25. Mau Belajar Menyerang?

7 2 0
                                    

Sudah dua malam ini aku belajar bela diri dari Ash. Ia mengajariku pencak silat, seni bela diri tradisional dari Indonesia. Sebagai seorang pemula, tentu saja latihan ini tidak selancar yang kukira. Di hari pertama, bisa dibilang aku hanya mematahkan sendi-sendiku untuk satu teknik kuda-kuda.

"Perlu diketahui, Will, aku tidak bisa membuat jadwal rutin, jadi aku hanya akan melatihmu jika luang. Progresmu mungkin menjadi lambat, tapi tak usah terbebani. Aku tidak akan menuntutmu."

Aku tergelak. "Sebaiknya begitu."

Dalam ilmu silat, sabuk putih berarti tingkatan tertinggi sementara sabuk hitam berarti tingkat terendah. Ash berdiri berhadapan denganku, dalam pakaian serba hitam dan sabuk putih, sedangkan aku kebalikannya.

"Pelajaran paling dasar adalah kuda-kuda." Ash mencontohkan posisi kuda-kuda pencak silat. Satu kaki di depan, lalu ditekuk sedikit. Jari-jari kaki di belakang menghadap ke luar. Kedua tangan terangkat ke depan dada. Satu terkepal dan satu terbuka.

Aku bukanlah atlet, bukan pula orang yang senang olahraga. Maka, secara alamiah, badanku kaku bak batang pohon. Kukira, aku sudah mengikuti instruksi Ash dengan benar, tapi nyatanya, butuh waktu satu jam lebih sampai aku berada dalam posisi kuda-kuda yang tepat.

"Tekuk kaki belakangmu sedikit. Tumpukan beban tubuhmu di kedua kaki-tidak, tidak, jangan menekuknya lebih dalam. Luruskan punggungmu, jangan tegang. Will, dagumu harus lurus. Kepal dengan kuat." Ia membungkus kepalan tanganku dan meremasnya.

"Majukan sedikit lenganmu. Nah."

Ash melepas tanganku, lalu mundur dua langkah. "Sekarang, cobalah berdiri normal dan masuk ke posisi kuda-kuda. Bisa?"

Aku mengangguk mantap.

"Mulai!"

Aku yakin aku sudah melakukan yang terbaik.

"Mari kita ulang lagi."

Setelah lima belas kali percobaan, Ash akhirnya bertepuk tangan. Aku tersengal-sengal.

"Itu tadi namanya kuda-kuda depan. Masih ada lima jenis kuda-kuda lagi yang akan kau pelajari."

Hingga waktu makan siang tiba, hanya kuda-kuda tadi yang bisa kukuasai.

Hari ini, Ash mengajariku langkah pertama menyerang. Ia memperagakan gerakannya, lalu aku menirunya. Berkali-kali. Ia mengangkat lenganku lebih tinggi, menekuk lututku lebih tajam, lalu meluruskan daguku.

"Yang paling penting dalam menyerang adalah menjaga kontak mata dengan lawan."

Begitu gerakan kedua, Ash pindah ke belakangku. Tangannya memandu tanganku. Begitu lengannya membungkusku, sensasi aliran listrik menjalar di bawah kulitku.

"Kau harus tenang." Ia bernapas tepat di tengkukku. "Yang terpenting bagimu sekarang adalah soal ketepatan, bukan kecepatan. Belajarlah sebisa mungkin mengatur posisimu."

"Hm." Hanya gumaman singkat yang bisa kukerahkan saat ini.

Ash berjalan memutariku. "Kuda-kudamu semakin bagus. Apa kau berlatih sendirian?"

Aku mengaku, "Kurang lebih tiga puluh menit sehari. Aku rasa itu yang bisa kulakukan untuk membantu latihanku."

Ash terlihat bangga. "Inisiatif."

Ia mengajakku untuk rehat sebentar. Ash duduk berselonjor di rerumputan taman belakang markas. Cahaya matahari menembus kaos putihnya. Rambut Ash-seperti biasa-ikal memesona dan membuat gila saat ia mengacaknya. Matanya menyipit pada silau mentari, setelah itu berkedip padaku. Aku yang duduk di undakan sambil minum, harus menahan geli agar tidak tersedak. Pemuda itu terkekeh jahil.

Ponselku bergetar. Aku mengeluarkan benda itu dari tas kantung di sisiku. Ada dua pesan. Masing-masing dari ibu dan Rum. Pesan ibu isinya, "Apa orang asing itu kembali menemuimu?"

Aku melirik Ash yang sedang sibuk memilin rumput. "Tidak."

"Kau yakin?"

"Tidak ada kejadian lagi."

Ada jeda lama sebelum ibu membalas, "Kalau kau bertemu orang itu, hati-hati. Kau harus langsung menemui ibu."

"Ya. Pasti."

Pesan Rum adalah tautan link lowongan pekerjaan lagi. Ini yang kelima kalinya minggu ini. Aku keluar aplikasi sebelum membacanya.

"Apa ada masalah, Will?" Ash memperhatikan wajahku dari seberang. Aku menggeleng sesantai yang kubisa. "Tidak ada."

Malam ini adalah sesi keempat. Kembali berada di perjalanan dengan mobil jeep.
Ash berbisik rendah padaku saat yang lain sedang sibuk. "Mau belajar menyerang?"

Mataku menyipit padaku. Ia kembali berbisik. "Aku baru saja mencuri sabunmu cairmu pagi ini."

Pantas menghilang. Aku menyikut perut Ash. Ia menahan suaranya sambil memegangi perut. "Kerja bagus, Will."

Aku tersenyum diam-diam. Tanpa kami sadari, orang-orang memerhatikan. Aku mengambil jarak tiga langkah dari Ash. Abel memanggil. Sesi akan dimulai.

Kini, setelah ketahanan tubuhku meningkat, aku bisa membuka mata lebih lama dari sesi-sesi sebelumnya. Dan jujur saja, jantungku berdegup ketakutan bayangan-bayangan hitam mulai muncul. Monster-monster itu makin banyak saja tiap sesinya. July sibuk menjaga kendi sambil menarik para monster. Dan, entah firasatku saja atau bukan, suara mereka semakin kencang, serak dan melengking. Jeritan parau mereka saat jatuh ke tanah melewati alam mimpiku. Suatu malam aku bahkan sampai terbangun. Menyadari bahwa aku di markas, dan aku mengalami mimpi-mimpi itu di markas, membuatku lega. Akan tetapi, kekhawatiran mulai muncul jika mimpi itu muncul saat aku di Boston. Jika sesuatu terjadi padaku, siapa yang akan melindungiku?

Tanpa sadar, piramida pelindungku mulai pudar. July menepuk pundakku, namun reaksiku berlebihan. Ia mengerutkan dahi. "Kau tidak apa-apa?"

Aku menarik napas untuk melepaskan lamunan itu. "Tidak apa-apa."

"Baik. Aku bantu kau berdiri?"

Aku menerima uluran tangannya. Ash mengamatiku dari seberang lapangan. Napasnya masih menderu akibat pertarungan tadi, namun raut wajahnya bertanya penasaran. Bibirku melengkung secerah mungkin. Tidak ada apa-apa. Aku ingin Ash mendengar itu. Ia balas dengan anggukan. Lalu, kami semua kembali ke mobil.

.
.
.

Pic on header: https://pin.it/6QP00YK

SemidevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang