6. Matcha Latte

40 9 0
                                    

Tiga malam yang lalu, aku membatin. Ini pasti soal kejadian tiga malam yang lalu.

"Aku," Ash menelan ludah dengan gugup, "tidak tahu apa yang kau alami, dan aku tidak bermaksud ikut campur. Namun seperti yang telah kukatakan, kau seorang Estellion. Meski tak pernah dilatih, auramu tetap berkobar karena luapan emosimu. Ketika kita bertemu, auramu sangat kental."

Tiada niat dariku untuk menyela. Pemuda di hadapanku menarik napas panjang. Punggungnya tegak dan wajahnya tak berpaling sedetik pun dariku.

"Sepertinya, sudah sejak lama kau memendam emosi jika dilihat dari lapisan auramu. Tindakanmu saat kita bertemu pastilah tindakan impulsif hasil dari kesedihanmu yang membukit."

Ash menarik napas lagi. "Ada banyak jenis monster di dunia ini. Salah satunya hidup sebagai parasit yang menempel pada orang-orang yang punya aura tak stabil dan dipengaruhi kuat oleh emosi negatif. Aku mengejar monster-monster itu. Malam ketika aku mendeteksi keberadaan mereka adalah malam kita bertemu. Ada beberapa monster yang mengelilingimu. Mereka tertarik padamu. Kau pasti tidak sadar tapi aku melihat auramu. Jelas."

Aku menatap mata Ash dalam-dalam, berharap kedua telaga karamel itu dapat kuselami hingga ke dasar untuk menemukan kebenaran di balik kata-katanya. Namun, separuh diriku mengatakan bahwa itu tidak perlu.

"Aku menangkapmu untuk menangkap si monster. Kita berkenalan, tapi kita tidak bertemu lagi sampai hari ini. Aku harap kau masih menyimpan jaketku."

Ash mendengus geli sambil menunduk, namun kemudian melanjutkan dengan serius. "Dan aku ingin mengakui bahwa pertemuan kita sangat berkesan. Kau dan auramu adalah fenomena langka yang ironis sekaligus memesona. Jadi, kuceritakan pertemuan kita pada timku."

"Aku dan timku sedang dalam misi. Monster-monster yang kuceritakan itu lepas dari segel mereka. Kami sedang berusaha menyegel mereka kembali. Menangkap monster jenis ini sama seperti memancing ikan, akan jauh lebih mudah jika kami punya sesuatu yang bisa menarik perhatian mereka."

Kata-katanya penuh kehati-hatian. Aku terkekeh dalam hati. Ash, sungguh, kau tidak perlu berhati-hati.

"Kau ingin aku jadi umpan?"

Wajah Ash membeku sesaat. Sepertinya, ia tak menduga konfrontasiku ini. "Kami membutuhkanmu."

Selalu ada yang dibutuhkan dari orang asing yang tiba-tiba menemuimu.

"Kami berencana membuat kesepakatan denganmu. Ini akan menjadi sebuah kerja sama."

Dari seorang perayu wanita sampai agen bisnis. Pemuda ini bisa melakukan apa pun.

Aku menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu apakah aku harus percaya padamu atau tidak. Semua yang kau katakan—"

Ash mengangguk cepat. "Aku paham. Kau tidak perlu memutuskan sekarang."

"Benar." Aku menyahut. "Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini."

Ash mengangguk dengan lebih cepat, menunduk pada pangkuannya, lalu alisnya terangkat dan ia kembali menatap wajahku. "Tunggu di sini." Ia bangkit, lalu berjalan ke balik bar.

Matahari sudah tenggelam seutuhnya. Balkon ini terasa lengang dan gelap. Tapi kemudian, lampu-lampu bohlam gantung menyala dan suasana berubah hangat. Ash datang dengan dua gelas berisi air. Ia meletakkannya di meja, lalu bertanya, "Kau mau minum apa?"

Aku melongok ke dalam gelas. "Kau sudah menyajikanku air."

Ash menggeleng. "Katakan saja."

Aku menatap Ash heran. Pemuda itu mengedip penuh percaya diri.

"Kalau begitu," ujarku, "Matcha latte."

Ash berdeham percaya diri. Ia memegang gelas. Air di dasar gelas mulai berubah warna menjadi hijau muda. Mulutku terbuka dan punggungku condong ke meja. Air di gelas berubah seutuhnya menjadi cairan hijau berbuih tipis. Aku menarik gelas itu mendekat, mengendus aromanya. Matcha.

Ash meletakkan sebelah tangannya di dada, lalu membungkuk sedikit. "Selamat menikmati."

Dengan ragu-ragu, bibirku mendekat dan menyeruput minuman itu. Dio mio. Mataku terbuka lebar, kemudian mencari mata Ash, bertanya-tanya penuh rasa kagum. Ash tersenyum puas. Dia duduk, lalu mengubah air dalam gelasnya menjadi cocktail leci dengan cara yang sama. Aku menyesap matcha latte sambil mengamatinya. "Jadi, ini yang disebut bakat kelainan?"

Ash mengangkat sedikit gelasnya sambil mengangguk. "Gadis pintar."

Dia lalu memutar gelasnya di depan matanya. "Aku bisa mengubah cairan apapun menjadi cairan apapun jika aku tahu resepnya."

Aku menunjuk laut. "Kau bisa mengubahnya menjadi susu almond?"

Ash terkekeh geli. "Selama di wadah yang bisa kujangkau."

Kepalaku terangguk-angguk. Tiba-tiba, aku merasa bersemangat. "Kalau aku, apa bakat kelainanku?"

Ash mengangkat bahu sambil menyesap kecil minumannya. "Hanya kau yang tahu, tapi kau belum pernah tahu."

Kami menghabiskan menit-menit berikutnya dengan menyesap gelas masing-masing. Ash membuyarkan keheningan dengan satu pertanyaan. "Apa yang terjadi setelah malam itu?"

Aku berhenti menatap gelasku, beralih padanya. Karena posisi duduknya yang bersandar, kerah bajunya turun sedikit, menampilkan tulang selangkanya yang menojol.

"Apa kau tidur nyenyak sejak malam itu?"

Pertanyaan itu membuatku mendengus geli.

"Aku tidur nyenyak sejak hari itu, tapi sepertinya besok malam aku tidak akan tidur nyenyak lagi."

Ash menatapku dengan tanda tanya. Kenapa?

"Aku akan memikirkan hal ini," jawabku sambil mengetuk permukaan gelasku. Mulut Ash membentuk huruf 'a' panjang. Sangat mengagumkan bahwa Ash bisa menyijir matcha latte dingin tanpa es. Pemuda itu sendiri lama mengamatiku sebelum akhirnya menggulirkan kembali pertanyaan. "Tapi apa kau baik-baik saja?"

Pelupuk mataku terasa berat, namun bibirku tersenyum lebar. "Kau orang kedua yang bertanya begitu."

Tangan Ash mengetuk-ngetuk permukaan gelasnya. Perhatianku terpusat pada tekstur kayu meja.

"Hidup hanya sekali, Will." Aku mendengar Ash berkata begitu, dengan suaranya yang rendah, dalam, menenangkan. Aku mengangkat wajah. Ia menekan jari-jarinya ke permukaan gelas yang licin. "Kau boleh mati setelah memenuhi hasratmu terhadap hal yang kau cintai."

"Sepertinya kehidupan berjalan lancar bagimu," balasku lancar.

Ash diam. "Tidak ada kehidupan yang mudah, Will."

Ia bangkit dari kursi. Ia berjalan mendekati kursiku. Tangannya terulur tepat di depan gelasku. "Kuantar kau pulang."

Aku bangkit. Kami berpegangan tangan. Cahaya silau muncul. Dalam sekejap, kami telah berdiri di depan gedung apartemenku. Kepalaku mendongak pada gedung. Aku sungguh pulang.

"Selamat malam, Will."

Aku cepat-cepat menarik lengan Ash saat mendengar itu. Di tengah kegalauan ini, bagaimana mungkin aku melupakan satu hal penting? "Bawa lagi aku ke sana. Aku belum sempat berfoto."

Ash mengerjap bingung, namun detik berikutnya, ia menunduk dan bahunya berguncang hebat. "Kau akan kembali ke sana lagi, Will. Tenang saja."

"Sungguh?" Mataku membulat. Ash mengangguk mantap. "Di lain waktu aku menemuimu."

"Kapan?" Pertanyaan itu spontan mengalir dari bibirku. Ash tersenyum. "Apa kau sudah merindukanku?"

Aku melepaskan lengannya dengan kesal. Ash mendengus untuk mengakhiri tawanya. "Aku berjanji."

Entah mengapa, di detik-detik terakhir seperti ini, aku justru memutuskan untuk memercayainya.

"Sekarang, beristirahatlah. Sampai nanti, Wilhelmina."

Ia mendorong ringan tubuhku ke arah pintu kaca gedung apartemen. Bisikan datang dari belakang telinga kiriku dalam suara yang rendah dan dalam, "Mimpi indah."

Aku mematung sesaat. Saat aku berbalik, Ash sudah menghilang.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/5Ci5i6d

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang