Sunshine in New York (19)

58 0 143
                                    

"Jadi mereka akan mengantar pohon kita ke apartemenmu besok pagi?" tanya Sorin ketika mereka sudah masuk kembali ke dalam mobil setelah memilih pohon Natal yang mereka sukai.

"Ya," sahut Sa-Ya sambil menyalakan mesin mobil, "jadi kau bisa mulai menghiasnya besok pagi."

"Dan kau akan membantuku menghias pohon itu, Sa-Ya Hirano."

"Oh, astaga," erang Sa-Ya walaupun Sorin tahu laki-laki itu tidak benar-benar keberatan membantu. "Yah, kita lihat saja besok."

Sorin tertawa kecil dan memalingkan wajah ke luar jendela yang buram karena hujan. Hujan mulai mereda menjadi gerimis yang tidak pernah gagal membuat Sorin merasa nyaman. Ia suka hujan. Ia suka memandangi hujan dari balik jendela dengan secangkir cokelat panas ditangannya. Memandangi hujan menenangkan jiwanya.

Sama seperti menghabiskan waktu bersama Sa-Ya. Sorin menggigit bibir dan melirik laki-laki yang sedang mengemudi di sampingnya. Menghabiskan waktu bersama Sa-Ya juga selalu membuatnya merasa... tenang? Damai? Sorin tidak bisa memikirkan kata yang bisa menggambarkan perasaannya. Pokoknya apa pun yang dirasakannya setiap kali bersama Sa-Ya membuatnya bisa bernapas lebih lega, membuatnya seolah-olah bisa memejamkan mata dan beristirahat sejenak tanpa perlu mencemaskan apa pun. Seperti itulah.

"Apakah sekarang kita pergi ke toko kue yang kau sebut-sebut tadi?" tanya Sa-Ya tiba-tiba sambil melirik jam tangannya.

"Hm?" Sorin mengerjap.

Sa-Ya menoleh menatapnya, tersenyum, lalu kembali menatap jalanan di depan. "Bukankah tadi kau bilang kau mau membeli kue untuk Eleanor?" tanya Sa-Ya lagi.

"Ya. Kalau begitu sekarang kita akan ke toko kue yang membuat tartlet paling enak di seluruh penjuru New York."

Dua puluh menit kemudian mereka berhenti di depan toko kecil bergaya Prancis di Madison Avenue. Pada papan nama di atas pintu masuk toko itu tertulis A Piece of Cake dalam tulisan berukir yang memberikan kesan antik.

"Ini tempatnya?" tanya Sa-Ya kepada Sorin ketika mereka sudah keluar dari mobil lalu ia berdiri di depan toko dan mengintip ke dalam dari jendela.

Sorin mengangguk. "Ya, aku dan ibuku sering membeli kue di sini. Ayo masuk."

Sa-Ya masih terlihat ragu. "Clark, aku tidak tahu apakah aku mau masuk ke dalam."

Sorin yang sudah berdiri di pintu depan toko, menoleh dan menatap Sa-Ya dengan alis terangkat heran. "Kenapa?"

"Toko ini terlalu manis untuk dimasuki laki-laki," gumam

Sa-Ya dengan kening berkerut. "Apakah kau tak berpikir begitu? Coba lihat, toko ini didominasi warna ungu pucat."

Sorin tertawa. "Astaga, kau ini konyol sekali. Tidak, aku tidak berpikir toko ini terlalu 'manis' bagi laki-laki. Bersyukurlah mereka tidak mengecat toko mereka dengan warna merah muda. Sekarang berhentilah mengeluh dan masuk."

Sa-Ya masih tidak bergerak dari tempatnya. Sorin mendesah dan melangkah menghampiri Sa-Ya. "Oh, ayolah, Sa-Ya. Jangan merajuk di sini. Sekarang masih gerimis dan di sini dingin sekali," katanya sambil menyelipkan tangannya di lekukan siku Sa-Ya dan menariknya ke arah toko. "Kau boleh meneruskan rajukanmu di dalam. Bagaimana?"

Sorin membiarkan tangannya meluncur dari lekukan siku Sa-Ya ke arah pergelangan tangannya dan meraih lengan jaketnya, berusaha menarik laki -laki keras kepala itu. Sepertinya usahanya berhasil karena Sa-Ya mendesah tanda menyerah dan membiarkan Sorin menariknya ke pintu toko. Namun tiba-tiba Sa-Ya memutar pergelangan tangannya dan menggenggam tangan Sorin.

Sorin yakin jantungnya berhenti berdetak beberapa detik ketika tangan Sa-Ya menyentuh tangannya. Apakah tadi ia sempat mengeluh dingin? Aneh, karena sekarang ia merasa hangat. Ia mendongak menatap Sa-Ya yang tidak menunjukan ekspresi apa-apa.

Season Of LoveWhere stories live. Discover now