Walaupun sikap Sa-Ya Hirano pada Sorin membaik, tidak berarti ia mendadak berubah menjadi pangeran berkuda putih. Ketika mereka mampir di toko swalayan untuk membeli persediaan makanan, laki- laki itu tetap bersikap seolah-olah Sorin adalah pesuruhnya.
"Clark, ambil trolinya."
"Clark, tidak bisa cepat sedikit?"
"Ambil itu."
"Bukan yang itu. Tapi yang itu."
"Apakah aku masih punya kopi di rumah?" Dan akhirnya, "Clark, bayar."
Bahkan Sorin yang mengangkut semua barang belanjaan ke mobil. Sa-Ya Hirano tenang-tenang saja. Ia hanya beralasan, "Kau tentu tidak berharap aku bisa membantu dengan tangan seperti ini, bukan?"
Sorin memasukkan barang-barang ke dalam mobil sambil menggerutu dalam hati. Lihat saja nanti. Sorin akan membalas. Untuk makan malam nanti. Sorin akan menambahkan lada banyak-banyak di dalam sup. Atau Sorin akan membuatkan makanan yang tidak bisa dimakan dengan satu tangan. Misalnya steak. Biar laki-laki itu tahu rasa. Atau...
Seolah-olah bisa membaca apa yang sedang dipikirkan Sorin, Sa-Ya tiba-tiba berkata, "Aku ingin makan di luar malam ini."
Sorin yang sedang memasang sabuk pengamannya, menghentikan gerakan dan menatap Sa-Ya. "Apa?"
"Aku ingin makan di luar. Ada restoran yang sudah lama tidak kukunjungi," ulang Sa-Ya. "Di Upper West Side. Nanti kutunjukkan jalannya."
Jadi rencana sup lada itu pun batal. Sorin mendesah pelan dan membelokkan mobilnya ke jalan raya.
Mengikuti arah yang ditunjukkan Sa-Ya, mereka akhirnya tiba di depan sebuah restoran Italia yang ramai dan belum pernah Sorin kunjungi. Sorin mencondongkan tubuhnya ke depan dan membaca papan nama restoran itu. Moratti's. "Di sini tempatnya?" tanyanya agak heran. Ia selalu menduga Sa-Ya Hirano bukan tipe orang yang suka makan di restoran yang penuh sesak.
"Ya, di sini tempatnya," sahut Sa-Ya sambil membuka pintu mobil dan turun.
"Tapi coba lihat itu," gumam Sorin sambil menatap orang-orang yang berdiri di sekitar pinu depan restoran, menunggu meja kosong.
"Restorannya sudah penuh."
"Aku selalu mendapat meja di sini."
"Tapi..."
"Begini, kau boleh menunggu di sini kalau mau," kata Sa-Ya tidak peduli. "Terserah kau saja."
Sorin mengembuskan napas dengan kesal, lalu turun dari mobil dan bergegas menyusul Sa-Ya yang sudah berjalan dengan langkah lebar ke arah pintu restoran. Sa-Ya menyelinap melewati kerumunan orang yang menunggu, mengabaikan tatapan heran dan kesal yang dilemparkan ke arahnya. Sorin menudukkan kepala karena malu, berusaha mengabaikan orang-orang di sekitar mereka, dan melangkah cepat mengikuti Sa-Ya. Sebenarnya apa yang diharapkan laki-laki itu dengan memaksa masuk ke dalam restoran? Memangnya ia berharap bisa mendapatkan meja kosong kalau ia memaksa masuk? Memangnya ia mengenal pemiliknya? Apakah pemiliknya bisa menyediakan meja untuknya pada jam sibuk seperti ini? Memangnya....
Tiba-tiba Sa-Ya berhenti melangkah dan kepala Sorin—yang masih tertunduk—membentur punggungnya. "Aduh! Kenapa tiba- tiba berhenti?"
"Sa-Ya!"
Mendengar seruan ramah itu, Sorin mengangkat wajah dan mengintip dari balik punggung Sa-Ya. Seorang pria bertubuh tinggi besar dan berusia sekitar enam puluh tahun menatap Sa-Ya dengan wajah berseri-seri. Walaupun kumisnya yang lebat hampir menutupi bibirnya, Sorin tahu pria itu sedang tersenyum lebar, karena mata hijaunya berkilat-kilat senang.
"Paolo," Sa-Ya balas menyapa sambil tersenyum.
Pria yang dipanggil Paolo itu dengan segera menghampiri Sa-Ya dengan kedua tangan terentang lebar, seolah-olah ingin memeluk Sa-Ya. Namun tiba-tiba ia berhenti ketika matanya terpaku pada tangan kiri Sa-Ya yang dibebat. "Astaga, Nak, apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan logat Italia yang kental.