Sorin mengunci pintu mobilnya dan melilitkan syal merah di sekeliling lehernya rapat-rapat. Sebenarnya jarak dari tempat mobilnya diparkir dan pintu depan gedung apartemen Sa-Ya tidak terlalu jauh, tetapi suhu udara pagi ini turun drastis dan mengharuskannya mengenakan syal. Sorin mendapati dirinya masih menggigil walaupun sudah mengenakan pakaian tebal. Ia jadi bertanya-tanya apakah New York akan dihadiahi salju tepat di Hari Natal.
"Sorin! Sorin Clark!"
Sorin menoleh ke arah suara penuh semangat itu dan melihat Shawn Mendess sedang turun dari mobilnya di seberang jalan. Shawn mengunci pintu mobilnya dan berlari-lari kecil ke arah Sorin.
"Pagi, Shawn. Apa kabar?" sapa Sorin dari balik syal tebalnya. Shawn berhenti dihadapan Sorin dan tersenyum lebar, menunjukkan barisan giginya yang putih cemerlang. "Kau sudah berbaikan dengan Sa-Ya, bukan?" tanyanya gembira.
Sorin mendongak menatap wajah Shawn dengan tatapan bertanya. Apakah Sa-Ya memberitahu Shawn tentang pertengkaran mereka?
Seolah-olah bisa membaca pikiran Sorin, Shawn berkata, "Aku tidak tahu apa yang dilakukannya sampai membuatmu marah dan menghindarinya, tapi aku sangat, sangat senang kau bersedia memaafkan temanku yang merepotkan itu. Kau sudah menyelamatkan dunia, Sorin Clark. Sadarilah itu."
Alis Sorin berkerut tidak mengerti. "Aku tidak mengerti apa maksudmu. Sungguh."
Shawn menyelipkan lengannya ke lekukan siku Sorin dan menariknya berjalan ke arah gedung apartemen Sa-Ya. "Apakah kau tahu dia bersikap seperti orang brengsek selama kau menghindarinya?" Melihat Sorin yang menatapnya dengan mata disipitkan, Shawn melanjutkan, "Sungguh! Dia seperti orang tidak waras yang pemarah. Kau boleh bertanya pada In Yeop atau ayahnya kalau tidak percaya. Dia benar-benar menjadi mimpi buruk semua orang. Tapi setelah dia menemuimu kemarin malam, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Jadi, Sorin, tolong jangan menghindarinya lagi."
Mereka tiba di pintu depan gedung. Shawn baru hendak menekan bel apartemen Sa-Ya ketika Sorin menghentikannya dan mengeluarkan kunci dari tas. Alis Shawn terangkat heran melihat Sorin membuka pintu dengan kunci itu.
"Dia memberimu kunci apartemennya?" tanya Shawn dengan nada tidak percaya dan melangkah masuk mengikuti Sorin.
Sorin mengangguk, membiarkan pintu menutup dan terkunci dengan sendirinya di belakangnya. "Karena aku datang ke sini setiap hari. Dia tidak mau repot-repot membukakan pintu setiap kali aku datang," jelas Sorin.
Ketika sudah berada dalam lift yang membawa mereka ke lantai empat, Shawn berbalik dan menatap Sorin dengan heran. "Astaga, kau membuatnya bertekuk lutut, bukan?"
"Apa lagi yang kau bicarakan?" gerutu Sorin pelan, mengabaikan kata-kata Shawn. "Aku tidak membuat siapa pun bertekuk lutut."
Kali ini seulas senyum lebar tersungging di bibir Shawn. "Ah, tapi aku tahu benar kau membuat In Yeop bertekut lutut. Dan kurasa kau juga sudah tahu itu."
Sorin mendesah pelan. "In Yeop dan aku hanya berteman."
"Aduh," kata Shawn pura-pura kecewa. "Kau menolak In Yeop rupanya. Dia menyatakan perasaannya padamu dan kau menolaknya. Kasihan dia. Kuharap keadaannya baik-baik saja."
Sorin melemparkan tatapan tajam kepada Shawn. "In Yeop baik-baik saja, jadi kau tidak perlu bersikap dramatis begitu," sahutnya. Lalu ia menggerutu pelan, "Aku tidak menyangka laki-laki ternyata suka bergosip."
"Kami tidak bergosip. Kami berdiskusi," koreksi Shawn sambil mengedipkan mata.
Lift yang mereka tumpangi berdenting sekali sebelum pintu terbuka dan mereka melangkah keluar.
"Aku yakin kau juga berhasil membuat Sa-Ya bertekuk lutut, kau tahu?" lanjut Shawn sambil berpikir-pikir sendiri.
"Walaupun harus kuakui, aku sulit membayangkan Sa-Ya bertekuk lutut di hadapan wanita."