xxxii. circle

2.9K 239 52
                                    


xxxii. circle
___

Semua sudah keluar dari kafé, Mahir dan Laras sudah berpamitan beberapa detik yang lalu.

“Ah, iya, Lun gue minta tolong dong,” ucap Diko menghentikan langkahnya mengunci pintu. Semua menoleh. “Ambilin laptop gue di atas.”

Ilham menurunkan kembali standar motornya, “Biar gue, Bos!”

Diko cepat-cepat menyela. “Biar Luna aja. Kasian noh Meli. Dah Sono lo balik!”

Ilham cengengesan. “Oh, yaudah, gue balik duluan, Lun, Ko.”

Diko mengangguk cepat. Mereka pun meninggalkan kafé. Diko menatap Luna. Matanya berkeliling melihat kemana-mana. “Tolong ya Lun?”

Luna akhirnya mengalah dan mengangguk. Lalu kembali masuk dan menaiki tangga. Suasana sudah remang. Membuka ruangan Diko dan mencari benda untuk melaksanakan tugas skripsi itu.

Ceklek

Luna menengok ke belakang, di mana Diko sudah berdiri. Leher perempuannya itu bergerak ketika Diko menatapnya dan melepaskan kunci dari pintu.

Hormon epinefrina Luna muncul secara otomatis ketika Diko mendekatinya dengan mata menyalang. Dia mundur, mencoba menjauh dari jangkauan bos-nya. Jantungnya berdetak cepat, pikirannya mencoba membuang skenario buruk yang muncul di otaknya.

“K ... Kak?” Tubuh Luna sudah mentok pada meja Diko. Iya meneguk ludahnya. “K ... kenapa?”

Diko berdiri di depan Luna. Menatap intens gadis itu. “Kenapa ga sama gue aja, Lun?”

“H-huh?”

Diko menyikap rambut Luna yang akhirnya memperlihatkan leher jenjang gadis itu yang memperlihatkan beberapa bulatan ungu yang samar. “Kenapa harus sama cewek itu?”

Luna melotot, mencoba menenangkan jantungnya. “M-maksudnya apa, Kak?” Kembali menutup lehernya dengan rambut.

Diko menggeleng lemah. “Lo seks sama cewek? Bener-bener parah sih.” Jantung Luna terasa terhenti sedetik. Dia menatap Diko tak percaya, “Gue tau.” Luna masih bergeming. Gemuruh dalam hatinya terasa mendebarkan.

“Kak gu ...”

“Tobat Lun, mending sama gue. Gue jelas bisa ngasih lo keturunan. Pisah dari cewek itu.”

Luna terbelalak, tak percaya dengan ungkapan atasannya. “Kak, minggir gue mau pulang.” Luna berjalan melewati Diko, namun tanganya ditarik kembali. “K-kak!”

“Kenapa lo ga pernah liat gue!?” Diko mengurung Luna di tembok. Luna kini yakin ini akan membahayakannya. Dia pun mencoba sekeras mungkin mendorong Diko. “Kurang apa gue hah! Apa yang dia punya tapi gue nggak!?”

Luna sebisa mungkin untuk tenang. “K-kak, kita bicarakan baik-baik, ya?”

Diko tertawa sarkas, “Lo bisa putusin dia?”

“Gue ga ada status sama dia.”

Shit, ga ada status main ranjang??”

Gluk.

Luna menelan ludahnya, sial, ke-gap.

Diko tersenyum miring ketika luna mematung. “Kayanya gue tau cara biar dapetin lo seutuhnya.”

Diko langsung menyambar bibir Luna. Tentu saja gadis itu memberontak, dia mendorong Diko sekuat tenaga. Namun apa yang bisa ia harapkan? Melawan Sasya saja dia tak mampu, apalagi laki-laki yang jelas bukan tandingannya. Air matanya sudah turun. Sedikit berharap bahwa ini hanya sebuah mimpi atau lebih baik hanya ilusi liar.

“Aww,”

Luna semakin menangis ketika Diko berhasil menelusup kan lidah pada mulutnya. Diko dengan cermat mengabsen seluruh inci gigi Luna. Diko melepaskan tautan, tangannya menghapus air mata yang keluar dari mata Luna. “Gimana kalau kita main lembut? Lo cuk ... Akh!”

Luna langsung berlari ke arah pintu saat Diko masih kesakitan di selangkangannya karena tadi Luna tendang. Luna panik tidak bisa menemukan kunci. Sial— Luna lupa bahwa tadi pintu dikunci dan di lempar ke ....

“Mau ke mana, Sayang?”

Luna menegang saat Diko menyentuh bahunya. Membalikkan tubuh Luna dalam sekali hentakan. “Kak, please...”

Diko menggeram dalam senyumnya. “Lo kaya gini bikin gue tambah horny,” Lalu mendorong tubuh Luna pada sofa. Dan langsung kembali menyerang bibir Luna yang tertutup.

“Buka, Jalang!” Luna menggeleng kuat dan mencoba menutup mulutnya dengan tangan. Diko bangkit dan meninggalkan Luna.

Wanita itu langsung bangun dan mencari kunci yang tadi Diko simpan di atas lemari. Mencoba menggapainya, sedikit lagi....

Slap

“Mau kemana, Sayang?”

Luna mencoba bangkit kembali, tetapi Diko langsung mendorongnya dan mengikat tangannya dengan sebuah dasi.

Dalam sekali gerakan Diko langsung merobek kemeja Luna, seakan tuli, dia tak mengidahkan tangisan Luna yang kini menggelegar. Diko mencium, menjilat pada setiap titik tubuh Luna. Kini Luna sudah telanjang bulat. Diko melepas sabuknya, “Lo cukup nikmati permainan gue!” Dalam sekali hentakan dan teriakan kini tubuh Diko dan Luna telah menyatu sempurna. “Shit, lo enak banget..” Diko memompanya dengan cepat. “Ga heran jalang itu genggam lo terus..” Diko terus saja meracau mengeluarkan seluruh kalimatnya.

Luna di bawahnya masih menangis, kini tatapan matanya kosong. Sesekali mengutuki diri yang mengeluarkan suara desahan. Dia sekarang benar-benar merasa dunianya runtuh. Harga dirinya sungguh-sungguh punah. Merasa dirinya sangat kotor.

Luna menutup matanya kencang ketika merasakan rahimnya menghangat. Air matanya kembali luruh, ketakutan baru mulai terbayang di benaknya. Malam itu, malam di mana Luna yakin, bahwa dia sudah tak sanggup berada di dunia lagi. Dia kehilangan alasan untuk tetap bertahan di semesta yang konon katanya sangat indah. Dia kehilangan dirinya sendiri.

[]

Woe, Luna... 😭

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang