37. Kenapa Kau Menghindar Begitu Saja?

8 1 0
                                    

Sesi kesembilan. Purnama merah. Ia kelihatan lebih besar dari biasanya. Di bawah pancaran bulan, kami sibuk memulai sesi. Arbei dan Ash mengukir garis-garis segel di tanah. Aku memerhatikan Ash dari seberang. Pemuda itu bahkan tak melirikku sejak kami berangkat.

Begitu July merapalkan mantra di hadapan segel, garis-garis itu menyala, mendesis dan mengeluarkan asap. Aku dan Abel sedang berbincang saat Sajda datang. "Kita kekurangan Sebas dan Bubuk Penangkis. Apa segini cukup?"

Ia menyodorkan kendi kecil berwarna kuning bambu. Abel lalu melongok ke isi kendi. "Kita akan selesai lebih cepat." Sajda mengangguk.

Kami berdiri mengisi posisi. Tanpa Sebas, posisi di sebelah kananku menjadi kosong. Ash berdiri di sisi tenggara, memunggungiku. Ia bahkan tak tersenyum padaku semenjak kembali ke markas. Begitu piramida pelindungku muncul, aku menutup mata, berdiam diri dalam posisi sila dan telapak tangan saling menempel di depan dada. Sekarang, aku sudah bisa merasakan aliran auraku saat keluar tubuh. Aku juga sudah bisa mempertahankannya dengan mata terbuka.

Bersamaan dengan aku membuka mata, suara lolongan menghantam langit. Abel menghunus pedang, begitu juga yang lain. Siluet pertama mendobrak formasi dan Ash melompat ganas ke depannya. Keris Ash menusuk siluet itu bahkan sebelum Arbei mengangkat trisulanya. Dalam sedetik, keris Ash mengalirkan listrik bertegangan tinggi ke tubuh monster. Satu tumbang.

Ada jeda di antara kami. Abel melirik heran pada Sajda. Arbei jelas tak pernah lengah atau lamban, tapi Ash juga tak pernah meninggalkan posisinya. Aku menahan napas. Rapalan mantra July menyadarkan semua orang dan menyingkirkan syok sesaat itu. Tubuh monster tadi terisap masuk ke dalam guci di samping July. Tak lama, keadaan menjadi lebih kacau bagi semua orang untuk memikirkan kejadian tadi. July melepas segel piramida pelindungku. Akan tetapi, aku melamun dan terlambat sadar bahwa piramidanya sudah hilang sepenuhnya. Tidak ada yang lamban di sini, kecuali aku.

"Will, kau bisa menurunkan auramu," ujar Abel. Aku berdiri, hampir tersandung. Begitu bangkit, auraku mulai pudar, tetapi kemudian aku mendengar suara angin mendesing. Aneh, padahal hawanya tidak begitu dingin. Aku menoleh ke sembarang arah. Kedengarannya seperti sampah plastik atau kertas terbang-

"WILL!"

.
.
.
.
.

Sepanjang jalan itu berderet pohon cemara. Hijau membentang selayang pandang. Aku berjalan di antara pepohonan. Kicau burung pipit menyapa riang. Tetapi, awan gelap kemudian bergulung cepat menyapu cahaya. Angin bersiul-siul mengumumkan musibah. Puncak pepohonan bergoyang hebat. Burung-burung menukik tajam ke antara pepohonan, bersembunyi jauh di sarang masing-masing. Kilat menyambar dan menggelegar. Tanah di kakiku runtuh. Aku terperosok. Jatuh bebas di lorong gelap, tiada ujungnya. Aku terbangun.

"Oh, demi Orion!" July menatapku penuh rasa syukur. Ia memegangi dadanya dan mundur dengan senyum lega. "Kukira kau takkan selamat."

Aku bangun, duduk pelan-pelan. Ash membantuku. Kembali lagi ke kamar perawatan. Semua orang, kali ini menungguku dengan ketegangan yang jelas terlukis di wajah mereka. Sebelah tanganku memegangi kening. "Kenapa aku di sini?"

"Kau pingsan." Arbei mengumumkan. Ia menggeleng ngeri. "Tidak, hampir mati."

Abel melotot padanya, lalu menoleh padaku dengan kesungguhan. "Will, kau tidak ingat apapun semalam?"

Apa yang terjadi semalam? Aku ingat aku mendengar sesuatu berdesing di udara, lalu mendadak saja pandanganku menjadi hitam. Sepertinya seseorang sempat memanggilku, tapi aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku menggeleng. "Aku cuma mimpi buruk."

"Kau mimpi apa?" Semua orang mencondongkan tubuh padaku. Ash menyodorkan segelas air. Benar juga, suaraku terdengar parau. Aku meneguknya dua kali sebelum menjawab, "Aku jatuh ke tanah longsor."

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang