Sunshine in New York (15)

48 0 171
                                    

"Jadi selama ini kau menyimpan obat-obatanmu di sana?" tanya Sa-Ya sambil menyandarkan sebelah bahunya ke pintu kulkas. Saat itu mereka sudah berada di apartemennya dan Sa-Ya mengamati Sorin mengeluarkan kantong platik bening berisi obat- obatannya dari salah satu lemari di dapur. Keadaan Sorin sudah jauh lebih baik ketika mereka tiba di apartemen Sa-Ya. Walaupun wajahnya masih pucat pasi, gadis itu sudah bisa berdiri tegak dan berjalan tanpa perlu dipapah.

"Sudah kubilang aku sudah merasa sehat," gerutu Sorin sambil memilah-milah obatnya di atas meja dapur. "Aku tidak perlu dijaga." Sa-Ya menyilangkan lengan di depan dada. "Aku tidak mau berdebat denganmu soal itu lagi," katanya tegas. "Kau tidak akan pergi ke mana-mana malam ini. Kau bisa tidur di kamar tamu."

Sorin menelan obatnya satu per satu, lalu melotot kepada Sa-Ya yang membalasnya dengan senyum lebar. Kalau gadis itu sudah bisa merasa gusar padanya, itu tanda bagus. Setidaknya itu berarti ia sudah merasa cukup sehat untuk marah-marah.

"Omong-omong," kata Sa-Ya sambil mengamati gaun Sorin dengan alis berkerut, "apakah kau juga menyimpan pakaian di sini?"

"Apa? Tidak. Memangnya kenapa?"

Sa-Ya mengangkat bahu. "Kau terlihat mengagumkan, Clark, percayalah padaku, tapi kau tidak mungkin merasa nyaman tidur dengan gaun itu," katanya.

Sorin menunduk menatap gaunnya. "Oh," gumamnya datar.

"Jangan khawatir. Ikut aku," kata Sa-Ya sambil berbalik dan berjalan menyusuri koridor ke arah kamar tidurnya. Sorin ragu sejenak sebelum beranjak dari tempatnya berdiri dan menyusul Sa-Ya.

Sa-Ya membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan langsung berderap menghampiri lemari di sisi ruangan. Ia membuka pintu lemari dan mengamati isinya sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan sweter putih dengan tulisan I ♥ NY di bagian depan dan sehelai handuk bersih.

"Pakai ini," katanya sambil menjejalkan sweter dan handuk itu ke tangan Sorin. "Sweter ini pasti jauh lebih nyaman dari pada gaun yang kau kenakan sekarang."

Sorin menunduk menatap sweter di tangannya dan tidak tahu harus berkata apa.

Sa-Ya menatap Sorin sejenak, lalu tersenyum kecil dan bertanya, "Kau butuh bantuan?"

Sorin mengangkat wajah dan menatap Sa-Ya dengan alis terangkat, lalu menunduk lagi menatap sweter di tangannya dan gaun hijau yang masih melekat di tubuhnya. Kemudian ia kembali menatap Sa-Ya sambil mengeluarkan suara yang setengah mendengus setengah tertawa. "tidak usah, terima kasih banyak. Aku sudah merasa cukup sehat untuk berganti pakaian sendiri." katanya sambil berbalik dan berjalan keluar dari kamar Sa-Ya ke kamar tamu.

*****

Sorin mendesah menatap bayangan dirinya di cermin panjang yang tergantung di kamar tamu. Ia sudah berganti pakaian dan sekarang mengenakan sweter Sa-Ya yang panjangnya mencapai lututnya. Ia merentangkan kedua lengan ke samping dan tersenyum kecil melihat dirinya yang seolah-olah tenggelam dalam sweter itu. Perlahan-lahan senyumnya memudar. Sweter itu juga membuatnya terlihat jauh lebih kurus dan mengingatkannya bahwa berat badannya memang menurun akhir-akhir ini.

Sorin menyentuh pipinya yang pucat dan mendesah sekali lagi. Ia tahu ia harus menjelaskan keadaannya kepada Sa-Ya Hirano. Laki- laki itu pasti membutuhkan penjelasan setelah melihat Sorin dalam kondisi seperti tadi. Sorin memiringkan kepalanya dan bertanya-tanya bagaimana perasaan Sa-Ya ketika melihatnya kesakitan seperti itu. Takut? Panik? Suara laki-laki itu pada awalnya memang terdengar panik, tetapi kemudian, ketika ia merangkul Sorin dan membiarkan Sorin bersandar di tubuhnya, nada suaranya terdengar terkendali. Saat itu Sorin terlalu kesakitan untuk mendengar apa yang dikatakan Sa-Ya, tetapi suaranya yang rendah dan menenangkan berhasil meredakan ketegangan yang dirasakan Sorin.

Season Of LoveWhere stories live. Discover now