3. Nama yang Singkat

68 12 3
                                    

Tidak ada yang terjadi selama berhari-hari berikutnya. Ini terasa ganjil. Pertama, menegangkan. Kupikir, pemuda itu akan kembali lagi mengingat jaketnya masih ada padaku, namun aku tak melihat batang hidungnya hingga hari ini. Kedua, melegakan. Aku nyaris berpikir dia tak butuh jaket itu lagi. Dia mungkin lupa dengan jaketnya.

Menjadi pengangguran tidak buruk-buruk amat. Kalau boleh jujur, aku merasa simpul ketat yang mengikat dadaku terlepas semenjak aku berhenti kerja. Tidak ada pulang lembur, tidak ada deadline, tidak ada rapat yang berlarut-larut. Pagi ini, pertama kalinya aku bisa bangun tanpa diteror alarm. Pertama kalinya juga aku menyesapi semerbak bunga lavender di pinggir jalan.

Ini awal Minggu. Rum akan ada di kantor seharian. Aku sendirian. Setelah lelah membersihkan seisi apartemen dan makan siang, aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Pukul tiga. Langit cukup berawan. Udara pun terasa sejuk.

Aku keluar seadanya: sandal platform, celana kulot putih selutut dan oversized hoodie berwarna hijau saga. Aku melangkah ringan di trotoar, mampir sebentar di minimarket, lalu melanjutkan perjalanan ke taman kota.

Sebatang pohon kersen berdiri gagah di tikungan trotoar. Umurnya sudah pasti lebih tua dariku. Besarnya bayangan pohon itu di blok paving trotoar menandakan betapa rindangnya dedaunan si pohon. Dia pohon favoritku di kota ini. Sejak tiga tahun yang lalu, kunamai dia Bob. Seorang pemuda berteduh di bawah Bob. Aku tersenyum bangga padanya. Lihatlah betapa bermanfaatnya Bob bagi sekitar!

Punggung si pemuda bersandar pada Bob, sementara lengannya disilangkan di dada. Begitu wajahnya beralih padaku, langkah riangku kandas. Begitu senyum si pemuda terkembang, senyum sumringahku memudar.

Pemuda itu menegakkan punggung, berdiri menghadapku seratus persen. Aku meneliti wajahnya. Bibir merahnya yang tersungging. Kelopak matanya yang serupa buah badam. Rambut hitam legamnya yang jatuh bergelombang di dahi. Itu wajah yang kulihat tiga hari yang lalu.

Tiga hari yang lalu, dia memakai kaus dan celana hitam. Hari ini, pakaiannya kemeja putih lengan balon dan celana kain berwarna hitam. Sepatu pantofel polosnya menimbulkan bunyi ketukan teredam kala ia mendekat. Jarak antara kami tersisa lima langkah. Ia berhenti. "Hai."

Suara plastik bergesekan terdengar kala tanganku terkepal. Di bawah cahaya siang, warna iris matanya terlihat jelas. Cokelat terang keemasan layaknya karamel. Karamel. Rasa favoritku nomor dua setelah matcha.

Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, dia sudah lebih dulu menarikku ke sisi trotoar.

"Berada di tengah jalan itu berbahaya," katanya dengan suara yang rendah. Aku mendongak untuk balas menatapnya. Plastik di tangan kiriku menggantung canggung. Seolah tersadar dari hipnotis, aku mundur agar terlepas dari sentuhannya. "Siapa kau?"

Pemuda itu terkekeh pelan. Bahunya berguncang ringan dan kedua kelopak matanya hampir terpejam. "Kita memang bertemu secara singkat, tapi caramu bertanya begitu membuat hatiku terluka."

"Apa—" aku menelan ludah. "Kau mau apa?"

Sekelompok orang tertawa kompak dari teras kafe tak jauh dari tempat kami berdiri. Pemuda itu tersenyum makin lebar. Matanya berkedip lambat. Deretan giginya putih dan rapi. Meski tak tampak jahat, aku takkan terlena oleh pesonanya. "Dengar orang aneh, sebelum kau macam-macam, aku bisa teriak kalau kau melakukan pelecehan di muka umum. Jadi sebaiknya kau pergi."

Pemuda itu malah makin tersenyum. Aku menyipitkan mata. "Pergi."

Ia malah mengangkat sebelah tangannya. "Setidaknya, bolehkah kita berkenalan dulu?"

Aku memandangi tangannya yang terulur, lalu mendadak mendapat ide. Kujabat tangannya lalu kupelintir. Mata pemuda itu membulat dan bibirnya terbuka. Aku menyikut perutnya, lalu lari secepat kilat seolah dirasuki Usain Bolt. Sepasang kaki ini bergerak melawan arus pejalan kaki dan melintasi jalur penyeberangan. Sayangnya, aku bisa mendengar ketukan sepatu pentofel mengikutiku di belakang.

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang