Sunshine in New York (2)

68 0 147
                                    

"Apa? Kakakmu seorang pianis?" Sorin Clark menatap In Yeop yang duduk di sampingnya dengan mata terbelalak lebar. "Pianis?"

In Yeop balas menatapnya dan tersenyum tipis, namun Sorin bisa melihat ekspresi cemas di wajah laki-laki itu.

"Ya. Malah dia cukup terkenal" sahut In Yeop pelan.

Sorin merasa sekujur tubuhnya berubah dingin.

"Aku mematahkan tangan seorang pianis terkenal" gumamnya lirih. Lalu ia memejamkan mata dan menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Ya Tuhan."

"Hei, ini bukan kesalahanmu" kata In Yeop sambil memegang bahu Sorin dan mengguncangnya pelan, mencoba menghiburnya.

"Kau juga bukannya sengaja tersandung karpet dan menjatuhkan diri dari tangga untuk mencelakainya."

Sorin menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Ia dan In Yeop sedang duduk di deretan bangku di koridor rumah sakit, menunggu Sa-Ya Hirano yang masih berada di ruang pemeriksaan dokter. Ajaibnya, Sorin sendiri tidak terluka setelah terjatuh dari tangga. Hanya ada sedikit memar di pahanya. Pergelangan kakinya tadi juga hanya terkilir ringan dan sekarang sudah sembuh sama sekali.

Sedangkan Sa-Ya Hirano... Mereka tidak tahu separah apa cedera yang dialami Sa-Ya, tetapi melihat bagaimana laki-laki itu memejamkan mata dan mengertakkan gigi menahan sakit selama perjalanan ke rumah sakit, Sorin sudah mempersiapkan diri menerima yang terburuk. Tetapi, ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Apa yang harus kau lakukan apabila kau mematahkan tangan pianis terkenal?

Yah... Tentu saja hal pertama yang harus kau lakukan adalah meminta maaf. Sorin belum sempat melakukannya tadi. Ya, ia harus meminta maaf setelah itu? Selain meminta maaf, apa lagi yang harus kau lakukan apabila kau mematahkan tangan pianis terkenal? Membayar biaya perawatannya?

Bagaimana kalau Sa-Ya Hirano tidak bisa bermain piano lagi?

Gagasan itu tiba-tiba menyelinap ke dalam benak Sorin dan Sorin pun menegang. Ya Tuhan, semoga hal itu tidak terjadi. Ia pasti merasa sangat berdosa kalau hal itu sampai terjadi.

Sorin kembali menarik napas dalam-dalam dan bau rumah sakit yang dibencinya membuat dadanya terasa berat dan sesak. Telinganya menangkap suara-suara di sekitarnya. Suara para dokter dan perawat yang membahas pasien tertentu dalam istilah kedokteran yang tidak dipahami orang awam, suara bernada monoton yang terdengar dari pengeras suara, dering telepon, bunyi ranjang beroda yang didorong cepat sepanjang koridor, bunyi berdenting ketika pintu lift terbuka. Semua suara itu membuat Sorin semakin tertekan. Ia ingin segera keluar dari sini. Ia ingin...

Tiba-tiba In Yeop melompat berdiri di sampingnya. Sorin mendongak dan melihat Sa-Ya Hirano keluar dari ruang pemeriksaan bersama seorang dokter tua. Sepertinya sang dokter sedang mengatakan sesuatu dan Sa-Ya Hirano mendengarkan sambil mengangguk muram. Mata Sorin berahli ke tangan Sa-Ya Hirano. Tangan kirinya dibebat dan tergantung kaku di depan dadanya.

Jadi... tangannya benar-benar patah?

"Bagaimana tanganmu? Apa kata dokter?" In Yeop bertanya ketika Sa-Ya Hirano sudah selesai bicara dengan dokter dan menghampiri mereka.

Sorin ikut berdiri dengan perlahan. Saat itu juga mata Sa-Ya Hirano berahli ke arahnya dan Sorin merasa jantungnya berhenti sejenak dan napasnya tercekat. Mata hitam yang menatapnya dengan dingin itu membuat Sorin berharap bumi menelannya detik itu juga. Seandainya tatapan bisa membunuh, Sorin pasti sudah terkapar tak bernyawa.

Kemudian tatapan mematikan itu berahli ke arah In Yeop.

"Kenapa dia masih ada di sini?" tanya Sa-Ya Hirano dengan suara rendah dan pelan.

Season Of LoveWhere stories live. Discover now