Ash benar-benar penggoda. Dia menitipkan sebuket bunga segar di lobi.
"Untuk Nona."
Pegawai lobi tersenyum sangat yakin saat menyampaikan kiriman itu dua hari yang lalu. Di dalam buket, ada selipan kartu ucapan. Pesan di dalamnya menyatakan bahwa Ash akan menjemputku Jumat pagi. Ia juga menulis agar aku membawa banyak baju ganti. Katanya, aku harus menginap di markas hingga hari Minggu untuk latihan.
Sehari setelahnya, dia mengirimkan lagi sebuket bunga dengan pesan:
Bisakah kau balas suratku lewat pegawai lobi? Tolong beritahu nomor kamarmu. Aku mau mengirim sesuatu.
Aku menulis di kartu ucapannya nomor kamarku sambil geleng-geleng kepala. Rasanya, seperti kembali lagi ke masa sebelum ponsel ditemukan.
Hari ini, bel kamarku berbunyi. Aku berjalan ke pintu sambil melirik jam dinding. Pukul delapan. Aku dan Rum biasa sarapan setengah jam lagi.
Aku tersentak. Yang ada di balik pintu sama sekali bukan seseorang yang kukira.
Pemuda itu berdiri dengan dua tangannya bersembunyi dalam saku celana. Ia mengetuk-ngetuk lantai dengan ujung sepatu pentofelnya. Jas kotak-kotaknya memperkuat kesan resmi dari penampilannya.
Seperti biasa, rambut hitamnya menutupi separuh dahi. Matanya yang sewarna karamel tertambat pada mata hijauku. Kepalanya tertunduk saat berceletuk jahil, "Apa lagi yang kau punya selain We Bare Bears?"
Kepalaku ikut tertunduk. Celana tidurku. Katun warna pink pucat dengan cetakan tiga beruang yang sedang tersenyum. Aku, tanpa berkaca, bisa merasakan pipiku memerah. Untuk membela diri, aku bertanya sinis padanya. "Kenapa kau ke sini?"
"Menjemputmu?" Ash menjawab tak acuh. Matanya melirik penasaran ke belakang pundakku. Aku mengangkat alis, lalu mengangguk lelah. "Maksudku, kenapa kau ke kamarku? Kau bisa menunggu di lobi."
Lawan bicaraku hirau.
"Boleh aku masuk?" Meski bertanya, Ash tak menunggu izinku. Dia menerobos santai ke dalam, berdiri di tengah ruangan sambil mengamati tiap sudut apartemenku.
"Bukankah kemarin kau bilang kau ingin mengirim sesuatu?"
Ash menoleh dengan mata berbinar senang padaku. Dia menunjuk dirinya sendiri. "Yaitu aku."
Dia membuatku bernapas lelah.
Aku tak percaya ini. Dia masuk tanpa rasa canggung. Ash bisa jadi laki-laki pertama yang masuk apartemenku, jika aku tidak menghitung ayah dan teknisi pipa air. Dan dia dengan santainya duduk di kasurku, meraba-raba sepraiku, menatap berkeliling. Ia berdiri, menghampiri meja belajar, memilah-milah novel di sana. Saat ia berjalan ke balkon, alarm peringatan membuatku bergerak cepat untuk menghadang Ash dari pintu balkon.
"Temanku akan datang pagi ini."
Jemuranku belum diangkat.
Ash mengunci pandangannya padaku. Jarak kami sedekat ini. Aroma kayu manis bercampur vanilla menggelitik penciumanku. Apakah dia memakai parfum atau ini aroma tubuhnya?
"Apakah dia perempuan atau laki-laki?" tanya Ash serius. Nada suaranya menyadarkanku bahwa tatapannya begitu mengunci. "Perempuan."
Aku mendorong paksa punggungnya ke arah pintu. "Tolong tunggu di lobi dua puluh menit lagi. Aku belum sarapan."
"Kita bisa sarapan bersama," usul Ash. Aku menggeleng kuat. Aku membuka pintu. Sebaiknya dia keluar sebelum...
"Rum?" tanyaku kaget.
...Rum datang.
Jantungku meloncat panik. Rum ikut kaget. Sebelah tangannya terangkat dan senyumnya terkembang tanggung. "Aku baru mau menekan bel."

KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomantikWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...