Sorin merapatkan jaketnya dan menekan bel interkom gedung apartemen Sa-Ya. Sedetik kemudian terdengar bunyi klik dan pintu terbuka. Sorin mengerjap heran. "Cepat sekali." Gumamnya pada diri sendiri. Ia pun masuk dan berjalan ke lift. Ia tidak mungkin naik tangga hari ini. Ia pasti akan kehabisan napas kalau naik tangga ke lantai empat. Kehabisan napas dan tidak kuat berdiri.
Pintu lift terbuka di lantai empat. Sorin mengembuskan napas berat dan melangkah keluar dari lift. Namun langkahnya mendadak berhenti ketika ia melihat Sa-Ya berdiri bersandar di pintu apartemennya yang terbuka.
"Kenapa kau berdiri di situ?" tanya Sorin heran.
Sa-Ya menatapnya dengan cara yang membuat Sorin agak resah.
"Kenapa kau tidak menjawab teleponmu?" laki-laki itu balas bertanya.
"Telepon?" ulang Sorin tidak mengerti. "Aku sudah membalas pesanmu, bukan?"
"Bukan pesan," sela Sa-Ya. "Aku meneleponmu berkali-kali tadi."
"Oh?" Sorin mengerjap, lalu membuka tas yang disandangnya dan mengaduk-aduk isinya. "Sepertinya ponselku tertinggal di rumah. Maaf?"
Semoga saja orangtuaku tidak menelepon malam ini, pikir Sorin. Mereka pasti khawatir dan memikirkan yang terburuk kalau Sorin tidak mengangkat telepon. Sorin mengangkat wajah dan menyadari Sa-Ya masih mengamatinya dengan alis berkerut samar.
"Kenapa menatapku seperti itu? Ada sesuatu di wajahku?" tanya Sorin curiga.
"Masuklah," kata Sa-Ya, mengabaikan pertanyaan Sorin, dan berbalik masuk ke apartemennya.
Sorin mengikutinya dari belakang dan menutup pintu. Melangkah masuk ke apartemen Sa-Ya langsung membuatnya merasa nyaman. Sebenarnya hal itu tidak aneh mengingat selama beberapa minggu terakhir ini Sorin lebih sering menghabiskan waktunya di sini daripada di apartemennya sendiri. Karena itu apartemen Sa-Ya tidak lagi asing baginya. Ia mengenal apartemen itu sebaik ia mengenal apartemennya sendiri. Ia tahu letak semua barang di sana karena selama ini ia yang membersihkan apartemennya itu.
Sorin melepaskan jaket dan menyampirkannya ke sandaran kursi di ruang duduk. Tasnya dijatuhkan di lantai di dekat sana.
"Jadi kenapa kau belum makan?" tanyanya sambil menggulung lengan sweternya.
"Karena seseorang tidak menyiapkan makan malam untukku," sahut Sa-Ya acuh tak acuh. "Memangnya kau pikir aku bisa memasak sendiri dengan tangan seperti ini?"
Sorin menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan.
"Baiklah. Kau mau makan apa?" tanyanya.
Ketika ia hendak berjalan melewati Sa-Ya ke dapur, tangan Laki-laki itu terulur menahan lengannya, membuat Sorin agak terkejut. Sentuhan itu singkat saja. Hanya sentuhan sekilas sebelum Sa-Ya menurunkan tangannya kembali. Tetapi itu sudah cukup untuk membuat Sorin berhenti melangkah dan mendongak menatap laki-laki itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sa-Ya pelan.
Sorin mengerjap. Apakah ia salah dengar? Apakah ia benar- benar mendengar seberkas kekhawatiran dalam suara Sa-Ya Hirano?
"Wajahmu pucat," kata Sa-Ya lagi.
Sorin menelan ludah dan menggeleng. Ia memaksakan seulas senyum dan berkata dengan nada bergurau, "Sa-Ya Hirano mengkhawatirkanku? Ini benar-benar kejadian langka." Ketika ia melihat Sa-Ya tidak membalas senyumannya. Sorin menambahkan,
"Aku baik-baik saja."
Sorin berjalan ke dapur dan Sa-Ya mengikutinya dari belakang. Sorin membuka kulkas untuk melihat apa yang bisa di makan. "Kau mau makan apa?" tanyanya tanpa memandang Sa-Ya.