xxxvi. utopia

2.9K 254 14
                                    


xxxvi. utopia
___

Luna menutup dirinya dari akses luar. Dia kini menginap di sebuah motel tanpa membawa apapun kecuali beberapa baju dan uang cash.

Berita tentang pembunuhan yang ditemukan di sebuah gang yang terkenal jadi tempat tongkrongan orang bandel begitu menggelegar, pasalnya orang itu adalah Diko. Seorang pria yang hampir mengenalkan dirinya sendiri pada seluruh pelosok kota.

Sampai satu minggu lalu kasus ditutup karena kurangnya bukti siapa pelaku pembunuh itu. Orang tua Diko pun meng-ikhlas-kan anak mereka setelah pencarian selama satu bulan yang tak membuahkan hasil.

Dia kemudian bangkit dan berjalan ke luar motel. Di sebrang terlihat ada seorang bapak-bapak yang dia lihat di rumah Sasya, waktu itu.

Luna menghela nafas lelah. Kenapa dirinya tak bisa lari dari manusia satu itu!? Baiklah, dia akan kembali ke kos, karena percuma sembunyi jika Sasya telah mengetahui persembunyiannya.

Dia sudah mengepack tasnya, Luna kemudian berjalan ke arah telepon umum yang masih tersisa. Mengetik beberapa nomor. Menunggu dengan hati sangat berdebar. Sesekali matanya melirik ke arah kaca putih, melihat apakah pria itu masih mengikutinya. Ternyata, ada.

Pertanyaan dari sebrang membuat fokusnya teralih.

“Halo La. Ini Luna, gue boleh minta tolong?”

***

Luna baru saja keluar dari ruang administrasi kampusnya. Hatinya berdetak sangat cepat. Dia menarik nafas, memantapkan dan meyakinkan pada diri sendiri bahwa keputusannya telah tepat.

Bukan hal yang mudah untuk memutuskan keluar dari kampus yang telah kamu perjuangkan setengah mati. Padahal kelulusan hanya tinggal 4 semester. Namun apalah dikata, jika menunggu 2 tahun, bisa mati duluan Luna.

Wanita itu pun berjalan santai, persetan dengan orang yang masih selalu menguntitnya. Matanya tak sengaja menatap sebuah apotek. Dia secara alamiah memegang perutnya. Dirinya bergeming. Setelah sedikit bernegosiasi dengan diri, dia mengubah jalur perjalanannya, kaki menggiringnya untuk berdiri di depan apotek. Dia masih belum berani masuk. Dirinya mengeluarkan ponsel dan pergi ke mesin pencarian. Setelah itu menuju apoteker dan menujukkan foto benda yang akan dia beli. “Tolong satu.”

***

Ceklek

Luna yang sedang menonton tivi menoleh. Lalu kembali melanjutkan tontonannya.

“Lo beli testpack?”

Luna tak merespon pertanyaan Sasya. Sasya kini berdiri di depan Luna yang sangat terlihat tak menyaksikan siaran. Matanya hanya kosong menatap layar yang sedang berjalan itu.

Luna menghela nafas, menyender pada sofa. Matanya terpejam. “Berhenti suruh orang lo ikutin gue.”

“Jangan alihin topik. Lo beli testpack?” Luna mengangguk. “Terus gimana hasilnya?” Luna membuka mata. Menatap lurus pada retina Sasya.

“Ya, ga gimana-gimana.” Kembali merebahkan dirinya.

“Beneran!?” tanya Sasya dengan nada memekik tinggi, matanya bersinar.

“Kenapa?”

Sasya kembali menetralkan ekspresinya. “Gapapa,”

Suasana kembali hening. Luna masih menutup matanya. Mencoba menikmati setiap helaan nafas yang keluar. Ternyata dia masih hidup.

“Besok jalan ya sama gue?”

Sasya langsung menegakkan duduknya. “Huh?”

Luna membuka mata, menatap mutiara hitam itu. “Besok. jalan. sama. gue. Bisa?”

“O-ohh, ya, bisa!”

Luna mengangguk dan kembali menutup mata. Dirinya kembali memandang ke depan ketika Sasya menarik dirinya ke dalam pelukan.

“Enakan gini. Gue pengen peluk lo.”

Luna pun hanya menurut dan membenarkan posisinya. Mereka pun melakukan cuddle setelah lumayan lama tidak melakukan kegiatan tersebut.

[]

[M] LunaSyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang