TERATAI 02

94.4K 9.1K 1.3K
                                    

“Jadikan hinaan & respon negatif sebagai motivasi pantang menyerah dalam menggapai mimpi. Jangan menjadikan hinaan itu beban dan hingga membuat kita minder dan berakhir putus asa.”


═━━━━✥◈✥━━━━══
      HAPPY READING
══━━━━✥◈✥━━━━══

"Alara! sini, nak!" panggil seorang laki-laki paruh baya saat melihat anaknya yang hendak memasuki kamar dengan bibir yang cemberut. Anak sulungnya yang bernama Sakya Alara.

"Iya, Abu?" jawabnya, lalu duduk di sofa sebelah laki-laki yang sejak kecil ia panggil dengan Abu.

"Kamu ada masalah? Kenapa wajahnya cemberut gitu?"

"Ala lupa balikin buku fisika punya Mei, Abu. Padahal besok ada ulangan fisika. Pasti Mei marah ke Ala. Dia pasti mau belajar malam ini," ujarnya mengadu.

"Senyum dulu anak Abu," ujar laki-laki yang dipanggil Abu oleh Alara.

"Nggak bisa, Abu. Nggak bisa senyum," balasnya cemberut.

"Jika kita tersenyum meskipun hati sedang dipenuhi kekhawatiran, kesusahan, berarti kita sedang berusaha meringankan beban pada pikiran kita sendiri dan membukakan pintu bagi diri kita dari beban itu, nak."

"Jangan ragu untuk tersenyum. Sungguh, dalam diri kita itu terdapat potensi yang berlimpah untuk tersenyum. Oleh karena itu, jangan disembunyikan. Enggak ada ruginya untuk kita tersenyum, alangkah indahnya bibir saat kita tersenyum."

Alara mendekat, lalu duduk di samping Abunya.

"Stephen Gazzel mengatakan 'Senyuman adalah suatu keharusan dalam bermasyarakat'." Laki-laki itu tersenyum melihat bibir putrinya yang mulai tertarik ke atas.

"Nih, Ala udah senyum," ujar Alara tersenyum manis.

"Sini, Abu mau kasih sesuatu." Alara semakin merapatkan tubuhnya di dekat sang Abu, lalu ia langsung bersandar di dada sang Abu. Ia paham sesuatu yang dimaksud oleh sang Abu bukanlah sesuatu yang berbentuk sebuah barang, melainkan nasihat-nasihat yang sangat disukai oleh Alara.

Abu Alara yang bernama Ridwan tersebut mengusap lembut puncak kepala putrinya sulungnya dengan sayang.

"Jadilah seperti semut dalam hal kesungguhan, kesabaran dan ketelatenan, nak. Hal yang paling penting, baiknya kamu tidak merasa gagal dan frustasi. Karena sesungguhnya sejarah tidak mengenal kata terakhir dan akal tidak pernah mengenal kata penghabisan, tetapi yang dikenal hanya upaya meluruskan."

Abu Ridwan menarik nafas, lalu tersenyum melihat putrinya masih diam mendengarkannya.

"Sesungguhnya perjuangan itu seperti bangunan yang dapat direnovasi, dibangun kembali, dipercantik lagi. Oleh karena itu, jika kamu merasa gagal dalam berjuang, renovasilah niat, bangun lagi tekadmu. Hindarilah kata keraguan."

"Jadilah wanita yang bercita-cita tinggi. Terus melangkah dan berhati-hatilah jangan sampai terjatuh."

"Sebagai seorang wanita tidak menghalangi mimpi, 'kan Abu? Walau kita berasal dari keluarga sederhana dan tinggal di lingkungan kurang baik dalam pandangan islam, itu tidak menghalangi langkah Ala--"

"Assalamualaikum, Alif pulang!"

"Waalaikumsalam!" jawab Abu Ridwan dan Alara bersamaan. Disusul oleh Bunda Maria yang keluar dari arah dapur.

"Waalaikumsalam, Alif. Gimana ngajinya?"  tanya Bunda Maria. Bundanya Alara dan Alif.

"Alhamdulillah, lancar Bunda. Tadi Alif salahnya cuma dua," adunya. Anak laki-laki yang baru menginjak kelas 3 SD itu duduk di samping Alara.

TERATAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang