Sa-Ya menunggu reaksi Sorin.. Yah, sebenarnya ia memang tidak pernah berpikir tentang pernikahan atau ingin menikah sebelum ini, tetapi sekarang, setelah mengenal gadis yang duduk diam di sampingnya ini, ia mulai merasa menikah bukanlah sesuatu yang mengerikan. Gagasan itu membuat Sa-Ya tertegun. Astaga, sepertinya ia benar-benar sudah tak tertolong lagi.
Ia mengamati rona merah samar yang menjalari pipi Sorin yang pucat sementara gadis itu menekan salah satu tuts piano dengan jari telunjuknya. Kemudian Sorin menengadah dan menatap Sa-Ya sambil tersenyum. "Teknisnya, kau juga harus memanggil nama depanku kalau aku menikah dengan In Yeop," katanya.
"Wow, berhenti," sela Sa-Ya cepat dan menatap Sorin dengan kening berkerut. "Katakan padaku kau tidak serius."
Sorin tertawa. "Memangnya kenapa? Kata-kataku benar, bukan?"
"Aku menolak menjawabnya karena aku menolak memikirkan kemungkinan itu."
Setelah tawa Sorin mereda, Sorin berkata, "Mainkan satu lagu lagi."
"Kurasa sebaiknya kau beristirahat sekarang," kata Sa-Ya. "Aku berjanji akan memainkan satu lagu untukmu besok pagi sementara kau menghias pohon Natal-mu."
Mendengar kata "pohon Natal" mata Sorin berkilat-kilat senang. "Ah, benar. Mereka akan mengantar pohon Natal-nya ke sini besok pagi."
Melihat gadis itu gembira, Sa-Ya juga merasa gembira. "Pergilah," katanya, "biar aku yang membereskan mejanya."
Sorin mengangguk dan berdiri dari bangku piano. Namun ia baru berjalan beberapa langkah ketika berhenti dan berbalik kembali menatap Sa-Ya. "Oh ya, Sa-Ya, apakah hari ini kau akan melanjutkan dongengmu waktu itu?" tanyanya.
"Dongeng? Dongeng apa?" tanya Sa-Ya tidak mengerti.
"Tentang pangeran dan gadis desa."
"Ah, dongeng itu," gumam Sa-Ya ketika ia teringat pada dongeng yang diceritakannya kepada gadis itu minggu lalu. "Apakah aku bisa mendengar kelanjutannya hari ini?"
"Sampai di mana ceritaku waktu itu?"
"Sampai gadis desa dibawa ke istana untuk dijadikan pelayan pribadi sang pangeran."
Sa-Ya berpikir sejenak, lalu berkata, "Tapi aku belum tahu bagaimana akhir ceritanya."
Sorin mengangkat alis dengan heran. "Kenapa begitu?"
"Kau lihat," kata Sa-Ya sambil memutar tubuhnya sehingga ia duduk menghadap Sorin, "ketika si gadis desa mulai menjadi pelayan pribadi sang pangeran, pada awalnya sang pangeran sama sekali tidak ingin berurusan dengannya. Dia menganggap gadis itu adalah malaikat kegelapan yang akan mematahkan kakinya yang satu lagi, bahkan kedua tangannya, kalau gadis itu terus berada di dekatnya."
Sa-Ya melihat raut wajah Sorin berubah, namun gadis itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya memiringkan kepalanya sedikit, menunggu Sa-Ya melanjutkan kata-katanya.
Dan Sa-Ya pun melanjutkan, "Tapi perlahan-lahan sang pangeran mulai terbiasa dengan keberadaan gadis desa itu. Awalnya dia merasa gadis itu teman bicara yang menyenangkan, lalu dia mulai menyadari dia suka melihat gadis itu tersenyum dan tertawa, dia mulai berharap dirinya bisa selalu membuat gadis itu tersenyum dan tertawa, dia mulai meletakkan kepentingan gadis itu di atas kepentingannya sendiri, dia mulai berharap gadis itu akan tetap berada di sisinya, dan dia mulai berharap gadis itu juga merasakan apa yang dirasakannya."
Sa-Ya melihat berbagai emosi berkelebat dalam mata hitam gadis itu, namun ia tidak bisa mengartikannya. Sa-Ya merasa jantungnya sendiri berdebar keras dan ia tidak pernah merasa segugup ini. Tetapi ia harus melakukannya. Ia harus mengatakannya. Ia tidak mungkin mundur lagi setelah melangkah sejauh ini. Jadi ia pun menatap mata Sorin lurus-lurus dan berkata, "Karena sang pangeran jatuh cinta pada gadis desa itu."