Sunshine in New York (4)

28 0 107
                                    

Bunyi  samar piring-piring yang berdenting membuat Sorin terjaga. Matanya terbuka dan ia memandang ke sekeliling kamarnya yang gelap. Ia menjulurkan tangan ke meja kecil di samping tempat tidur dan meraih beker. Hampir jam enam. Berarti ia hanya sempat tidur tiga jam. Malah tidak sampai tiga jam.

Sorin turun dari ranjang dan berjalan ke arah jendela. Ia menyibak tirai tebal dan memandang langit yang masih gelap.

Sudah seminggu terakhir ini ia tidak bisa tidur. Ia lelah, tetapi tidak bisa tidur. Lalu kemarin ia berpikir mungkin sebaiknya ia menginap di rumah orangtuanya di Huntington. Ia berpikir pasti bisa menenangkan pikiran sejenak di rumah tempatnya dibesarkan, di dekat orangtuanya. Tetapi ternyata hasilnya sama saja. Ia tetap tidak bisa tidur nyenyak dan bunyi sekecil apa pun langsung membuatnya terjaga.

Apakah ini wajar?

Apakah insomnia ini akan berlangsung terus? Apakah ia harus minum obat tidur?

Ia menarik napas dan merasa dadanya sesak.

Bunyi samar yang menandakan kegiatan di dapur lantai bawah membuat Sorin tenang. Ibunya pasti sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur, seperti yang dilakukannya setiap hari  . Sebentar lagi ayahnya akan bangun dan bergabung dengan ibunya di dapur untuk sarapan bersama. Ayah dan ibunya sarapan dan makan malam bersama setiap hari. Ketika ia masih tinggal di sini bersama orangtuanya, Sorin juga selalu melakukan hal yang sama. Acara makan bersama itu selalu menyenangkan karena mereka membicarakan hal-hal menarik.

Sorin tersenyum kecil. Sebaiknya ia segera turun kalau ia ingin sarapan bersama orangtuanya.

*****

Sorin sedang membantu ibunya menyiapkan sarapan ketika ayahnya muncul di dapur.

"Halo, Princess, kau tidur nyenyak semalam?" tanya ayahnya sambil mengecup puncak kepala Sorin.

"Pagi, Dad," kata Sorin sambil tersenyum lebar. "Tidurku nyenyak sekali." Berbohong sedikit demi kebaikan tidak ada salahnya, pikir Sorin. Ia tidak ingin menambah kecemasan orangtuanya.

Ayahnya menangkup pipi Sorin dan mengamatinya dengan saksama. "Matamu agak bengkak," gumam ayahnya dengan alis berkerut samar. "Bagaimana perasaanmu pagi ini?"

"Oh, Dad," erang Sorin, tetapi senyum masih tersungging di bibirnya, "aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Dan mataku akan kukompres dengan mentimun nanti. Oke?"

"Kau tahu ayahmu sangat protektif," kata ibunya sambil meletakkan sepiring sandwich buatan sendiri di atas meja bundar di tengah-tengah dapur.

"Aku tahu," sahut Sorin. "Dan itu karena Dad menyayangiku." Ayah menepuk pipi Sorin. "Benar sekali, Princess."

"Sayang, kau tentu tahu kami ingin kau kembali tinggal di sini bersama kami, bukan?" tanya ibunya.

Sorin meremas tangan ibunya dan tersenyum menenangkan. "Aku baik-baik saja, Mom. Sungguh. Percayalah padaku. Aku akan menelpon kalian kalau ada apa-apa."

Ibunya mendesah dan mengangguk. "Baiklah. Kau akan baik- baik saja. Semuanya akan baik-baik saja. Ayo, kita makan."

Sorin meraih sepotong sandwich dan menggigitnya. "Mm, sandwich ini enak sekali."

"Kau mau membawa beberapa potong untuk... siapa nama temanmu itu?" tanya ibunya sambil berpikir-pikir.

"Teman yang mana?" Sorin balas bertanya. "Teman-teman di Small Steps?"

"Temanmu yang tangannya terkilir."

Sorin nyaris tersedak. "Maksud Mom, Sa-Ya Hirano?"

Sorin memang sudah bercerita kepada orangtuanya tentang Sa-Ya Hirano, tentang kecelakaan yang menyebabkan tangan kiri laki- laki itu harus dibebat, juga tentang Sorin yang membantunya karena Sorin-lah yang menyebabkan kecelakaan itu, walaupun tidak disengaja. Yah, tentu saja Sorin tidak bercerita tentang sikap buruk Sa-Ya Hirano dan kenyataan bahwa laki-laki itu membencinya. Orangtuanya tidak perlu tahu soal itu. Ayahnya pasti ngamuk kalau tahu putri semata wayangnya diperlakukan seperti pesuruh oleh Sa-Ya Hirano.

Season Of LoveWhere stories live. Discover now