30. Tapi, Ibu

8 2 1
                                        

Hari ini masih pagi bagi siapapun untuk menggedor pintu tuan rumah, kecuali orang mabuk. Rum bahkan tidak datang sepagi ini. Aku melihat jam. Tujuh kurang seperempat. Siapa di luar?

"Ibu?"

Aku tersentak. Mataku yang tadinya suntuk langsung melotot. Ibu berdiri di sana dengan cardigan abu dan syal kuning gelap. Matanya dihiasi kerutan halus. Ia langsung mencerocos. "Ibu dengar kamu punya pacar?"

Mataku semakin terbelalak. Alis Ibu bertaut. "Ternyata benar."

Beliau masuk. Aku mengikutinya dengan jantung berdegup gugup. "Dari mana ibu tahu?"

"Rum mengatakannya tempo hari." Ibu berbalik cepat. Aku mematung.

"Rum datang dan bercerita tentang pacarmu," jelas ibu. "Namanya Ash, kan?"

Ada ketakutan dalam gerak-gerik bola matanya. "Apa dia orang yang mendatangimu?"

Ya. "Bukan."

"Will!"

"Aku tidak tahu!" Aku mendengar sendiri diriku menjerit. "Dia tidak tahu. Kami tidak tahu."

Dahi ibu tambah mengernyit. "Apa maksudmu?"

Air mataku tidak boleh jatuh. "Kami bertemu saat aku hampir mati."

Otot-otot wajah ibu mengendur.

"Ya, aku ingin melompat dari atap kantorku, tapi dia datang menyelamatkanku. Begitulah kami bertemu."

Beliau bergeming, kakinya menapak erat pada lantai.

"Lalu dia datang lagi, mengatakan sesuatu yang awalnya tidak masuk akal. Dia memanggilku dengan nama Mirbriand, lalu menunjukkan silsilah keluarga nenek. Sampai saat itu, aku masih setengah percaya, tapi ibu sendiri bilang cerita nenek benar."

Dan terkutuklah paru-paru ini karena bernapas tak beraturan.

"Tapi, ibu, yang terpenting dari pertemuan kami adalah alasannya. Aku tidak akan ada di sana, di atap gedung 26 lantai, untuk melompat jika tidak ada yang terjadi." Jariku menunjuk jauh ke jendela. "Dia tidak akan menemukanku. Kami tidak akan bertemu, tapi yang terjadi adalah sebaliknya."

"Kenapa kau mau melompat?"

Aku menggeleng keras mendengar pertanyaan ibu. "Karena hidupku bukan milikku."

Kerutan di wajah ibu pudar seiring munculnya getaran di sudut bibir ibu.
Aku ingin memuntahkan kata kata, lalu menjerit dan menangis, tapi itu takkan menghiburku. Jua takkan menjelaskan apapun kepada ibu. Aku sendiri tak mampu melakukannya pada ibu. Ketidakmampuanku adalah cacat yang kuakibatkan sendiri.

Tanganku menyambar jaket di dinding, lalu melangkah terburu-buru di koridor apartemen. Aku mendengar ibu sekali memanggilku, namun tak sesentipun kepalaku bergerak untuk menoleh, atau selangkahpun kakiku berbalik arah. Begitu aku menutup pintu lift, sosok ibu tak terlihat di koridor. Benar, jangan mengejarku.

Kaki ini melangkah tak tentu arah. Terus melangkahi debu jalanan dan serpihan daun kering. Terus melewati tawa dan cekikikan anak-anak di emperan toko. Terus berpapasan dengan orang-orang yang menatapku heran. Sedang apa seorang wanita muda berjalan dengan piyamanya sambil sesegukan? Orang akan mengira aku baru saja bertengkar dengan pasanganku.

Tanpa sadar, aku sampai di depan Mall Rue de Avenue. Jalanan sudah ramai pukul delapan pagi. Jalur penyeberangan berlampu merah. Di seberang jalan, orang-orang berpakaian modis mondar-mandir di depan mall. Sebagian besar masuk. Aku hendak menyeberang.
Sebuah tangan mencegat lenganku. Aku berbalik. Pemuda itu melotot cemas. Ia berdiri dengan mantel panjang dan rambut hitam acak-acakan. Ia menarikku ke sisi tubuhnya. "Apa yang kau lakukan?"

Dan apa yang kau lakukan? "Lepaskan."

Ash bergeming, malah mencengkeramku lebih erat. Aku berkelit. "Lepas!"

Orang-orang yang berlalu-lalang menoleh kaget kepada kami, tapi aku tidak peduli. Ash juga tidak peduli. Dia tidak mau melepaskanku. Dengan sekali rangkulan, kami menyingkir dari kerumunan. Semudah itu ia menuntunku, merangkulku, menemukanku.

Aku mencoba untuk menyingkir darinya, tapi Ash jauh lebih kuat. Ia membenamkan wajahku di dadanya, lalu begitu ia melepaskanku, kami sudah di belahan lain bumi. Aku celingukan tak sabar. "Kenapa kau membawaku ke sini?"

Debur ombak beradu dengan isak tangisku.

"Aku tidak mungkin membiarkanmu di tengah keramaian seperti tadi."

Aku melotot marah padanya. "Apa hakmu membawaku ke sini?" geramku. Ash seperti musuh yang tak bersenjata. "Will..."

"Pergi!!" Aku menjerit bersama ombak yang dipecahkan batu karang. Ash mundur selangkah, lalu berbalik. Benar-benar pergi. Aku menghirup kasar oksigen, mengembuskannya lebih kasar. Kakiku terbenam pasir. Koak camar menyambangi jeritanku. Sayapnya terentang saat pasir-pasir beterbangan karena ditendang. Aku mengadu pada lautan luas. Yang rasa asinnya telah menulari air mataku.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/3egeVEE

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang