Sorin keluar dari lift dan alisnya terangkat heran melihat Sa-Ya Hirano berdiri di depan pintu apartemennya yang tertutup. "Kenapa kau berdiri di situ?" tanya Sorin heran.
"Aku baru saja mau meneleponmu," kata Sa-Ya tanpa menjawab pertanyaan Sorin.
"Oh, ya? Ada apa?"
Namun Sa-Ya lagi-lagi tidak menjawab pertanyaannya. Laki- laki itu menatap wajah Sorin dengan kening berkerut samar, lalu berkata, "Kau masih terlihat agak pucat. Bagaimana keadaanmu pagi ini?"
Sorin mengerjap dan berdeham. "Aku sudah sehat," sahutnya.
Tanpa sadar ia mundur selangkah, tidak ingin Sa-Ya mengulurkan tangan dan meraba keningnya seperti kemarin, karena tindakan laki- laki itu tidak berakibat baik bagi jantungnya. Sungguh. "Jadi kenapa kau ingin meneleponku?" tanya Sorin.
"Untuk menyuruhmu tidak usah datang hari ini," sahut Sa-Ya ringan.
"Oh? Memangnya kenapa?" Sorin melirik pintu apartemen yang tertutup dengan curiga. Apakah ada wanita..? Matanya kembali mengamati Sa-Ya dari atas ke bawah. Penampilannya berantakan, sepertinya baru bangun tidur. Apakah...?
Suara Sa-Ya menyela jalan pikiran Sorin. "Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi kuyakinkan padamu bahwa alasannya bukan apa pun yang kau pikirkan itu."
Sorin tidak bisa menahan senyum mendengar nada tersinggung dalam suara Sa-Ya. "Jadi apa alasannya?"
Sebelum Sa-Ya sempat menjawab, pintu apartemen terbuka di belakangnya dan Sorin melihat seorang wanita cantik berusia setengah baya dan bertubuh kecil ramping berdiri di ambang pintu. "Sa-Ya, sedang apa... Oh." Mata wanita itu melebar melihat Sorin. Lalu ia tersenyum ramah dan bertanya, "Apakah kau teman In Yeop yang sudah membantu Sa-Ya?"
"Ya?" Sorin mengerjap tidak mengerti, lalu menatap Sa-Ya.
Sa-Ya mendesah pelan dan tersenyum kecil. "Inilah alasannya," gumamnya pelan. Lalu ia berkata dengan suara lebih keras, "Clark, ini ibuku. Mom, ini Sorin Clark."
Sorin langsung memasang senyum dan mengulurkan tangan ke arah ibu Sa-Ya. "Halo, Mrs. Hirano."
Senyum ibu Sa-Ya mengembang dan ia menjabat tangan Sorin sambil berkata. "Jadi kau orangnya. Senang bertemu denganmu."
Sorin masih tidak mengerti apa yang dimaksud wanita itu, tetapi ia tersenyum saja.
"Tadi aku ingin meneleponmu untuk memberitahu bahwa kau tidak perlu datang hari ini karena ibuku ada di sini dan ibuku memaksa membuatkan sarapan untukku," Sa-Ya menjelaskan.
Sorin mengangguk-angguk. "Oh, begitu."
"Tapi karena kau sudah ada di sini, kita bisa sarapan bersama," ajak ibu Sa-Ya.
Sorin menatap Sa-Ya, lalu kembali menatap wanita berwajah ramah dihadapannya. "Tapi aku tidak ingin mengganggu..."
Ibu Sa-Ya mengibaskan sebelah tangan. "Tidak menggangu sama sekali," selanya. "Lagi pula, aku ingin berterima kasih padamu karena sudah membantu anakku. Ayo, masuk."
Tanpa menunggu jawaban Sorin, ibu Sa-Ya sudah berbalik dan masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Sorin dan Sa-Ya di sana.
"Aku..." Sorin menatap Sa-Ya dengan bingung, meminta pendapat.
Akhirnya Sa-Ya mendesah dan menggerakkan kepalanya ke arah pintu. "Masuklah. Sebaiknya kau menyapa ayahku juga sebelumnya dia ikut keluar ke sini."
"Ayahmu juga ada di sini?" tanya Sorin dan ia berhenti melangkah. Ia mendongak menatap Sa-Ya dengan ragu. "Apakah aku mengganggu acara keluarga?"
"Tidak," sahut Sa-Ya. Ia meraih pergelangan tangan Sorin dan menariknya, tidak mendengar Sorin yang terkesiap pelan ketika tangan Sa-Ya menyentuh tangannya. "Mereka baru tiba dari Tokyo dan mereka hanya ingin melihat keadaanku. Tidak ada acara resmi."