HAPPY READING!
.
.
.
.
.Usai dihukum dengan Pak Aji, Inti Aroxer beserta dua gadis cantik itu langsung meninggalkan sekolah guna melihat keadaan Biru di markas.
Kini, mereka semua tengah duduk di sofa hitam dengan saling berhadap-hadapan. Biru pun juga ada di sana. Ia telah sadar dari pengaruh alkohol itu.
"Gue minta maaf," ujar Biru.
"Buat?" sahut Bigel.
"Semuanya. Gue udah nyusahin kalian," jawabnya pelan.
"Santai aja kali, lebay banget, lo," cetus Arthur.
Biru menghembuskan napasnya pelan. "Gue juga minta maaf sama lo, Al. Tadi, gue gak sadar ngelakuin itu ke lo," ucapnya pada Alana.
"Gak papa," jawab Alana.
"Terus gimana, Ru, masalah lo sama anak Devil Tribe?" tanya Tara.
"Oh iya, gimana?" timpal Arthur.
"Udah gue samperin kemarin. Tapi dia gak mau ngaku. Katanya sih, bukan dia," jelas Biru.
Arthur berdehem pelan. "Menurut lo, dia jujur apa nggak?"
"Jujur kayaknya. Mukanya aja ketakutan waktu abis gue tonjokin."
"Ada musuh lain?" tanya Chenno sarkas.
Biru menggeleng. "Gue emang nakal, tapi gue gak pernah nyari gara-gara sama orang."
"Tapi aneh gak, sih, sekarang terornya udah gak ada? Tuh, yang neror vakum apa gimana?" tanya Tara.
Arthur menghendikkan kedua bahunya. "Gak tau. Freak banget tuh orang yang ngirimin teror."
Beberapa menit kemudian mereka masih saling diam. Entah mereka mengapa. Yang jelas, mereka sama-sama memikirkan biang masalah beberapa hari yang lalu.
Awan yang mulai menggelap terus-menerus mengeluarkan suara yang bergemuruh. Tanda hujan akan segera turun.
"Pulang, yuk? Udah mau ujan, nih," ajak Tara.
Mereka semua mengangguk setuju. Lima cowok dan dua cewek itu dengan sarkas keluar dari markas, salah satu dari mereka juga mengunci pintu markas.
Biru, pulang dengan Tara dan Bigel. Sedangkan Chenno, ia dengan pacar barunya, Alana. Jangan lupakan pasangan fenomenal kita, Arthur dan Ayya. Dua sejoli itu pulang bersama. Walaupun mereka semua mengendarai motor masing-masing, tetapi pulang harus tetap bersama-sama.
***
Biru memasuki rumah besarnya dengan gontai. Rumah yang hangat dahulu sudah tidak ada. Dan tidak akan ada yang dapat menghangatkan rumah ini lagi.
"Kalo masuk rumah itu ngucap salam," sindir Papa Biru---Ayman.
"Assalamualaikum," ucap Biru malas. Ia melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Ayman melihat anaknya dengan tatapan jengah. "Waalaikumsalam," jawabnya pelan.
"Udah tau mau kuliah di mana?" tanya pria setengah paruh baya itu.
"Gak kuliah," jawab Biru ngawur. Jujur saja, ia sangat malas berbicara dengan papanya.
"Mau jadi apa kamu gak kuliah? Kamu itu anak papa satu-satunya. Kamu harus ngelanjutin perusahaan papa nantinya!" bentak Ayman tak tertahan. Anaknya itu selalu saja membuatnya emosi.
"Kamu masih mabuk-mabukan juga, kan? Kapan kamu mau berubah, Biru? Papa capek sama tingkah kamu yang diluar batas!" sambungnya.
Biru memutar badannya menghadap ke Ayman. "Papa selalu nuntut Biru buat jadi seseorang yang papa mau. Padahal papa sendiri gak tau apa yang Biru mau!"
"Papa sadar gak? Papa itu egois!" sarkas Biru dengan nada kerasnya.
"Biru! Papa ngelakuin ini juga demi kamu! Kamu tau, kan, bunda kamu itu udah nggak ada. Seharusnya kamu ngerti perasaan papa!" balas Ayman sedikit berteriak.
Biru terkekeh sedikit. "Maksud Papa, apa? Papa butuh cewek? Papa nikah aja lagi sana. Tapi jangan harap, Biru mau nganggep dia sebagai bunda Biru. Nginjek rumah ini aja Biru gak sudi!"
Setelah mengeluarkan unek-uneknya, Biru langsung berjalan cepat menuju kamar dan menguncinya. Ia tidak memperdulikan sang papa yang meneriaki namanya.
Sedangkan Ayman, ia menatap nanar pintu kamar anaknya. Apakah selama ini ia telah gagal mendidik Biru? Percayalah, merawat anak seorang diri bukanlah hal yang mudah. Apalagi dirinya tidak menikah lagi setelah sang istri meninggal.
Di dalam kamarnya Biru menyenderkan punggungnya di jendela yang terbuka. Sesekali ia melihat awan yang menurunkan tetesan-tetesan air. Ya, kali ini hujan menemaninya bersedih.
"Bunda, Biru kangen," ujarnya dalam hati.
Ia sering kali menganggap bahwa Tuhan itu jahat. Tuhan selalu mengambil seseorang yang ia cintai. Pertama bundanya, kedua pacar pertamanya. Lengkap bukan, penderitaannya? Menjadi nakal bukan keinginannya, tetapi dorongan dari dalam tubuhnya yang ia sendiri tidak tahu mengapa dorongan negatif itu keluar. Mabuk? Balap liar? Main cewek di club? Itu adalah sebagian bentuk untuk menghibur diri dan melenyapkan kenangan buruk di dalam hidupnya. Siapa yang tahu, sosok Biru yang sebenarnya?
Bulir-bulir air mata mulai turun ke permukaan pipinya. Hujan selalu mengingatkan dirinya dengan sang bunda, juga dengan sang kekasih pertama. Kenangan manis maupun pahit selalu teringat ketika hujan. Derasnya air hujan saat ini, sama derasnya dengan sedihnya kehidupannya tanpa seseorang yang ia sayang.
***
Di bawah halte bus yang sepi, di situlah Arthur dan Ayya berdiri. Mereka meneduh dari derasnya hujan.
"Dingin gak, Ay?" tanya Arthur seraya menggesek-gesekkan kedua telapak tangannya.
"Enggak," jawab Ayya jujur. Hawanya memang dingin, tapi ia tidak kedinginan.
Niatnya, Arthur ingin meminjamkan jaketnya untuknya seperti di film-film romantis. Tapi sialnya, ia tidak memakai jaket sekarang.
Gadis itu dengan senang melihat air hujan yang turun dengan deras. Indah. Tanpa ia sadari, ia melengkungkan senyumnya ke atas.
"Thur, ujan-ujanan, yuk?" ajak Ayya penuh semangat. Ia menampilkan senyumnya seperti menghipnotis Arthur.
"Dingin loh, Ay. Yakin mau ujan-ujan?" tanya Arthur balik.
Ayya mencebikkan bibirnya pelan. "Alay deh, lo. Kalo gak mau ya udah, gue main ujan sendiri," ucap Ayya.
Gadis itu menaruh tasnya di bangku halte, kemudian langsung melangkahkan kakinya ke jalanan sepi di depan halte itu. Ia meloncat-loncat kegirangan merasakan air hujan yang dingin itu masuk ke dalam sela-sela seragamnya dan menyentuh kulitnya.
Arthur tersenyum senang melihat Ayya yang mengeluarkan tingkah lucunya.
Gadis cantik dengan rambut basah itu berlari kecil ke arah Arthur. Dengan sengaja ia menarik tangan sang pacar. Ia tertawa senang melihat Arthur yang kebasahan.
"Dingin, Ay!" teriak Arthur. Hujan semakin deras membuat mereka harus berteriak agar mendengar suara masing-masing.
"Gak papa! Sekalian mandi sore! Kita kan belum mandi!" jawab Ayya dengan teriakan yang tak kalah keras. Ia melempar senyumnya sumringahnya kepada Arthur.
Arthur tertawa membalas ucapan sang pacar. Ia menggandeng kedua telapak tangan Ayya, lalu memutarkan badannya seraya meloncat-loncat. Jadilan kedua sejoli itu bermain saling memutar tubuhnya, meloncat-loncat dan bergandengan. Saling melempar tawa dan bersorak bahagia.
"Ayya, pacarnya siapa?" tanya Arthur dengan nada nyanyian.
"Ayya, pacarnya Arthur," jawab Ayya juga dengan nada bernyanyi.
Mereka melanjutkan nyanyiannya dengan keadaan masih bergandengan dan meloncat-loncat kegirangan.
.
.
.
.
.JANGAN LUPA VOTE & KOMEN!
.
.
.
.
.Rajin voment yuu
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT MISSION [END]
Teen Fiction"Lo mau jadi pacar gue yang ke 898 gak, Ay?" "Mau. Tapi lo harus siap, jadi mantan gue yang ke 899." Arthur Adam El-farez. Cowok jangkung berparas tampan itu kerap disapa Arthur. Ia adalah ketua geng motor sekaligus most wanted boy di Lentera High...