xviii. home

3.5K 236 5
                                    


xviii. (your my) home

___

Luna terlihat ragu untuk masuk pada kawasan kantor itu. Sudah lebih dari lima menit dirinya berada di depan pintu hingga sang satpam pun kebingungan. “Ada apa, Mbak?”

Luna terkesiap. Jantungnya marathon seperti sedang ke-gap tengah mencuri. “A-aa gapapa, Pak..”

Ketika Luna ingin mengangkat suara kembali karena sang satpam masih berdiam dan menatapnya keheranan ada suara merdu Lastri yang memanggilnya dan langsung memeluknya.

“Kamu kemana aja! Mbak khawatir banget..” ucap Lastri sambil melepaskan pelukannya.

“Eh, mbak Lastri..” sapa Satpam itu pada Mbak Lastri yang langsung disambut hangat oleh Mbak Lastri, yang diketahui namanya Ukman. Lalu Lukman berpamitan dan kembali berjaga.

“Jadi kamu kemana?”

Luna ragu, apakah ia harus memberitahu pada Mbak Lastri? Jantungnya berdebar keras. “Gapapa, Mbak.. kemarin Luna sakit..”

Lastri tersenyum, mencoba tidak menanyakan berbagai pertanyaan yang ada di kepalanya. Lalu mengamit tangan Luna dan membawanya ke dalam. Digosoknya tangan yang terasa dingin itu. Meski ia tahu Luna menatapnya namun ia tetap melakukannya sambil berjalan.

“Udah duduk,”

Luna pun duduk dan meletakan tasnya pelan-pelan.

“Eh, kita rapat nih guys. Skuy ke ruang rapat!”

Jantung Luna langsung tak tenang kembali. Kini rasanya ia sangat ingin kabur dan mengubur diri di bawah selimut. Atau di dalam bak mandi.

“Lun, ayo,”

“Luna ga ikut gapapa kan Mbak?”

Lastri menyatukan kedua alisnya. “Kenapa memangnya?”

Mampus. Sekarang apa yang harus ia katakan.

“A-ah itu Luna harus ke kamar mandi. Ya! ke kamar mandi!”

“Ok. Kalau udah selesai nyusul aja. Nanti Mbak bilangin..”

Luna mengangguk, Lastri pun melenggang dengan sejuta pertanyaan di benaknya. Namun ia harus menepisnya dan fokus pada meeting yang sepertinya terlihat penting ini.







“Eh, Lun kemana aja lo!” sapa hangat Fauzan—salah satu teman satu devisinya.

“Kebelakang, Kak.” jawabnya sudah mulai bisa mengendalikan ekspresi dan suara.

Fauzan tertawa, “Lama beutt, cewek emang gitu ya?” tanyanya penasaran.

“Ojan! Ga sopan ya kamu! Balik ke mejamu.”

“Yah, mbak kan saya kangen sama wanginya Luna.”

“Oke, ntar tak lapor ke Jihan..”

Fauzan melotot, “Eh enggak Mbak, becanda doang tadi, iya kan Lun?” Sambil menganggukkan kepalanya pada Luna.

Luna mengangguk. Mbak Lastri hanya mendesah pelan karena sikap Luna yang terlihat semakin dingin.

“Eh, Lun, lo tau ga pak Ciko—" Nafas Luna tersendat ketika mendengar nama itu, jantungnya kembali tak aman. “—mengundurkan diri.”

“H-hah?”

Fauzan menggeser kursi hitamnya. Diikuti oleh Rina, Oca—masih satu devisinya. Kini mereka meringkup meja Luna dan Lastri.

“Ia, Pak Ciko udah ga ada di sini. Katanya sih pindah ke luar negeri. Tapi aneh ga sih, dia kan ambisius banget. Tiba-tiba pindah? tanpa pamit pula?” ujar Oca yang dibumbui penasaran luar biasa.

“Bener, sih. Yahh, gue jadi kehilangan pemandangan cakep deh..” keluh Rina

“Yee, gue kan juga kan cakep. Masih muda lagi!” timpal Fauzan pada Rina yang memang ga tahan liat cogan.

“Ish, lo mah vibesnya mahasiswa luntang-lantung. Kan kalau Pak Ciko sugar daddy gitu auranya.” jawab Rina sambil tersenyum yang sepertinya sedang menghayal.

Di sisi lain Lastri yang dari tadi mengawasi Luna yang selalu terlihat tegang semakin heran. Ada apa dengan gadis itu? biasanya gadis itu selalu bisa mengendalikan emosinya. Namun kini ... ah, apa yang sebenernya terjadi sehingga Luna keluar dari ruangan Ciko dengan air mata berderai? Tak mungkin kan...?

“Terus penggantinya cantik banget anjir, insecure gue!”

“Yoi. Badannya, beuh, kaya gitar spanyol.” kata Fauzan sambil meliuk-liukan tangannya seperti gitar.

Suara deheman membuat mereka serempak menoleh. Fauzan, Oca dan Rina langsung melotot dan menggeser bangku mereka menuju tempatnya masing-masing. Sedangkan Luna menatap perempuan itu sambil memikirkan sesuatu. Rasanya ia pernah melihat wanita itu, tapi dimana ya...

“Apa?”

Luna tersadar, “Ah, tidak Kak- eum, Buk?”

“Kamu kerja divisi ini juga?” Luna mengangguk. “Kenapa tadi saya tidak melihat?”

“Dia izin ke belakang, Bu Nanda.” sambung Lastri yang dari tadi hanya menonton percakapan Luna dan kepala devisi barunya.

Nanda mengangguk sambil bergumam tak jelas. “Kerjakan tugas kalian, saya sudah kirim ke masing-masing email.” Kemudian berlalu memasuki ruangannya kembali.

Luna bernafas lega karena pria brengsek itu sudah tak satu atap lagi dengannya. Ia tak bisa membayangkan jika harus satu pekerjaan dengan dia. Mungkin dirinya harus keluar agar hatinya tetap tenang. Namun berfikir mencari pekerjaan lain tak semudah itu, ia harus berfikir ulang, mungkin.

Luna pun memulai pekerjaannya. Seperti biasa, mencoba sebaik yang ia bisa.

***

Luna merebahkan tubuh lelahnya pada kasur. Matanya tertutup. Pikirannya bernerwang. Cukup lama sampai ia kembali mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. Kemudian menutup telepon setelah beberapa saat. Sudah pukul 3 dini hari. Matanya mulai terpejam kembali.

Suara kuncian membuatnya membuka mata. Ia melihat Sasya dengan mata yang setengah tertutup. Di tepuknya kasur di sebelahnya. Sasya bilang sebentar ia ingin bersih-bersih dulu. Lalu menyusul Luna yang sudah menyenderkan diri pada tembok. Luna dengan segera memeluknya dan menenggelamkan wajahnya di tempat favoritnya. Sasya hanya tersenyum kecil, entah mengapa ia menyukainya. Meski tak munafik ia kira awalnya Luna membutuhkan sentuhannya. Maka dengan cepat ia meninggalkan lembaran kertas pekerjaannya yang belum selesai untuk melaju ke kos ini.

Di sisi lain Luna sangat menyukai harum yang keluar dari dalam diri Sasya. Wanginya sangat segar. Membuatnya merasa sedang jalan-jalan di sebuah taman. Wangi yang sama seperti aroma mobil Sasya; citrus.

Dekapan Sasya juga sangat hangat. Berbeda dengan sikapnya yang terkadang membuatnya panas dingin. Rasanya jika tubuhnya ada di dalam pelukan gadis itu, ia merasa sangat aman dan tentram. Rasa seperti menemukan sesosok tempat yang bisa dianggapnya sebagai rumah.

Elusan lembut pada punggungnya semakin membuat dirinya mengantuk. Sasya memang sangat tau bagaimana cara memanjakannya. Secara perlahan mata Luna kembali semakin berat dan lama-kelamaan ia menyebrang pada alam bawah sadarnya.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang