Sepertinya, perselisihan tim menjadi jauh lebih serius. Aku melihat Arbei mengabaikan Abel meski mereka berpapasan. Ini tidak terjadi sebelumnya. Ash menolak halus untuk mengatakan yang sebenarnya—aku juga tidak memaksa. Meskipun begitu, Sajda memberiku sedikit petunjuk.
Ia sedang duduk di teras belakang, tempat pertama kali aku bertemu semua anggota tim. Ombak menyapu halus lantai tegel berwarna biru-putih. Sajda baru saja menegak habis jus apelnya saat aku ikut duduk di sampingnya. Wajahnya kesal sepanjang pagi ini. Aku hati-hati bertanya padanya.
"Sepertinya, kalian belum baikan."
Pemuda itu mendengus. Kaos hijau tentara yang ia kenakan membuat kulitnya terlihat lebih pucat, kontras dengan amarah di matanya yang menyala. "Kau lihat sendiri."
Ia bahkan agak ketus.
"Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Aku sudah dua kali ke sini dan sesi terakhir belum dilaksanakan. Kalau kalian mau, aku bisa pulang."
Sajda Hanif memainkan botol jusnya. Sebelah kakinya naik ke kursi. "Jangan. Aku rasa aku ingin bicara denganmu. Kau satu-satunya yang waras di sini."
Aku menunjuk diriku sendiri. "Aku?"
Sajda mengangguk. Ia duduk bersila di kursi dan memutar tubuhnya ke arahku. "Dengar, aku akan jelaskan sedikit. Di Pusat, kami sedang ada rapat besar soal keputusan besar. Keputusannya ada dua: mendukung atau menolak. Satu tim harus satu suara dan semua tim harus memilih. Kami memilih untuk menolak, tapi nama kami justru ada di pihak yang mendukung. July pikir itu ulah Abel. Aku dan Ash tidak percaya. Abel, tentu saja membantah. Arbei dan Sebas balik tidak percaya. Jadilah kami terpecah belah."
"Aku mengerti."
Sajda mengangguk kecil. "Itu saja."
"Lalu, sekarang apa—"
Kami mendengar suara Ash dari dalam bangunan. Sajda bergegas bangkit. Ia menoleh padaku. "Tunggu di sini atau kembali ke kamarmu. Jangan mendekat ke ruang rapat. Oke, Will?"
Aku mengangguk bingung, namun Sajda buru-buru meninggalkanku.
Jelas aku tak tahu apa yang terjadi. Sajda melarangku untuk berkeliaran sementara mereka duduk di ruang rapat. Aku hanya ke kamar mandi, mengambil minum di dapur, lalu kembali ke kamar. Selama kira dua jam, seseorang membangunkanku. Rupanya aku tertidur. Ash duduk di tepi kasur. Wajahnya terpukul dan lesu.
"Sore, cantik," katanya sambil mengelus rambutku. Aku menarik punggung agar duduk tegak di kasur. "Apa yang terjadi?"
Kekasihku diam saja. Aku meraih tangannya. Ia mengangkat wajahnya padaku. "Pusat menghentikan July sebagai Ultrakit."
"Apa?" Bahuku tertarik mundur. "Kenapa?"
Ash cuma tersenyum letih. "Banyak hal, andai aku bisa jelaskan padamu."
"Kau bisa menjelaskannya." Aku membujuk. "Aku mungkin tidak akan mengerti semuanya, tapi anggap saja kau sedang mengeluarkan kata-kata yang tidak bisa kau keluarkan pada orang lain."
Tangan Ash kembali bergerak untuk menyibakkan rambut di leherku. "Itu dia masalahnya. Di masa seperti ini, semua informasi menjadi berharga."
Ash orang yang sangat waspada. Aku akan berusaha memahami hal ini.
"Abel akan diminta untuk menyerahkan July. Kemudian, dia akan diadili sesuai sanksi. Aku berharap yang terbaik."
Aku mengamini karena hanya itu yang bisa kulakukan.
.
.
.
.
.July tak pulang lagi ke markas sejak dua hari yang lalu. Hari ini, vonis July dijatuhkan. Semua orang hadir di Pusat. Aku menunggu di ruang santai sambil menonton Stranger Things musim ketiga. Seseorang datang ke markas.
"Will?" Itu Ash. Dia berseru dari ruangan lain. Aku bergegas menekan tombol jeda remote tv, lalu menghampiri Ash.
Ia tertawa melihatku, lalu menangkap kedua lenganku sebelum menabraknya. "Hati-hati, sayang."
Aku menyeimbangkan diri, lalu bertanya, "Apa sidangnya sudah selesai?"
Ash memakai pakaian resmi berwarna hitam. Pita kain batik diikatkan di lengan kiri atasnya. Wajahnya kelihatan letih. "Sudah."
"Lalu?" Entah mengapa, jantungku berdegup gugup. Bibir Ash membuka, tapi kata-kata baru meluncur darinya tiga detik kemudian. "Pusat membebaskan July dari jabatannya. Mulai sekarang, dia bukan lagi Ultrakit."
Mataku membelalak secara bertahap. "Apakah masalahnya seserius itu?"
Ash menunduk. Keheningan melanda kami. Benakku membentuk portrait July. Tulang pipi yang cekung dan garis bibir yang tipis. Dia punya sepasang mata yang berwarna mirip denganku. Rambutnya selalu diikat buntut kuda, ketat dan formal. Beberapa hari yang lalu aku baru saja beradu pendapat dengannya dan baru kutahu apa makna di balik senyum ramah itu. Dia tak pernah menyukaiku. Aku bisa menerimanya. Namun kabar ini? Aku makin merasa, semakin aku dekat dengan seseorang, semakin aku tak mengenalnya.
Aku terdiam, memalingkan wajah lambat-lambat. Hal seperti ini menyadarkanku bahwa dunia mereka dan duniaku jauh berbeda. Jauh. Ucapan Arbei dan July tempo hari menjadi terasa benar.
"Apa kau bisa menjelaskan penyebabnya?"
Ash menggeleng lelah. "Sayang, kita sudah membica—"
"Apa salah satu penyebabnya aku?"
Ash mengernyit bingung. Aku berbalik menatapnya dengan bibir gemetar. "Kalian tidak pernah sungguh-sungguh menerimaku, kan?"
Ash nampak kaget. Dia menangkup kedua pipiku dan bertanya, "Apa maksudmu?"
"July benar. Aku memang membawa kesialan bagi kalian."
Kerutan di dahi Ash semakin dalam. Setitik air mata lolos dari pelupuk. "Kalian tidak pernah berhenti berdebat tentangku semenjak aku datang dan kalian pura-pura baik padaku."
Pemuda itu kebingungan. "Apa yang sedang kau katakan?"
Aku menggeleng kalap. "Aku sendiri pernah mendengarnya darimu. Kau sendiri pernah melakukannya. Kau membohongiku demi kepentingan tim."
Ash berlutut. Ia mengusap air mata di pipiku dan berujar halus, "Aku minta maaf. Aku minta maaf. Aku tidak akan pernah mengulanginya. Aku sangat menyesal. Kau harus tahu itu."
"Andai kau tak pernah membawaku ke sini, kalian pasti tidak akan pernah berdebat tentangku, dan kalian tidak akan kehilangan July. Sekarang kalian pasti akan lebih membenciku."
"Will," Ash mencium punggung tanganku dna melingkarkan lengannya di pinggangku. "Tidak ada yang pura-pura baik di depanmu. Tidak ada yang membencimu. Dan July tidak dikeluarkan hanya karena kami berdebat tentangmu."
"Tapi pernah ada masanya, kan?" Aku ingin kembali ke kamar. Ash menggeleng tegas. "Jangan percaya pada omong kosong itu."
Ia masih sibuk mengelus pipiku. Aku meraih tangannya, menurunkannya, lalu berbalik, berjalan ke kamarku yang sebenarnya kamar Ash, membanting pintu dan menguncinya. Dia mengurungku di wilayahnya. Aku merenggut rambutku, mengacak-acaknya dan memeluk kedua lututku sambil sesegukan tanpa suara.
.
.
.Pic on header: https://pin.it/5Th0Vjx
KAMU SEDANG MEMBACA
Semidevil
RomanceWilhelmina singkat saja dipanggil Will, sesingkat dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Baginya, jiwanya telah lama mati. Ia telah kehilangan motivasi, semangat, dan minat terhadap hal-hal yang ia sukai sebelumnya. Malam itu, Will sudah siap unt...