xv. nongki? apa itu?

3.4K 230 3
                                    

xv. nongki? apa itu?

___

Para mahasiswa yang berlalu lalang adalah pemandangan kampus di pagi yang cerah ini. Luna tengah berjalan terburu-buru dan memasuki satu kelas. Dirinya berhenti tepat di depan pintu. “Ah, maaf saya terlambat, Pak..” ucapnya sambil menunduk.

Seorang lelaki yang rambutnya sudah terlihat beberapa helai berwarna putih itu masih terdiam. Tangannya dibawa untuk membenarkan kacamata hitam yang dikenakannya. Berdeham lalu menjawab. “Ya. Silahkan duduk.”

Luna menghela nafas lega. Kemudian dengan segera ia duduk dan memperhatikan penjelasan dosennya.

.

.


“Lun, kuy nongki!”

Tangan Luna yang sedang merapihkan barang bawaan terhenti. Mengangkat kepalanya melihat segerombol pria dan wanita yang berisikan 5 orang.

“Gue ga bisa, Ky.”

“Alah, lo mah sombong. Masa lo ga pernah ikut geng ini.” ucap wanita dengan polesan lipstik yang terlihat sangat merah, bajunya ketat hingga memperlihatkan lekukan tubuh.

Luna menyergitkan dahinya. Memang sejak kapan ia masuk pada sebuah geng? dirinya tertawa dalam hati, mana sempat nongki-nongki. “Sorry, ya. Gue duluan.” pamit Luna dan berjalan keluar. Kakinya digerakan secara cepat agar bisa sampai kafé Diko.

Lengket menempel pada tubuhnya. Tadi ia bangun kesiangan dan terjadilah mandi bebek. Ini semua gara-gara Sasya yang tidak membiarkannya tidur. Sudah mengerjakan tugas hingga jam 3, Sasya yang tiba-tiba datang dan menyerangnya. Lengkap sudah menjadi alasannya hanya tidur 1 jam. Karena jam 9 sudah harus ke kampus. Luna tak henti hatinya mengutuk Sasya yang tidak membangunkannya. Saat ini jam menujukan pukul 2 sore. Langkah kakinya semakin lebar. Sekarang Luna berharap bisa mendapatkan pintu kemana saja Doraemon.

Kakinya sudah berhenti dan matanya mengamati kafé Diko yang terlibat ramai. Luna menghembuskan nafasnya. Mencoba menyemangati diri sendiri. Lalu masuk kafé dan langsung memakai apron setelah menyapa Ilham yang sudah ada di sana.

Jam terus berputar pada porosnya. Kafé semakin lama semakin ramai dengan kunjungan. Luna, Ilham, Laras tak henti-hentinya melayani pembeli. Laras sendiri sudah kelihatan kewalahan, keringat menetes dari dahi cokelatnya karena bertemu terus dengan uap panas dari kompor. Ilham yang bulak-balik kasir dan mengantarkan makanan dan minuman. Serta Luna yang tangannya tak hentinya berjauhan dari alat pembuat kopi itu.

Ilham yang memang tak bisa membuat kopi menjadikannya harus berada di kasir dan menjadi waiters yang bulak-balik. Diko sudah menuju kampusnya selepas Luna datang. Mereka selalu berbagi jadwal mengenai ini. Dan jika hari Luna tidak masuk maka ia menyuruh temannya menggantikan.

“Hey Lun,”

Luna menoleh dan mengangguk. Kembali membuat sebuah Kopi Americano. Diko di sampingnya membantu membuat pesanan lain. Sudah dipakainya apron. Beberapa bocah SMA langsung berbisik keras ketika melihat Diko kembali ke tempatnya. Diko hanya mengedipkan mata dan tersenyum lebar pada para gadis ABG itu. Diko dan senyuman manisnya adalah hal yang tak bisa dipisahkan.

“Maaf ya kak, untuk menu itu juga sudah habis,” ucap Ilham yang dari tadi mengucapkan kata habis. Pembeli pun pergi dengan muka murung. Karena hal yang ingin dibelinya habis semua.

Diko mulai menanyakan pada juru masak dan mereka juga menyebutkan bahwa semua telah habis. Mata bulatnya melirik arloji, jam 8 malam. Matanya menatap pada hamparan kursi yang masih penuh oleh para pembeli. Tangan besarnya dibawa untuk menggaruk rambutnya. “Ham, print tulisan menu sudah habis di print-an depan.”

Ilham yang tengah mengistirahatkan diri pun bangkit dan langsung melaju keluar setelah berdiskusi sebentar dengan bosnya itu.

“Capek?”

Luna membuka matanya. Menoleh pada Diko. Memberi senyum kecil sebagai jawaban.

Diko kembali berjalan ke atas, kemudian turun lagi dan menyusul Luna. “Makan, Lun,”

Terlihat sebuah  roti king cheese yang kejunya meluber. “Kan punya lo, Kak.”

Diko tersenyum, “Ga mungkin gue makan semua. Nih, ambil.” ucapnya mendekatkan toples ke Luna. “Nanti gue bagi yang lain juga kok.”

Luna akhirnya mengambil satu. Diko pun memanggil karyawannya dan menawarkannya pada mereka—yang pastinya tak ditolak. Mereka pun mengobrol hingga jam tutup kafé dengan Luna yang kembali tertidur di sofa yang memang tadi kosong sehingga dijadikan mereka kumpul bersama dan berbincang.

“LUNAA”

Luna terpelojak dan langsung menegakkan badannya. Sedangkan Ilham; Meli; Laras; dan Mahir tertawa sangat keras.

BUG

Ilham mengaduh dan melotot pada sang pemukul, hingga ia cengengesan dan menunjukkan jari berbentuk V nya ketika menyadari siapa yang memukulnya penuh dendam.

“Hayoloh Yank pawangnya marah...”

Kini Ilham yang ditertawakan oleh Meli Mahir dan Siska.

“Gue kan bantuin, Bos. Hehe,”

Mata Diko sudah melunak ketika melihat Luna meminum air yang dibawanya. “Makasih kakak semua.” Semua mata kini memandang Luna. “Kenapa?”

Wajah-wajah itu mulai melunak, lupa dengan wanita satu itu. Yang datarnya kelewatan. Mencoba memaklumi.

“Gapapa. Kuy balik,” seru Ilham dan menggandeng pacarnya keluar.

Semua sudah pamit, Diko bergegas menyusul langkah Luna yang tadi sudah pamit juga. Mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu. Berharap sang gadis bertanya atau menyapanya. Namun ia hanya bisa menelan harapan itu.

“Bareng yak.” ucap Diko memecah keheningan. Luna menengok dan mengangguk dengan sedikit tersenyum.

Diko pun memilih diam karena aura Luna masih sangat ketara ngantuknya. Tangannya sangat gatal membawa tangan besarnya untuk membungkus tangan mungil itu. Digigit bibirnya, capit atau tidak. Yang akhirnya ia bawa tangannya untuk bersilang di depan dadanya.

Langkahnya terhenti ketika melihat Sasya baru saja turun dari mobil. Dua pasangan bola mata itu saling mengamati dan mengimitasi. Tangannya mengepal.

“Kak, gue duluan.”

Suara halus itu mengambil atensinya. Ia menampilkan senyum terbaik dan mengangguk.

Luna masuk ke kosnya. Disusul oleh Sasya yang terlihat senyum miring kecil. Dirinya pun meninggalkan kawasan kos Luna dan kembali ke kafénya dengan hati dongkol.

[]


[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang