak menyusunnya ke rak.
“Gue keluar. Lo tetep di kos.”
“Kenapa!?”
“Nurut.” ucap Sasya penuh penekanan.
“Kenapa gue harus nurut.”
Sasya terdiam meski matanya masih menatap Luna tajam. “Ah, terserah.” ucapnya sebelum keluar kos.
Luna memijat kening peningnya. Ia masih terlalu terkejut dengan karakter Sasya yang semalam dan hari ini. Sikap kasarnya semalam, pisau yang melesat, tatapan harimau yang siap memangsa, hingga setiap ucapan yang dalam; membuatnya berfikir ulang. Siapa sosok yang menjadi fwb-annya itu?
Luna mengacak rambut frustasi. Memikirkan Sasya membuat masalah lain yang ingin dilupakannya kembali menguar. Ia tak suka posisi ini. Posisi saat dirinya sangat ingin menangis. Dia anak yang kuat, tak lemah. Ia adalah ayah dan ibu dari adiknya. Ia harus bisa bertahan. Adiknya sedang menunggu di rumah untuk diselamatkan.
Namun masalahnya dengan segerombolan rentenir seakan menyekiknya secara perlahan. Menyebabkan nafasnya kadang kali tersedak dan membuatnya kelimpungan. Hutang yang tak habis-habis karena ulah ibunya yang berhutang menggunakan namanya. Pula tentang adiknya yang harus bayar keperluan ujian.
Kyna Kirana, adik perempuannya yang menjadi alasan terkuatnya untuk tetap bertahan pada kehidupan yang terus membabi buta menyerangnya. Adik manis yang tahun ini akan lulus Sekolah Dasar.
Ah, mengingat itu Luna kembali tersadar, bahwa ia harus membayar anggaran ke sekolah Kyna yang ada di Jakarta. Ia pun membuka laptopnya dan mengecek website adsense-nya. Apakah gajinya dari nulis blog di platform online itu sudah masuk ke rekeningnya. Dirinya tersenyum ketika melihat sebuah nominal dan segera mengecek m-banking, setelah tertera sesuai dengan yang dikirim ia pun menelepon pihak sekolah Kyna dan melunasi pembayaran.
Sekarang saldo rekeningnya tinggal 100rb. Gajinya di kafé masih 10 hari lagi. Di kantor masih 13 hari lagi. Bisakah ia bertahan dengan uang 100 ribu ini? Luna masih terduduk di sofa dan mulut tertutup. Hidup dengan melunasi hutang ternyata memanglah tidak mudah. Luna bernafas secara perlahan dan mulai menyenderkan tubuhnya pada sofa. Matanya dengan perlahan terpejam dan kembali tertidur.
[]
Bisa kah lo ngasih gue rekomendasi cerita gxg favorit lo?
Btw, minta saran dong, enaknya gue update berapa kali seminggu? Sama jam berapa?
- tia :)
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] LunaSya
Ficção Adolescente[ Lunatic Series #1 ] Dua wanita dengan kepribadian sama saling memutuskan untuk menjadi pemuas satu sama lain. Jika Luna membutuhkan Sasya maka Sasya akan segera meluncur ke tempat wanita bergigi kelinci itu, pun sebaliknya. Kegiatan itu berjalan...