Sunshine in New York (23)

107 0 280
                                    

Sepuluh menit berlalu dan Sa-Ya masih belum kembali. Sorin mulai bertanya-tanya apa yang dilakukan Sa-Ya. Tetapi tepat saat itu pintu terbuka dan Sa-Ya masuk sambil mendorong kursi roda.

"Sa-Ya, kau dari mana saja?" tanya Sorin langsung. "Dan kenapa kau membawa kursi roda?"

Sa-Ya tersenyum lebar. "Tadi aku bertanya kepada perawat apakah ada piano di rumah sakit ini. Katanya ada satu piano tua di ruang bermain bangsal anak," jelasnya. Lalu ia menepuk pegangan kursi roda ini untukmu. Ayo, duduklah di sini dan aku akan membawamu ke bangsal anak."

Sorin menatap kursi roda itu dengan alis terangkat."Atau kau lebih suka aku menggendongmu ke sana?" pancing Sa-Ya.

"Sepertinya kursi roda lebih aman."

Sa-Ya menyipitkan mata. "Aku tahu kau berbohong," katanya dan terkekeh pelan, "tapi tidak apa-apa. Ayo kita pergi."

Mereka akhirnya tiba di ruang bermain bangsal anak di lantai enam setelah menanyakan arahnya kepada dua perawat. Tidak ada seorang pun di ruang bermain pagi ini. Sa-Ya mendorong Sorin dan kursi rodanya ke arah piano berwarna hitam di salah satu sisi ruangan. Setelah menempatkan kursi roda Sorin di samping bangku piano, Sa-Ya pun membuka tutup piano dan melarikan jemarinya di atas deretan tuts piano.

"Hm, masih cukup bagus," gumamnya, lebih pada diri sendiri.Lalu ia menoleh kepada Sorin. "Oke, siap?"

Sorin merapatkan selimut di sekeliling tubuhnya dan mengangguk. Lalu kesepuluh jari Sa-Ya yang ramping mulai bergerak di atas tuts-tuts piano dan alunan yang indah pun mulai terdengar. Sorin memejamkan mata dan kembali membayangkan sinar matahari, padang rumput hijau di bawah langit biru yang luas, rumput-rumput yang bergoyang ditiup angin, dan musim semi.

Mendengar bunyi gemerisik samar di belakangnya, Sorin membuka mata dan menoleh. Matanya melebar melihat orang-orang yang bergerombol di ambang pintu dan berdiri di luar jendela, berusaha melihat ke ruang bermain itu melalui kaca jendela. Lalu bibirnya melengkung membentuk senyum lebar saat melihat rombongan kecil penonton Sa-Ya, yang terdiri atas enam perawat, tiga dokter, beberapa pasangan orangtua bersama anak-anak mereka, terlihat tidak bisa melepaskan pandangan kagum dari sosok Sa-Ya yang sedang bermain piano. Para wanita bahkan mendesah senang dan menempelkan tangan mereka ke dada selama mereka mendengarkan permainan Sa-Ya.

Sama seperti Sorin.

Di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya, tangan kanannya juga terangkat ke dada. Sama seperti waktu itu, lagu ini seolah-olah menyusup ke dalam dadanya, menyelinap ke dalam jiwanya, dan mengendap di sana. Lagu ini memenuhi dada Sorin dengan harapan dan kebahagiaan. Dan Sorin ingin mempertahankan perasaan ini selama mungkin di dalam dadanya.

Ketika lagu itu berakhir, Sorin dan orang-orang yang menonton dari luar ruangan bertepuk tangan. Sa-Ya terkejut ketika melihat ia telah mengumpulkan serombongan kecil penonton. Ia berdiri dan membungkuk ke arah penonton dengan resmi.

"Kau membuat mereka terpesona," kata Sorin ketika para penonton sudah menghilang dari ambang pintu.

"Benarkah?" gumam Sa-Ya sambil menatap Sorin. "Padahal aku hanya ingin menawan hati satu orang." Sorin tidak berkomentar. Ia mengalihkan pandangannya dan menunduk menatap tuts piano. Jari telunjuknya menekan salah satu nada dengan kikuk. "Terima kasih karena sudah memainkannya untukku," katanya.

Sa-Ya merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik kertas biru dan menyodorkannya kepada Sorin. Alis Sorin terangkat melihat Voucher Permintaan kepada Sorin Clark di depan hidungnya. "Apa?"

"Untuk berterima kasih padaku, aku ingin kau mengabulkan satu permintaanku," kata Sa-Ya ringan. Sorin tertawa dan menerima voucher itu. "Apa permintaanmu?"

Season Of LoveWhere stories live. Discover now