Sorin menahan pintu dengan sebelah tangan sebelum pintu itu tertutup di depan wajahnya. Ia menggigit bibir menatap Sa-Ya Hirano yang berjalan masuk ke dalam gedung apartemennya dan mengarah ke tangga. Kemarin malam, ketika In Yeop meneleponnya, laki-laki itu sudah memperingatkan Sorin bahwa Sorin tidak akan mendapat sambutan hangat dari kakaknya. Tanpa diperingatkan pun, sebenarnya Sorin sudah bisa menduganya. Kalau boleh jujur, ia tidak ingin bertemu dengan Sa-Ya Hirano lagi. Kenapa? Pertama, karena malu. Ia telah mencederai tangan seorang pianis sehingga mengharuskan pianis itu membatalkan pertunjukannya, yang tentunya menyebabkan masalah-masalah rumit lain menyangkut kerugian yang sangat besar. Kedua, karena takut. Sa-Ya Hirano sangat marah padanya dan itu sudah terlihat jelas kemarin. Hari ini pun laki-laki itu masih marah. Dan tatapan dingin laki-laki itu membuat Sorin ingin mundur teratur, berbalik, lalu berlari pergi.
Namun apakah setelah mencederai tangan seseorang— walaupun itu tidak disengaja—kau bisa berbalik pergi begitu saja tanpa merasa bersalah dan tanpa merasa perlu melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanmu? Well, Sorin tidak bisa. Perasaan bersalah terus menghantuinya sejak kemarin dan membuat perasaannya sangat tidak enak.
Jadi di sinilah dirinya. Berusaha meminta maaf kepada Sa-Ya Hirano dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Berusaha bertanggung jawab. Tetapi laki-laki itu sama sekali tidak ingin berurusan dengannya.
Sorin mengembuskan napas putus asa. Apakah sebaiknya ia pergi saja? Karena menghadapi Sa-Ya Hirano lagi sepertinya tidak ada gunanya. Malah laki-laki itu akan semakin membencinya. Ya, sepertinya yang terbaik yang bisa dilakukan Sorin untuk membantu Sa-Ya Hirano adalah menyingkir dari hadapannya. Setidaknya untuk sementara, sampai laki-laki itu sedikit lebih tenang.
Tapi... Sorin menunduk menatap kopi Sa-Ya Hirano yang masih dipegangnya. Aih...
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menguatkan diri, Sorin pun menyusul Sa-Ya Hirano masuk ke dalam gedung dengan berat hati.
"Tunggu," panggil Sorin ketika ia melihat Sa-Ya Hirano berjalan menaiki tangga. "Kopimu..."
Tentu saja Sa-Ya Hirano tidak menjawab. Yah, mungkin ia tidak mendengar panggilan Sorin karena sosoknya sudah menghilang ketika ia berbelok di tengah tangga. Sorin mendesah dan bergegas menyusulnya.
Kenapa laki-laki itu tidak menggunakan lift? Sorin tidak tahu. Tetapi napas Sorin sudah tersengal ketika ia tiba di lantai empat. Sorin berdiri di puncak tangga sambil berpegangan pada dinding dan berusaha mengatur napas.
"Kenapa kau mengikuti?"
Sorin mengangkat kepala mendengar suara yang dalam dan tajam itu. Sa-Ya Hirano berdiri di depan pintu yang sudah pasti adalah pintu apartemennya dan menatap Sorin dengan kening berkerut.
Sorin mengangkat tangannya yang masih memegang kopi.
"Ini..."
Sa-Ya Hirano memiringkan kepada sedikit, menatap Sorin. "Naik tangga sedikit dan kau sudah kehabisan napas? Kukira In Yeop pernah berkata bahwa kau penari."
Sorin menegakkan tubuh. "Penari juga manusia," sahutnya datar.
Sa-Ya Hirano berkacak pinggang dan mengembuskan napas kesal. "Kenapa kau terus mengikutiku? Apa sebenarnya yang kau inginkan?"
Sorin memejamkan mata sejenak. Ia harus mengendalikan diri. Tarik napas... keluarkan... tenangkan diri... Lalu ia membuka mata dan menatap Sa-Ya Hirano. "Baiklah, aku akan mengatakannya padamu sekali lagi," katanya dengan nada pelan dan jelas. "Aku datang ke sini untuk meminta maaf dan aku sebenarnya ingin bertanggung jawab atas semua yang sudah kulakukan. In Yeop merasa kau membutuhkan bantuan dan karena dia tidak bisa menemanimu setiap saat, kupikir aku mungkin bisa membantu." Ia berhenti sejenak untuk menarik napas, lalu melanjutkan, "Aku sudah meminta maaf dan aku sudah menawarkan bantuan. Tapi sepertinya kau tidak bersedia menerima keduanya. Baiklah, tidak apa-apa. Setidaknya aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan dan sekarang aku tidak perlu merasa bersalah lagi."