26. Bolehkah Aku Menggenggam Tanganmu?

10 2 1
                                    

Ibu kembali mengirimi pesan. Minggu depan ada arisan keluarga. Kupikir, keluargaku punya terlalu banyak acara.
Aku tak ingin bertemu siapapun, terutama keluarga besarku. Merekalah yang ada di urutan teratas orang-orang yang ingin kuhindari karena menjadi penyebab insecurity-ku kambuh. Aku mengingat kembali pertanyaan-pertanyaan formatis di pesta keluarga sebelumnya.

Tadinya aku ingin sekali mengetik, "Bu, aku tidak bisa datang. Ada interview kerja," tapi Rum terus membujukku untuk datang.

Benar-benar acara keluarga. Semua orang berkumpul. Dari Indonesia dan dari Amerika. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali aku bertemu keluarga dari Indonesia-ku. Mungkin dua tahun yang lalu.

"Kami datang sambil merayakan Jena yang sudah lulus," ujar bibiku. Aku tersenyum pada sepupuku Jena. Gadis berusia 19 tahun yang baru diterima di New York University. Permata baru keluarga besar. "Kalau begitu, Tante harus banyak jalan-jalan di sini."

Bibi balas terkekeh. "Kamu sendiri bagaimana kabarnya? Kata ibu, kamu lagi pindah kerja?"

Senyumku pudar setengahnya. "Iya, begitu."

Bibi memandangiku sambil mengangguk-angguk. "Sekarang kerja di mana?"

"Ah, belum mulai kerja, masih melamar."

Aku tersenyum kikuk. Mendengar pertanyaan ini, hatiku menjadi ciut dan volume suaraku mengecil. Orang-orang senang sekali menyiksaku dengan pertanyaan ini.

"Semoga cepat diterima, ya!" diakhiri dengan harapan formalitas. Aku membalas dengan wajah paling mengamini. Setelah bibi berlalu, aku mendesah. Kelelahan memakai topeng.

Pesta keluarga pada dasarnya adalah ajang penciutan nyali, pengerdilan semangat, ajang pamer sepupu-sepupu dan sarana paling efektif untuk membuat seseorang merasa tak berguna. Aku sendiri merasa seperti alien di antara keluarga besarku ini. Menyempil di antara kelompok-kelompok penuh canda. Memojokkan diri di balik hidangan bertingkat dan meja-meja kosong. Ingin kukembali ke kamar, tapi segera saja akan ada orang yang mencariku lalu suatu gerombolan anak-anak ikut ke kamar. Lalu, aku akan diminta menjadi baby sitter. Oh, keluarga.

"Hai, Willy." Seorang sepupuku menyapa. Aku tersenyum riang padanya dan balas menyapa. "Mau ambil pudding?"

"Ayo," sahutnya. Kami mengambil pudding di meja pencuci mulut. Di sela-sela makan pudding, dia bertanya, "Sekarang, kesibukanmu apa?"

Lagi, aku gelagapan. "Aku sedang melamar kerja lagi."

Sepupuku mengangguk-angguk. Padahal, aku sama sekali belum melamar kerja. Selalu lebih baik untuk menjawab kita sedang melakukan sesuatu meski kita tak sedang melakukannya.

"Sudah lamar ke mana saja?"

Aku mengingat-ingat lowongan kerja yang pernah dikirim Rum, lalu menyebutkan beberapa nama perusahaan. Setidaknya, link lowongan kerja itu ada gunanya. Padahal, aku tak pernah membukanya.

Begitulah basa-basi yang terjadi. Sampai akhirnya sore tiba dan semua orang harus pulang.

"Kami duluan, ya, besok kerja."

"Iya, aku juga besok masuk pagi. Suamiku malah mau pergi dinas."

Ibu melambai riang pada mereka. Aku menonton selagi mobil-mobil mereka meninggalkan halaman. Mereka tidak tahu saja aku menghasilkan uang lebih banyak meski sekarang jadi pengangguran.

Suasana setelah pesta selalu berantakan. Sampah dan sisa makanan berserakan di mana-mana-lebih banyak lagi di sudut-sudut. Kursi-kursi tak beraturan. Adikku memunguti botol-botol air kemasan sementara aku memindahkan wadah-wadah makanan ke dapur, lalu mencuci. Ketika aku selesai dengan urusan dapur, halaman sudah bersih. Ruang tamu dan ruang keluarga juga sudah kembali rapi. Hanya tinggal sampah daur ulang di pojok halaman. Kata adikku, "Kita harus segera mendaur ulang sampahnya atau cari orang untuk melakukannya."

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang