17. Ganache Sayang

14 6 0
                                    

Sarapan kami kesekian kalinya.

Rum sedang duduk sambil mengupas apel, sementara aku berdiri di samping mesin pemanggang wafel sambil mengocok saus cokelat ganache dengan mixer. Kami masih mengenakan piyama. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul delapan.

"Will, Ash itu orang yang seperti apa?"

Aku sontak menoleh. Sendok di tanganku hampir tenggelam di dalam cokelat. "Kenapa kau tiba-tiba tanya begitu?"

"Jelas karena aku ingin tahu," balas Rum sambil menusuk potongan apel. "Sahabatku yang 25 tahun belum pernah pacaran akhirnya pecah telur. Aku jadi ingin tahu seperti apa sosok pria yang mampu melelehkan hatimu."

"Puitis sekali," jawabku sambil mematikan mixer.

"Kapan kita makan bersama? Kita harus merayakan adanya member baru."

Sepasang mataku berputar-putar gugup. "Akan kutanya dia sempatnya kapan."

"Oke."

Rum berjalan ke sampingku. Tangannya sigap membuka tutup panggangan, lalu menunjukkan isinya padaku. "Segini sudah cukup matang?"

"Sudah," sahutku. Aku memindahkan mangkuk saus ganache ke meja makan, diikuti oleh Rum yang sibuk memindahkan wafel ke piring. Selagi melakukan itu, Rum kembali bertanya. "Lalu, kemarin bagaimana?"

Nampaknya, Rum punya banyak topik pagi ini.

"Seperti biasa."

Kami sudah saling mengenal sehingga kode seperti ini tidak perlu dijelaskan lagi.

"Seberapa parah keluargamu mengamuk?"

Lihat, kan?

Aku menghirup udara dalam-dalam. "Ibu bertanya soal pekerjaan. Aku bilang aku sudah berhenti kerja. Semua anggota keluargaku kaget. Lalu, ibu mulai mengomel panjang selama... selama kami makan kue."

Kami duduk berhadapan makan wafel dengan saus ganache, tapi rasanya sesi sarapan ini telah menjelma menjadi sesi konsultasi.

Rumana Prince mengerutkan dahinya. "Jujur saja, Will, aku melihat kau punya niat untuk berubah dan beberapa hal sudah berubah baik tahun ini. Tapi, aku juga melihat kalau kau terkadang masih tarik-ulur dengan egomu sendiri. Menurutku, itu karena kau belum mencapai akar masalahmu."

Aku memiringkan kepalaku padanya.

"Komunikasi dengan orang tua."

Otot-otot wajahku menegang.
Pandanganku perlahan turun ke piring di pangkuanku. Oh, ganache sayang, bisakah kau membagikan rasa manismu kepada hidupku?

"Aku tahu, ini rasanya berat, tapi cobalah dekati mereka, jalin komunikasi yang lebih baik, perbaiki masa lalu yang sepi. Kita ini anak, harus selalu lebih mengalah."

Rum berkata begitu dan aku menyuapkan wafel ke mulutku.

Rum, ini tidak adil dalam dua hal. Satu, sekalipun suatu kesalahan terjadi bukan karenaku, kenapa tetap harus aku yang memperbaiki keadaan? Kedua, aku sudah cukup diomeli kemarin. Apa kau juga ingin berkontribusi?

Mataku terasa pedas. Untuk menghalau air mata, aku terus makan. Sahabatku terus berpetuah. "Bagi orang tua, mereka selalu melakukan yang terbaik bagi anak. Mereka tidak salah."

Mereka tidak salah.

"Will, dengarkan aku. Aku menyayangimu. Kita sahabat sejak kecil. Aku selalu ingin membantumu, menjadi pendukungmu. Aku ingin kau cepat-cepat keluar dari depresimu. Hidup bebas tanpa tekanan. Tapi semua bantuanku tidak ada artinya jika kau tidak mau memulai. Jangan anggap semuanya berat. Jalani saja dari hal terkecil. Aku selalu ada untukmu, kan?"

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang