HAPPY READING!
.
.
.
.
.Pertanyaan Ayya tak kunjung dijawab. Alexa malah marah-marah dan membanting barang di sekitarnya. Alhasil Ayya keluar dari bangsalnya dan memanggil suster untuk mengatasi Alexa.
Kini gadis itu kembali ke rumahnya. Sebelum ia ke markas, ia harus memastikan terlebih dahulu bahwa adiknya sudah makan dan aman di rumah. Oh iya, ia juga masih bekerja di Cafe Arthur. Ia harus bekerja dulu, lalu ke markas. Ya, itu urutan yang benar.
Sesampainya di rumah, langsung saja ia memarkirkan motornya di depan garasi dan masuk ke dalam rumah yang sepi itu.
"Keira ...!" panggilnya dengan nada panjang.
Gadis berkuncir dua itu berlari ke arah kakaknya di ruang tamu. "Apa?"
"Udah makan belum?" tanyanya seraya mengelus kepala sang adik.
"Udah. Tadi sama Bi Nila," jawabnya.
"Good. Bi Nila di mana?"
"Pulang barusan. Anaknya yang kecil tiba-tiba sakit," jelas Keira.
"Yah, kamu sendiri dong?"
"Gak papa. Udah biasa sendiri juga," lirih Keira.
Mama dan Papanya tidak lagi menghubungi mereka sejak kepergiannya waktu itu. Benar-benar orang tua yang tidak tahu diri dan tidak merasa bersalah atas perlakuannya kepada anak. Untung saja Ayya bisa melewati ini semua meski sulit. Ia harus bisa bertahan untuk adiknya.
Ayya menghela napasnya kecil, lalu mengecup kening Keira.
"Kakak mandi dulu, ya, nanti habis maghrib kakak ajak kamu ke tempat kerja kakak," titah Ayya.
Gadis kecil itu mengangguk senang. "Oke!"
Mereka berdua akhirnya berjalan bersamaan menuju ke kamarnya masing-masing.
***
"Malem semuanya," sapa Ayya kepada teman-temannya yang bekerja di Art Cafe.
"Hai, Ay!" balas Aldi, karyawan baru di sana.
"Hai." Ayya tersenyum tipis.
Gadis itu berpaling ke Keira, ia berkata. "Keira duduk di meja situ dulu ya, kakak mau kerja."
"Siap!" Keira mengangguk mengerti. Gadis itu melangkahkan kakinya untuk duduk di meja kecil samping kaca.
Ayya pergi ke dapur, lalu mengambil celemeknya dan berdiri di tempat kasir.
"Tar, diem-diem aja, lo," kata Ayya saat Tara hendak membawakan pesanan orang ke mejanya.
"Em, emang kenapa?" tanya Tara balik.
"Ya, gak biasa aja lo diem gini."
"Nggak, kok, gue sama kayak biasanya." Setelah mengucapkannya, Tara langsung kembali bekerja.
Jujur, Tara bingung menghadapi suasana saat ini. Ia bingung harus bertindak seperti apa kepada Ayya setelah kejadian di malam itu. Apalagi, ketika tahu teror dan pemfitnahan adiknya itu juga ulah dari Ayya. Kesal? Sudah pasti. Tapi ia tidak bisa marah apalagi membenci. Itu bukan jiwanya. Mungkin, karena sang ibu selalu mengajarkannya untuk selalu menahan amarah dan tidak menjadi seorang pendendam.
"Keira mau es krim, nggak?" tanya Tara ketika melihat Keira yang duduk sendirian.
"Em ... Mau, tapi, nan--"
"Oke, kakak bikinin dulu!" Tara langsung bergegas kembali ke dapur.
Keira tersenyum melihat kepergiannya. Teman-teman Kak Arthur memang baik semua, batinnya.
Tak lama kemudian, Tara kembali ke meja Keira dengan es krim di tangannya.
"Nih." Tara meletakkan semangkuk es krim vanilla oreo itu di meja Keira.
"Makasih, Kak Tara!" ucapnya senang.
Tara mengangguk dengan senyuman, lalu ia kembali ke dapur meninggalkan Keira yang menikmati es krimnya sendirian.
"Makasih, Tar," ujar Ayya.
"Buat apa?" tanya Tara.
"Tuh, es krim Keira."
"Oh, santai aja."
Tara masuk ke dapur, sedangkan Ayya sibuk di kasir. Pelanggan Art Cafe tidak ada habisnya. Di setiap malam selalu ramai, membuat para karyawannya kelelahan akan pekerjaan yang cukup santai ini.
Tak terasa sudah lamanya ia bekerja. Jarum panjang di jam dinding kini berhenti di angka 10. Gadis cantik berambut panjang itu melepas celemeknya, kemudian berjalan menuju ke sang adik yang tertidur di mejanya sendiri. Kasihan. Sepertinya Keira kelelahan karena menunggu Ayya yang bekerja.
Saat Ayya hendak membangunkan Keira, pundaknya tiba-tiba ditepuk oleh seseorang.
"Gue mau ngomong sama lo sebentar. Gue tunggu di depan." Cowok tinggi dengan alis tebal yang membuat wajahnya terlihat judes itu pergi meninggalkan Ayya di tempat.
Alhasil, Ayya menghampiri Biru keluar Cafe sebelum membangunkan Keira.
"Ada apa?" tanya Ayya di samping Biru.
"Sebenarnya, masalah lo sama Arthur apa sama gue? Kenapa lo bawa-bawa Aroxer," jawab Biru to the point.
"Sama lo."
"Kenapa sama gue? Dan kenapa lo bawa-bawa temen gue juga?" Biru mulai kesal.
Ayya menghela napasnya, lalu menghadap ke Biru. "Gue suka permainan, apalagi mainin lo. Gue pengen lo dibenci sama temen-temen lo itu, gue pengen lo merasa bersalah sama mereka karena kesalahan lo di masa lalu."
Biru berdecih. "Tau apa lo tentang masa lalu gue?"
"Bangsat si bangsat aja, gak usah nutupin ke-bangsatan lo itu," cetus Ayya tak kalah sinis.
"Eh, lo dengerin ya, gue kenal lo aja, nggak! Gimana gue bisa tau, gue ada masalah apa sama lo!"
"Pembunuh! Lo bunuh sahabat gue, Bangsat!"
"Gue gak pernah bunuh siapa-siapa, Anjing!" umpat Biru tepat di depan wajah Ayya.
"Iya lo nggak bunuh dia secara langsung, tapi alesan dia mati itu gara-gara, elo!" teriak Ayya di akhir kalimat.
"Fuck, Bitch! Dia siapa?!" tanya Biru dengan napas yang memburu.
"Amanda!"
Napas Ayya memburu, dahinya mulai berkeringat sebab menahan amarahnya. Demi apapun ia ingin sekali melayangkan pukulannya ke wajah Biru.
"Lo, sahabat Amanda?" tanya Biru dengan nada bingungnya.
"Pantes aja Amanda gak pernah ngasih tau siapa pacarnya. Karena dia tau, pacarnya itu se-bangsat ini!"
Biru terkekeh miris. Bangsat? Ya, itu memang dirinya. Tapi dirinya setelah kehilangan Amanda.
"Lo tau? Yang bikin gue se-bangsat dan se-brengsek ini itu Amanda! Karena dia ninggalin gue sendiri di sini, Ay!"
"Tapi elo tak bikin dia pergi, Biru!" Ayya menahan isak tangisnya, tapi air matanya sudah meluruh di pipi.
Biru menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enggak. Di sini gue yang hancur karena kehilangan dia."
.
.
.
.
.JANGAN LUPA VOTE & KOMEN!
.
.
.
.
.LANJUT? SPAM KOMEN YANG BANYAK POKONYAAA!
KAMU SEDANG MEMBACA
PERFECT MISSION [END]
Teen Fiction"Lo mau jadi pacar gue yang ke 898 gak, Ay?" "Mau. Tapi lo harus siap, jadi mantan gue yang ke 899." Arthur Adam El-farez. Cowok jangkung berparas tampan itu kerap disapa Arthur. Ia adalah ketua geng motor sekaligus most wanted boy di Lentera High...