"Will, aku perlu bicara denganmu."
Aku berhenti menuruni tangga. Abel terlihat ragu-ragu. Aku tahu sesuatu pasti telah terjadi. "Ada apa?"
"Ini tentang latihan bakat kelainanmu."
Kedua tangannya mengusap-usap sisi samping jeans-nya.
"Kenapa?" tanyaku.
Jari-jari Abel kini saling bertautan. "Aku-kami sudah tahu kalau Ash membantumu menemukan bakat kelainanmu, tapi apa kau tahu Ash melakukannya tanpa sepengetahuan kami?"
Ken Abel kelihatan canggung dan berhati-hati dalam menyampaikan ini, tetapi ekspresi dan diamku pasti telah merubah perasaan itu. Dahinya berkerut dalam. "Kau tahu?"
"Aku mengira itu tidak perlu persetujuanmu," kilahku.
"Semua yang terjadi di sini harus mendapat persetujuanku." Abel menegaskan. Nada bicaranya tajam. Di saat itu aku merasa nyaliku ciut. "Maaf."
"Mungkin bagimu bakat kelainan adalah sekadar kekuatan super yang bisa membuatmu menjadi 'pahlawan'. Kau tidak tahu-menahu soal aturan kami."
"Aku memang tidak tahu." Memang tidak. Jengkel. "Aku meminta Ash membantuku dan dia setuju."
"Kalau begitu, biar kujelaskan." Garis matanya lurus tegang. Rahang Abel mengetat. "Bakatmu adalah anugrah, sekaligus bencana. Setelah kau tahu kekuatanmu, menurutmu apa yang akan terjadi? Auramu akan terus keluar tanpa bisa kau kendalikan. Jika sudah begitu, solusinya hanya satu: terus berlatih."
Ia menghela napas lambat dan berat. "Kami dilatih mengendalikan aura sejak anak-anak dan butuh waktu rata-rata tujuh tahun. Kau tidak akan tinggal di Negeri Dalam, kutebak, tidak berniat, bukan? Lalu di mana kau akan belajar mengendalikannya? Ash tidak akan tetap menjadi mentormu. Dia juga punya tanggung jawab di sini. Sementara kau, setelah kontrak berakhr, kau akan kembali menjalani kehidupanmu di Negeri Luar. Bayangkan, jika tanpa sengaja auramu meluap dan orang lain mengetahuinya. Kau akan dicap aneh, fenomenal tapi kontroversial. Lalu bagi kami, kau ancaman."
"Ancaman?" Aku mendesis. Abel membalas, "Kau berpotensi membongkar eksistensi kami."
Aku diam. Abel mendesah. "Will, Pusat sudah bicara padaku." Tatapanku naik pada wajah Abel.
"Kau akan diberikan dua pilihan di akhir kontrak. Tinggal di Negeri Dalam atau kembali ke duniamu."
"Apa maksudnya pilihan itu?"
"Agar hidupmu seterusnya nyaman."
Batinku menyela, memangnya kapan hidupku nyaman?
"Jika kau memilih ke Negeri Dalam, Pusat akan mengurus data kependudukanmu. Kau harus bersumpah untuk hidup di bawah tradisi kami dan menetap setidaknya selama dua tahun untuk beradaptasi. Tentu saja, ada banyak kekurangan dari opsi ini yang bisa kau prediksi sendiri. Jika pilihanmu kembali ke duniamu, Pusat akan membekukan auramu. Dengan begitu, kau tidak akan bisa menggunakan aura tanpa pengawasan kami. Dan segala kemungkinan buruk yang tadi kukatakan tidak akan terjadi."
"Itu tidak adil!"
"Adil," Ken Abel membalas tegas, "jika kau juga melihat dari sudut pandang kami."
"Kalian yang pertama memintaku mempelajari aura!"
"Sesuai kontrak, ya, tapi kami tidak memintamu mencari bakat kelainanmu."
"Kenapa kau menyebalkan?" Aku menggertakkan gigi. Abel tampak tak terganggu. "Kami setuju untuk tidak melaporkan kasus ini karena ingin melindungi Ash. Dan aku mengharapkan kerja samamu."
"Oh, semua orang jadi sinis padaku!" aku melempar tangan ke udara. Aku berbalik dan berjalan, namun Abel mencegahku dengan kalimat barunya.
"Kami sangat ingin menyembunyikan kasus ini," katanya terburu-buru, "meski kami tahu resikonya sangat besar. Jika kami melaporkan Ash, kami juga yang akan disalahkan. Jika Ash ketahuan sendiri, kami juga akan disalahkan karena sudah tutup mulut. Tapi kau tidak akan terseret. Kau hanya akan disuruh pulang. Kau bisa kembali hidup nyaman sementara kami terancam kehilangan pekerjaan. Tiap hari-jika itu terjadi-aku akan menyesal telah bertemu denganmu. Jangan berpikir hanya kau yang menjadi korban."
Aku tak berbalik, namun telingaku menangkap suara ketukan sepatu Abel menaiki undakan lantai dan menjauh. Suara ketukan yang tegas dan sigap untuk menyepak siapapun yang mengancam timnya. Sementara dia pergi, aku mematung sendirian. Frustasi menyebar bak wabah di dadaku. Kupejamkan mata dan kuhirup udara kuat-kuat. Kemarin Rum, sekarang Abel. Mengapa dunia terus menerus menghakimiku?
.
.
.Pic on header: https://pin.it/2AarWT9

KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomanceWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...