Ash memberitahuku bahwa July diizinkan untuk melakukan satu tugas terakhir sebagai tanda perpisahannya dengan Ultrakit. Dan Ash—yang menentukan nasib July di detik-detik terakhir—memintanya untuk mengantarkan paket padaku sekaligus untuk berpamitan denganku. Aku tak percaya Ash mengirim July padaku. Setelah apa yang telah July katakan, aku tak ingin melihatnya. Dendamku belum usai. Dia juga pasti benci melihatku. Kami musuh.
Angin dingin membawa pergi dedaunan kering. Dari kejauhan, kulihat July datang dalam jaket biru dongker dan celana jeans. Dia sama sekali tak nampak seperti prajurit, malah seperti mahasiswa kutu buku dari jurusan seni. Tetapi, cara berjalannya sangat angkuh padaku dan matanya-ya Tuhan-menatap nyalang hingga bisa membakar pohon di cuaca dingin. Kepangannya berayun bak rambut Medusa. Sekali bibirnya membuka, ia pasti merapalkan mantra untuk mengutukku.
"Kita bertemu lagi," cetusnya tanpa senyum. Alisnya bertaut, tatapannya penuh dendam, rahangnya kaku. Seluruh otot wajahnya mengetat macam ditarik ke ubun-ubun. Aku tak membalas kalimatnya, hanya tatapannya.
July merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan kotak kecil berlapis kain hitam satin. Bungkusannya sangat rapi sampai aku yakin itu bukan dibungkus oleh July. Itu dari Ash.
"Aku sangat tidak ingin melihatmu. Kau sudah merusak persahabatan kami."
Aku ingin menampar wajahnya dan menjerit di telinganya. Dasar manusia manipulatif! Kenapa, sih, Ash tidak bisa mengirimkan paketnya lewat kurir pos saja?
Ia mengulurkan paket itu di hadapanku. Aku meraihnya dan July buru-buru menarik kembali lengannya, takut bersentuhan dengan kulitku seolah aku sedang mengalami cacar air. Bola matanya memutar malas sebelum ia mencetus sinis. "Aku yakin kau pasti bisa hidup mudah setelah ini, tapi kami tetap kesusahan dan aku bahkan kehilangan pekerjaan. Kau malah mendapat paket cantik ini."
Sungguh usaha yang keras untuk meludahkan asam beracun di setiap kalimatnya. Dan sungguh tatapan yang mampu menyiramkan laser panas darinya. Sayang sekali dua hal itu tidak bisa terjadi. Dia juga susah membunuhku.
Mataku memejam keras dan bibirku terkatup rapat. Jemariku meremas tepian kotak itu. Begitu kurasa July sudah berdiri terlalu lama hanya untuk mengantarkan paket, aku mengernyit dan memiringkan kepala padanya. July mendongak tajam. "Bukalah. Aku diperintahkan untuk pergi setelah kau membuka paketnya."
Aku mengerling malas dan mendesah. Apa yang Ash coba lakukan?
Telunjuk dan ibu jariku menarik simpul kain pembungkus. Kotak di dalamnya adalah kotak perhiasan yang terbuat dari kayu hitam. Warna cokelat kayunya sudah kusam dimakan zaman. Keempat sisinya dihiasi ukiran bunga melati. Di bagian tutupnya, bunga melati itu diukir dalam ukuran yang lebih besar. Sebaris kalimat dalam bahasa yang tidak kumengerti menemani bunga melati tersebut. Suara 'klek' menyertai saat kubuka kotak itu. July ikut melongok ke dalam kotak. Detik berikutnya, rona wajahnya berubah menjadi sepucat kertas baru.
Ada kain beludru merah di dalam kotak itu. Di tengahnya, terbaring sebuah cincin, menawan dan damai layaknya bayi dalam keranjang. Aku angkat cincin itu di udara. Lingkarannya putih emas dan permatanya merah darah. Ingatanku memutar ulang cerita Abel soal cincin mendiang ibunya Ash. Aku kembali membayangkan siluet rantai kalung di balik kaos Ash. Cincin itu ada di sana sepanjang waktu. Sekarang, cincin itu di tanganku.
July mundur selangkah saat kuangkat cincin itu lebih tinggi. Ia menelan ludah. Napasnya bergetar dan tangannya mengepal. Aku meliriknya. Kebencian di wajahnya digantikan oleh rasa patah hati.
Gadis itu tak lagi menatapku. Ia mundur beberapa langkah sambil terus memandangi cincin di jariku. Ia mundur seolah aku-atau cincin itu-adalah makhluk astral mengerikan. Lalu, ia berbalik, berlari, tanpa sekalipun menoleh.
Giliran aku yang memandangi cincin itu. Bagaimana mungkin, benda mungil ini bisa menyayat hati dua gadis sekaligus? Jika aku di posisi July aku juga akan bertindak hal yang sama. Kami akan berbagi perasaan yang sama. Ash, apa yang telah kau lakukan?
.
.
.Pic on header: https://pin.it/4KfAPfn
KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomansaWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...